Living Ideology sebagai Konsensus
Farouk Muhammad ;
Wakil Ketua DPD RI
|
MEDIA INDONESIA,
02 Juni 2016
ADA
paradoks yang kita rasakan dalam realitas kebangsaan hari ini. Kita punya
ideologi kebangsaan yang bernama Pancasila, tapi karakter bangsa terasa mulai
sangat menjauh darinya. Nilai-nilai yang terkandung dalam lima silanya lambat
laun mulai kikis. Bahkan, tidak sedikit generasi bangsa yang acapkali lupa
atau tidak dapat melafalkannya secara tepat. Sayangnya, negara tidak memiliki
instrumen efektif untuk menginternalisasikan nilai-nilainya. Kalaupun ada,
sifatnya lebih sekadar sosialisasi pengetahuan (transfer of knowledge) kepada kalangan terbatas (umumnya
masyarakat terpelajar) tapi bukan untuk membangun komunitas Pancasila.
Kita
bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa dan berperikemanusiaan, tapi dekadensi
moral merajalela. Prevalensi penyalahgunaan dan peredaran narkoba meningkat
tajam, pengakses pornografi naik fantastis, pergaulan bebas menjadi tren,
seiring itu kasus pemerkosaan, kekerasan seksual, dan kejahatan juga
melambung tinggi. Apa yang salah dengan praksis sila pertama dan kedua
ideologi kita?
Belum
lagi ancaman persatuan dan kesatuan di tengah maraknya sikap intoleransi,
radikalisme, dan terorisme, serta potensi disintegrasi oleh kelompok sparatis
yang tetap eskalatif dalam setiap momentum tertentu. Bangsa kita mudah
disulut amarah, mudah diadu domba di antara elemen bangsa.
Demokrasi
kita belum secara konsisten mengamalkan nilai-nilai kerakyatan, hikmat
kebijaksanaan, dan permusyawaratan/perwakilan sebagaimana dikandung sila
keempat. Praktik politik acapkali dikendalikan syahwat kepentingan pribadi
dan atau golongan, saling adekuat, berpikir pendek dan sesaat, serta praktik
'pencari rente' (rent seeking) dan money politics dalam kadar yang sudah
sangat mengkhawatirkan. Demokrasi kita juga dinilai terlampu liberal.
Lalu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adakah kita telah
merasakannya? Kita belum dapat menerjemahkan dalam praksis amanat sila kelima
ini, termasuk silapnya menjabarkan praksis Pasal 33 Konstitusi Negara yang
menyatakan 'Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat'.
Waspada ancaman
“Tiap-tiap
bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh
karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri.
Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam
perekonomiannya, dalam wataknya, dan sebagainya." Ungkapan itu
disampaikan Bung Karno pada Kursus Presiden Soekarno tentang Pancasila pada
1958.
Jika
Pancasila sebagai ideologi dan kepribadian bangsa mulai meluntur, ini
pertanda bahaya bisa mengindikasi bangsa yang sedang sakit. Bahkan, diduga,
kondisi demikian mengarah pada negara gagal (failed state). Negara gagal di sini tidak harus secara struktural
negara itu bubar atau runtuh, tapi negara gagal bisa dipandang dari segi
kualitas, yakni sebagai negara yang tidak punya 'roh' karena kepribadiannya
pelan-pelan tergerogoti.
Akibat
abai pada kepribadian dan karakter khasnya, bangsa kita (bisa) kehilangan
arah dan kendali, merebak penyakit sosial, dekadensi moral dan akhlak
generasi muda, pengabaian etika dan hukum, disintegrasi, dan turbulensi
sosial ekonomi. Itu semua ciri negara gagal seperti diduga Noam Chomsky
(2006).
Lunturnya
nilai-nilai ideologi bangsa menyebabkan kerentanan kebangsaan. Kerentanan
tersebut menjadi lahan subur tumbuhnya ideologi lain yang dinilai atau
dipersepsi 'lebih menarik' dan 'lebih menjanjikan'. Dalam tingkat tertentu,
kita lebih tertarik pada dan mempraktikkan ideologi liberal. Ini juga yang
mendasari isu bangkitnya kembali paham komunisme.
Memahami akar masalah
Lunturnya
sebuah ideologi bangsa tidak lepas dari kemampuan adaptasi bangsa dalam
menghadapi tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Secara internal,
reformasi diakui sebagai milestone bagi penataan sistem ketatanegaraan yang
lebih baik daripada era sebelumnya. Ia juga membawa liberalisasi dalam
konteks politik yang berarti kebebasan/ kemerdekaan berpendapat (freedom of speech), tetapi pada saat
yang sama reformasi juga telah membawa ekses kebebasan tanpa batas (free liberalism) yang menggerogoti
nilai-nilai budaya kemasyarakatan Indonesia.
Secara
eksternal, dunia berubah begitu cepat akibat globalisasi. Sayangnya,
kemampuan manusia untuk berubah acapkali tidak dapat mengikuti perubahan
tersebut. Akibatnya terjadi invasi budaya, nilai, identitas dominan dunia
yang mungkin berbeda atau bertentangan dengan kepribadian bangsa. Generasi
(muda) bangsa mengalami fase transisi yang cukup rumit, di saat nilai/norma
lama bangsa belum mereka tangkap lalu hadir reformasi dan globalisasi yang
menawarkan nilai/norma baru yang lebih menarik dan 'trendi'.
Sayangnya,
mereka belum sempat menghayati sehingga menimbulkan penafsiran yang keliru.
Inilah yang disebut sebagai kondisi ketidakpastian atau 'anomie' (Durkheim
1897, Merton dalam Ritzer 2007, hlm 251-257). Pun, acapkali negara belum
sempat menyesuaikan nilai/norma lama dengan kekinian sehingga generasi bangsa
makin enggan mengafirmasi nilai/norma tersebut. Akibatnya terjadi kerentanan
dalam kepribadian generasi bangsa. Mereka bisa menjadi sangat liberal dan
kosmopolit di satu sisi, dan bisa terperosok pada radikalisme di sisi yang
lain.
Living ideology
Sudah
saatnya seluruh elemen bangsa, dimotori para pemimpin dan tokoh panutan,
bersama-sama membangun konsensus nasional untuk 'menghidupkan kembali
Pancasila' sebagai ideologi dan kepribadian bangsa. Sakitnya bangsa ini tidak
bisa lagi ditangani dengan parsial dan tambal sulam, tapi dengan tindakan
kolektif yang komprehensif dan fondasional.
Konsensus
menjadi penting karena sejarah Indonesia mencatat bahwa kemerdekaan bukan
lahir dari mekanisme formal ketatanegaraan, bukan pula berdasarkan konstitusi
karena UUD 1945 ada setelah Indonesia merdeka, melainkan melalui mekanisme
konsensus nasional yang jauh sebelumnya sejak Ikrar Sumpah Pemuda 1928 lalu
Proklamasi 1945. Pun setelah fase kemerdekaan, lahirnya Orde Baru juga hasil
konsensus di Seskoad, lalu berlanjut ke Orde Reformasi juga melalui konsensus
tokoh-tokoh bangsa untuk menghadirkan perubahan sistem politik
ketatanegaraan.
Dalam
konteks ideologi Pancasila, satu-satunya pilihan konsensus yang harus dilakukan
ialah menjadikan Pancasila sebagai living
ideology, yakni ideologi yang terus dikembangkan (baik substansi maupun
metode internalisasinya) dalam dimensi kekinian. Ideologi yang dipraktikkan
dalam realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan bukan
sekadar idealita yang dipuja-puji
atau dikenang sebagai romantisme sejarah yang 'wow' di masanya.
Melalui
konsensus 'menghidupkan kembali Pancasila' diharapkan, lahir nilai-nilai
kekinian Pancasila yang relevan dengan tantangan kebangsaan dan menjadi
pengungkit kemajuan serta menghadirkan imajinasi peradaban Indonesia masa
depan. Lalu, ia dipraktikkan secara konsisten dan pada akhirnya dilembagakan
sebagai capaian kemajuan bangsa. Tentu itu semua harus dimulai dari para
pemimpinnya--baik formal, informal, maupun nonformal--sebagai aktor utama
perubahan melalui agenda dan implementasi program-program aksi pemerintahan
yang berkepribadian Pancasila, mulai sila pertama bagaimana wujud program
aksi menghadirkan iman dan takwa, mengembangkan toleransi dan kolaborasi
sesama anak bangsa, menunjukkan demokrasi yang bermartabat, hingga sila
kelima berwujud program-program kesejahteraan riil yang dirasakan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar