Mendudukkan Rekonsiliasi
M Ridha Saleh ; Wakil
Ketua Komnas HAM periode 2007-2012;
Profesional Mediator
|
KOMPAS, 03 Junii
2016
Dari sudut pandang hak
asasi manusia, rekonsiliasi hanya bisa dilakukan jika ada pihak yang mengakui
kesalahan dan menyampaikan permohonan maaf serta penyesalannya terhadap
korban pelanggaran berat HAM. Dengan
demikian, arti rekonsiliasi dalam konteks pelanggaran berat HAM dilakukan
guna memulihkan harkat dan martabat manusia.
Rekonsiliasi tak hanya
memperoleh maknanya dalam konteks situasi keadilan transisional untuk
menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM)
masa lalu. Rekonsiliasi juga dapat dilakukan dalam situasi apa pun. Sebab,
rekonsiliasi merupakan upaya untuk menangani warisan khas dari pelanggaran
massal masa lalu untuk mengakhiri beban dan ketidakadilan struktural yang
lebih besar, yang dapat berlanjut secara terus-menerus terhadap pihak korban.
Untuk itu, dalam
konteks Indonesia, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme
rekonsiliasi harus di letakkan dalam proses penataan demokrasi, penegakan
keadilan, serta ditekankan untuk mengakhiri beban kolektif sosial politik
bangsa.
Kontradiksi rekonsiliasi
Jalur rekonsiliasi
yang digagas di Indonesia saat ini harus diletakkan dalam sebuah kerangka
tindak hukum dan upaya politik bangsa untuk memenuhi rasa keadilan korban
pelanggaran HAM masa lalu. Jadi, bukan seperti yang disangkakan sebagian
pihak untuk menghidupkan paham komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dari realitas
sosio-politik, rekonsiliasi yang digagas saat ini disebabkan telah terjadi
kebuntuan hukum antara Komisi Nasional (Komnas) HAM dan Kejaksaan Agung.
Meski kebuntuan hukum itu juga dilatarbelakangi faktor politik-sejauh
sepengetahuan penulis-kebuntuan politik itu sama sekali tidak bersinggungan
atau dilatarbelakangi oleh kekhawatiran politik Kejaksaan Agung akan
bangkitnya komunisme dan PKI.
Rekonsiliasi atas
kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan kekhawatiran bangkitnya paham
komunisme dan PKI adalah dua persoalan yang berbeda. Bahkan, sebagian besar
kalangan korban sendiri menolak penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu
melalui rekonsiliasi. Sebab, rekonsiliasi dianggap tindakan impunity,
penyangkalan negara dan melindungi para pelaku kejahatan.
Rekonsiliasi adalah
metode dan jalur yang menempatkan korban dan negara untuk menyelesaikan dan
memulihkan hak-hak korban yang dialaminya atas suatu peristiwa yang terjadi
karena ada keterlibatan melalui kebijakan negara terhadap pelanggaran HAM
yang berat pada masa itu. Oleh karena itu, penyesalan negara melalui
permintaan permohonan maaf semata-mata disampaikan untuk pemulihan harkat dan
martabat kepada korban pelanggaran HAM, bukan kepada PKI.
Komnas HAM Republik
Indonesia adalah lembaga negara yang dibentuk dan bekerja berdasarkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam konteks penegakan hukum,
Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro-yustisia terhadap dugaan
pelanggaran HAM masa lalu atas peristiwa 1965-1966: bahwa, penyelidikan
Komnas HAM merupakan mandat UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Hasil penyelidikan
Komnas HAM dengan tegas menyebutkan bahwa atas kebijakan negara, pada
peristiwa 1965-1966, telah mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk
pelanggaran HAM, antara lain berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang, penyiksaan,
pemerkosaan, penganiayaan (persekusi), dan penghilangan orang secara paksa.
Melalui dokumen
penyelidikan resmi Komnas HAM, peristiwa pelanggaran berat HAM tersebut
dititikberatkan pada keterlibatan negara. Keterlibatan dan kebijakan tersebut
oleh negara dilakukan secara
berlebihan dengan menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi, yang
berdampak pada jatuhnya korban jiwa manusia secara meluas di Tanah Air.
Melalui Komnas HAM,
kebenaran telah diungkapkan karena salah satu syarat menuju rekonsiliasi
adalah diungkapkannya kebenaran terhadap suatu peristiwa yang akan diselesaikan. Oleh karena itu, dokumen Komnas HAM dapat
dijadikan sebagai dasar hukum. Meski UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006, dalam
putusan Mahkamah Konstitusi itu juga menyatakan bahwa pengungkapan kebenaran
dan rekonsiliasi bisa dilakukan dengan dasar UU yang sesuai dengan UUD 1945,
atau kebijakan politik.
Kebijakan politik yang
dimaksudkan adalah rencana Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dalam RPJMN itu disebutkan soal
pembentukan komite yang langsung berada di bawah presiden.
Kehadiran negara
Persoalan penyelesaian
pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia selalu menjadi polemik karena
bertarungnya berbagai kepentingan politik dan berbagai kekhawatiran. Akan
tetapi, dalam kaitan ini negara tidak boleh larut oleh berbagai kontradiksi
politik. Negara justru harus mampu menempatkan dirinya serta mengambil
langkah komprehensif untuk menyelesaikannya.
Martabat bangsa ini sangat
ditentukan oleh sejauh mana negara mampu memuliakan harkat dan martabat
manusia. Korban pelanggaran HAM masa lalu adalah manusia yang berhak untuk
dipulihkan dan disejajarkan haknya. Perjuangan mereka telah berlangsung lama
dengan sejumlah beban politik, ekonomi, dan kemanusiaan.
Hukum HAM telah
menempatkan negara sebagai pemangku kewajiban dalam menyelesaikan dan
memenuhi hak korban. Menunda menyelesaikan masalah ini berarti negara
memperpanjang pelanggaran hak terhadap korban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar