Konsekuensi Perppu No 1/2016
Irwanto ; Ko-direktur
Pusat Kajian Perlindungan Anak, FISIP Universitas Indonesia; Guru Besar
Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS, 03 Junii
2016
Pada 25 Mei lalu,
Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23/2002 tentang
Perlindungan Anak. Berbagai pihak menganggap penerbitan perppu ini
"reaktif", "emosional", dan "tidak tepat
sasaran".
Masyarakat tentu
mengapresiasi tanggapan Kepala Negara dalam masalah yang memang serius ini.
Meskipun demikian, kita perlu membiasakan menanggapi persoalan serius dengan
sikap dan kerja serius juga-yang tentunya memakan waktu, pemikiran para ahli,
dan perubahan sistem perlindungan anak yang lebih efektif berdasarkan
bukti-bukti empirik yang mendukung. Dalam hal ini, tanggapan yang bersifat
reaktif atau ad hoc justru akan
berujung tidak seriusnya penanganan karena hanya bersifat suam-suam kuku,
isunya tergerus oleh persoalan lain, atau tidak munculnya ide-ide
kreatif-inovatif untuk melindungi anak karena kurangnya bukti-bukti dan
praktik-praktik terbaik yang dikaji dan dijadikan landasan berpikir.
Saya akan menyajikan
beberapa konsekuensi yang perlu dipertimbangkan agar perlindungan anak di
Indonesia benar-benar berhasil guna.
Jika kita membuat
peraturan atau UU yang memberikan hukuman terberat, tetapi tidak dapat
dilaksanakan dengan baik karena kultur, kurang siapnya sumber daya manusia
(SDM) atau tidak adanya mekanisme yang memadai karena kurangnya investasi,
lemahnya partisipasi masyarakat, dan lain-lain, maka bisa menjadi bumerang.
Mengambil ilustrasi seperti binatang yang lemah, ia dapat mengubah
penampilannya sedemikian rupa (mimikri), berharap agar predatornya takut.
Ketika tujuan menakut-nakuti tidak tercapai, yang terjadi adalah masyarakat
telah telanjur merasa aman karena anggapan hukum yang menakutkan tentu
berhasil. Ketika kejahatan serius masih terjadi, hukum di Indonesia
kehilangan kredibilitas. Sebagai negara hukum, legislator pandai membuat
produk hukum, tetapi sistem tidak dapat melaksanakannya.
Belajar dari "Megan's Law" di AS
Megan Kanka adalah
seorang anak yang ditemukan tewas setelah diperkosa oleh tetangganya pada
1994 di New Jersey, Amerika Serikat. Kasus yang membuat publik AS marah ini
menginspirasi legislator federal dan menghasilkan Megan's Law yang mengizinkan penerbitan dan pembukaan
data dan informasi tentang seluruh pelaku kekerasan seksual kepada publik.
Orangtua, guru, dan masyarakat dapat melihat siapa saja pelaku kekerasan
seksual yang tinggal di daerahnya.
Setelah 14 tahun
dilaksanakan, sebuah studi di New Jersey memublikasikan hasil temuannya bahwa
keberadaan Megan's Law tidak menunjukkan dampak signifikan pada menurunnya
kasus kekerasan seksual di New Jersey. Dengan demikian, biaya yang tinggi
dalam menerapkannya tidak dapat dibenarkan karena efektivitas kebijakan
tersebut tidak terbukti (Zgoba, et al, 2008).
Sebaliknya, kehadiran Megan's Law
menimbulkan paranoia tersendiri di masyarakat. Human Rights Watch pada 2008
melaporkan fenomena kekerasan oleh masyarakat terhadap pelaku kekerasan
seksual yang telah menjalani proses rehabilitasi dan pemidanaan. Terdapat dua
pelaku kekerasan seksual yang terbunuh secara brutal pada 2006, dan dua orang
pada 2007. Tindakan tersebut dilakukan oleh masyarakat sipil hanya karena
melihat nama dan foto korban di situs kepolisian setempat. Istri dan anak
dari mantan pelaku kekerasan seksual mengalami diskriminasi dan harus
menghadapi cemooh dari masyarakat. Masyarakat yang sangat peduli dengan
keselamatan anak dapat menjadi pelaku kekerasan yang buruk dan tidak peduli
kepada anak-anak yang menjadi korban mereka.
Melalui Megan's Law, kita dapat berefleksi
bahwa peraturan atas dasar emosi hanya akan melahirkan kebijakan yang
prematur dan penuh dendam. Sikap reaktif hanya akan menghambat masyarakat dan
pembuat kebijakan bisa berpikir jernih, kritis, mencari solusi yang tepat
sasaran dan menyentuh akar permasalahan berdasarkan bukti-bukti ilmiah.
Hukum bukan satu-satunya yang lemah
Persoalan kekerasan
seksual terhadap perempuan dan anak bukan semata persoalan lemahnya produk
hukum. Perlindungan anak memang membutuhkan landasan hukum yang tepat, kuat,
dan implementatif. Akan tetapi, hukum dan aparat hukum tidak menjaga anak.
Keberhasilan melindungi anak membutuhkan juga masyarakat yang peduli, berani
melapor, berani mengambil tindakan menolong, mau bekerja sama, dan mempunyai
informasi yang baik untuk melindungi anak.
Ketika hanya hukum
yang menjadi perhatian publik, investasi dan upaya untuk memperbaiki
community vigilance (kesadaran dan kewaspadaan komunitas), membangun
keterampilan melapor dan menolong, melakukan berbagai tindakan pencegahan
(termasuk melatih anak untuk waspada dan menolong dirinya), dan lain-lain
tidak akan terjadi. Dengan demikian, upaya perlindungan menjadi timpang lagi.
Jika berbagai pihak
ingin melakukan banyak hal dalam perbaikan hukum, muncul persoalan prioritas.
Semua usaha ini akan memakan biaya, waktu, dan tenaga yang tidak kecil.
Sementara berbagai alasan macetnya pelaksanaan hukum di Indonesia bukan hanya
disebabkan kurangnya substansi hukum atau kurang baiknya produk UU yang telah
ada.
Dalam banyak hal,
persoalannya bisa sangat teknis (investasi, kurangnya kompetensi SDM,
kurangnya pengetahuan, kurangnya regulasi implementatif, tidak adanya
protokol yang jelas, dan lain-lain), administratif (koordinasi, tidak adanya
data dan informasi), dan kultural.
Bukankah hal-hal ini yang harus dipetakan dan diatasi dulu? Upaya yang
serius untuk melindungi anak harus memastikan bahwa setiap lini dalam
kebijakan publik dan setiap sistem yang ada di negara ini memang siap dan
mampu melindungi anak. Upaya-upaya parsial dan emosional tidak dapat
dibenarkan sebab sumber daya yang terbatas harus digunakan secara optimal.
"Continuum of Care" yang buruk dalam sistem hukum
Kejahatan seksual
merupakan kejahatan yang paling sering dilakukan oleh orang-orang yang
dikenal dan sering terjadi di ranah domestik. Berapa besar masalahnya, hanya Tuhan
yang tahu karena ranah domestik masih tertutup. Pendekatan
"pembalasan" dalam hukum positif kita hanya menghasilkan
orang-orang yang memang telah melakukan tindakan buruk, dan diperkuat dengan
hukuman yang tidak membuat mereka menjadi manusia yang lebih baik. Hak-hak
korban untuk memperoleh perlindungan dan perawatan sering tidak diperhatikan
karena proses hukum berhenti ketika pelaku sudah mendapatkan hukuman.
Absennya perawatan
psikososial pasca trauma merupakan kejahatan tersendiri dalam sistem terhadap
korban. Dalam kerangka preventif, kita juga perlu mempertimbangkan
rehabilitasi pada pelaku. Bab VII UU PKDRT (No 23/2004) memberikan kewajiban
pemulihan pada pelaku (pasal 39-43), tetapi pelaksanaannya tidak pernah
sungguh-sungguh. Padahal, inilah salah satu kunci dari tidak berulangnya
kejahatan yang sama. Di negeri tetangga Malaysia, bahkan pelaku incest dan
anaknya diberi hak dan kesempatan untuk saling berubah dan melakukan
rekonsiliasi.
Sisipan Pasal 81A dalam UU Perlindungan Anak
yang mengakomodasi ayat sebagai berikut: (3) Pelaksanaan kebiri kimia
disertai dengan rehabilitasi.
Saya mencoba
berimajinasi melaksanakan ayat ini. Pelaku dari ayat ini tentu petugas
kesehatan atau dokter yang telah lama menanamkan etik anti penyiksaan dalam
profesinya. Jika dilakukan oleh profesi lain, saya tidak tahu dasar hukumnya
apa dan bagaimana profesi itu membenarkan tindakan ini. Selanjutnya, bagi
pelaksana rehabilitasi-entah pendekatan apa yang harus dilakukan kepada orang
yang kehilangan jati dirinya dan dalam keadaan marah dan dendam.
Saya khawatir,
akhirnya ayat ini tidak dilaksanakan secara lengkap. Akibatnya, setelah 15
tahun (maksimal) pelaku menyelesaikan masa hukumannya, ia masih mungkin
menjadi ancaman masyarakat karena kejahatan seksual tidak sama dengan
kejahatan penal-vaginal. Hal ini belum
mempertimbangkan bahwa berkisar 15-20 persen pelaku kejahatan seksual berusia
anak-anak. Posisi Konvensi Hak-hak Anak PBB jelas bahwa penjara bukan tempat
terbaik untuk anak yang dianggap sebagai evolving organism (individu yang
masih terus bertumbuh dan berkembang).
Perspektif anak sebagai korban
UU Perlindungan Anak
dirancang dengan semangat menjunjung perspektif anak sebagai korban. Artinya,
ketika anak melakukan tindakan pidana, tindakannya juga dilakukan dalam
posisi sebagai korban. Anak yang telah terpapar pornografi dewasa, tekanan
kelompok, tekanan orang dewasa, kecerobohan orang dewasa-sering mengakibatkan
anak melakukan pelanggaran hukum.
Persoalannya adalah
ketika anak juga dikenai pasal-pasal yang lebih berat dari UU Perlindungan
Anak, seperti pada berbagai praktik selama ini. Jika ini terjadi, UU ini
menjadi pisau lipat yang melukai pihak-pihak yang seharusnya kita lindungi.
Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/ 2016
ini tidak memberikan jawaban terhadap persoalan ini. Niat baik dalam
pembuatan produk hukum bias jadi justru akan merugikan subyek yang akan
dibela dan dilindungi.
Batalkan Perppu No 1/2016 dan tugaskan
pihak-pihak terkait untuk membuat kajian yang komprehensif, merancang rencana
perbaikan sistem perlindungan anak yang lebih
bersifat solution-focused secara menyeluruh (seimbang antara ranah
hukum dan ranah-ranah lainnya), membangun lingkungan implementasi yang lebih
fasilitatif (termasuk segera menyelesaikan kodifikasi KUHP dan membangun
kewaspadaan dan partisipasi masyarakat). Kita sudah mempunyai banyak UU yang
kalau benar-benar diimplementasikan akan mempunyai dampak positif. Menambah
peraturan atau pasal UU yang dampaknya akan memburuk situasi yang ada
seharusnya kita hindari. Hukum bukan produk emosional, melainkan rasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar