Patutkah Berbagi tentang Kerentanan Mental Kita
Sawitri Supardi Sadarjoen ; Penulis
Kolom PSIKOLOGI Kompas Sabtu
|
KOMPAS, 04 Junii
2016
Saya seorang pribadi
yang terbuka, dan rasanya semakin tua saya merasa semakin menjadi pribadi
yang lebih terbuka. Menjadi tua membuat diri kita mempertimbangkan bahwa
semua hal yang mempermalukan diri kita dan aneh sebenarnya bersifat
universal. Artinya, setiap orang ternyata memiliki keanehan yang juga membuat
dirinya malu.
Ternyata perkembangan
kemampuan menjadi realistis yang membuat diri kita merasa bukan sosok unik
membuat kita menjadi lebih mudah untuk membuka diri, siapa diri kita dan
bagaimana kita bisa menjadi seperti ini. Apakah memang seyogianya demikian?
Beberapa waktu yang
lalu, saya menemukan catatan harian (diary) yang saya tulis sejak saya kelas
dua SMP sekitar tahun 1959, dan saya bacakan kepada teman akrab yang saya
percaya sambil minum kopi. Pada satu halaman dari diary saya, saya menemukan
ungkapan "Saya mencintai R" yang dimulai bulan Juli-Agustus tahun
yang sama, dan sejak bulan dan tahun itu saya menyebut namanya hampir 100
kali. Ada beberapa benda kecil yang menjadi pengingat saya dengannya, seperti
prangko yang dia gunakan saat menulis surat kepada saya, ada sobekan kertas
surat yang berisi tanda tangannya, dan berbagai benda kecil-kecil lainnya,
yang terlampir dan direkat bersama catatan saya mengenai dirinya.
Masa usia tersebut,
kesadaran diri saya sebagai perempuan membuat saya malu sendiri, saya tidak
ingin orang lain tahu apa yang saya hayati saat itu dan apa yang saya rekat
secara rahasia pada tulisan mengenai R serta gambar-gambar kenangan yang saya
peroleh darinya. Banyak sekali ungkapan-ungkapan yang penuh romantisisme,
lirik-lirik serta prosa khusus yang saya temukan pada buku harian itu, seolah
saya adalah seorang penyair andal yang tentu saja sangat mempermalukan diri
saya, andai ungkapan romantisisme tersebut dibaca atau terbaca oleh orang
lain.
Ketika tiba giliran
kawan dekat saya membacakan diary-nya, saya akhirnya mendapat kenyataan bahwa
kawan itu pun memiliki kejadian-kejadian spesifik pada masa remajanya yang
bisa juga mempermalukan dirinya bila saat kejadian tersebut terjadi,
tulisannya dibaca orang lain.
Ternyata, saat tiba
kita pada usia saya ini, kehidupan masa remaja kita itu tidak lagi begitu
memalukan karena kita melihat kenyataan bahwa orang lain pun merasakan
perasaan yang analog dengan diri kita pada usia remajanya. Ternyata pula
ungkapan-ungkapan dalam diary kita pun bisa juga membuat diri kita bangga karena
ungkapan-ungkapannya begitu romantis layaknya seorang penulis cerita roman.
Mengapa? Karena ungkapan-ungkapan romantis tersebut disusun dengan penyertaan
emosi yang didominasi oleh nuansa romantisisme seorang gadis yang sedang
dilanda cinta.
Memang, kita mungkin
mengagumi kemampuan kita mengungkap rasa cinta tersebut pada masa remaja,
tetapi pada saat yang sama kita pun bisa menertawakan diri kita. Situasi ini
akan menambah keakraban pertemanan yang kita jalin dengan teman akrab tempat
kita berbagi.
Timbul pertanyaan,
apakah ada perbedaan antara mengungkap diary pada masa lalu dan membuka diri
pada saat ini? Sejauh manakah kita seyogianya membuka diri secara tuntas
segala sesuatu yang kita alami saat ini? Apakah menceritakan apa yang telah
kita alami pada masa muda berpengaruh pada posisi kita di lingkungan di mana
kita berada?
Serentak setelah saya
merasa diri saya menjadi pribadi yang matang (mature), saya merasa semakin
menjadi lebih bersikap mandiri dan sangat "pribadi" saat melalui
tahapan perkembangan lingkaran kehidupan lanjut ini. Dalam kehidupan paruh
baya, bahkan lansia ini, saya merasa semakin menjadi diri pribadi dan memilih
apa yang akan saya bagikan kepada orang lain. Cara berkomunikasi saya pun
menjadi semakin bijak.
Jawaban:
Memang di saat kita
menginginkan relasi intim dengan lingkungan, ada baiknya menceritakan masa
kanak-kanak kita. Namun, berbagi tanpa upaya diskriminasi dan kurang matang
justru tidak akan membuat diri relasi kita semakin intim, melainkan justru
sebaliknya. Karena, bila kita menemui seseorang dalam suatu pesta, yang
dengan spontan menceritakan kesulitan-kesulitannya, maka kita pun akan justru
mempertanyakan keputusannya dan tahap kematangan pribadinya daripada
mengagumi kondisi mental dirinya.
Dalam situasi pesta
kita hendaknya mampu menciptakan keintiman dan keterikatan emosional dengan
lingkungan dengan cara mengendalikan pernyataan-pernyataan kita dan
cerita-cerita kita serta hal-hal yang ingin kita bagi dalam lingkungan baru
itu. Andai akhirnya kita sampai pada masalah kelemahan kita dan kerentanan
kondisi kita, adalah sangat bijaksana bila kita mempertimbangkan terlebih
dahulu apakah lingkungan baru tersebut memang tepat bagi kita untuk berbagi
kerentanan dan kelemahan kita. Kecuali itu, kita pun hendaknya mempertimbangkan
pula apakah tingkat keamanan dan kenyamanan yang kita peroleh di situ.
Kita harus yakin dan
percaya bahwa orang-orang baru di sekeliling kita tidak akan melecehkan kita
dan merendahkan diri kita saat mendengar kelemahan-kelemahan dan kerentanan
mental yang kita hayati. Karena, tentu saja kita tidak menginginkan diri kita
direndahkan atau dijadikan sumber gosip bagi mereka atau bahkan kita tidak
menginginkan informasi tentang kekurangan kita digunakan justru untuk melawan
diri kita di kemudian hari. Kalaupun pada saat itu kita sedang merasa
"tidak nyaman" dengan perasaan kita, ambillah justru hal-hal yang
menyenangkan kita dalam pertemuan tersebut dan buatlah diri kita sebahagia
mungkin, dengan berusaha menikmati kebersamaan dalam pertemuan tersebut.
Jadi, bila kita sedang
sangat sensitif dan menghadapi situasi sulit, hendaknya hal pertama yang
harus menyibukkan diri kita adalah mencari seseorang yang benar-benar kita
percaya untuk bisa bersikap empati dan memberikan atensi yang tulus bagi
upaya meringankan penghayatan perasaan kita yang sedang sensitif tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar