Eksklusivisme Agama dan Pluralisme Politik
Mun'im Sirry ;
Profesor Teologi pada
Universitas Notre Dame; Ketua Kelompok
Kerja tentang Indonesia pada Kroc Institute for International Peace Studies,
AS
|
KOMPAS, 04 Mei 2016
Berbagai
survei menunjukkan tingkat intoleransi agama di dunia naik cukup tajam. Di negara-negara Barat, yang secara nominal
mayoritas beragama Kristen, lebih dari 50 persen menganut pandangan keagamaan
yang eksklusivis. Di Afrika dan Tiongkok, di mana Kristen berkembang pesat,
sekitar 80 persen umat Kristiani dikategorikan eksklusivis. Di negara
mayoritas Muslim yang paling moderat sekalipun, seperti Turki dan Indonesia,
lebih dari 65 persen kaum Muslim berpandangan eksklusivis. Yang menimbulkan
teka-teki ialah, terkecuali memang daerah konflik, umat beragam agama
sebenarnya dapat hidup berdampingan dalam skala yang tak terjadi sebelumnya.
Ini pertanda bahwa di tengah keragaman, peran agama tak akan surut.
Para
pendukung teori sekularisasi kerap mensinyalir, revitalisasi agama yang kian
asertif akan menimbulkan guncangan hebat bagi masa depan kehidupan damai.
Karena itu, solusi yang ditawarkan penyempitan ruang gerak agama, yakni
disingkirkan ke ruang privat saja. Dipaksa atau tidak, makin modern suatu
masyarakat semakin tidak memberi ruang bagi peran publik agama.
Menarik
dicatat, prediksi itu salah total. Dari tiga makna dominan sekularisasi
(menurunnya peran agama, privatisasi, dan diferensiasi), kata José Casanova
dalam Public Religions in the Modern
World (1994), hanya yang terakhir yang bisa dipertahankan. Kenyataannya,
bukan saja agama tetap bertahan dan bahkan memainkan peran makin signifikan,
benturan yang dibayangkan akan terjadi tak lebih dari mitos belaka.
Eksklusivis vs pluralisme
Argumen
yang akan saya kembangkan dalam tulisan ini mungkin kurang populer karena
melihat eksklusivisme agama tidak sepenuhnya bertolak belakang dari
pluralisme politik. Minimal, eksklusivisme agama tidak dilihat sebagai
"biang kerok" eksklusivisme politik yang tidak memberi ruang bagi
pemenuhan hak-hak sipil warga. Saya kira, hubungan antara eksklusivisme agama
dan eksklusivisme politik tidak bersifat langsung sebagaimana umum
dipersepsikan.
Sebelum
menguraikan kenapa mereka yang memiliki pandangan keagamaan eksklusivis pun
akan lebih memilih pluralisme politik, ada baiknya dijelaskan dahulu apa yang
dimaksud kedua istilah tersebut. Saya memahami "eksklusivisme
agama" sebagai keyakinan seseorang bahwa agamanya adalah satu-satunya
jalan menuju keselamatan dan yang lain sebagai kesesatan. Ini bertolak
belakang dari pluralisme agama yang memandang semua agama sebagai jalan yang
absah.
Sementara
itu, "pluralisme politik" dipahami sebagai pemikiran politik yang
mengejawantah dalam institusi yang mengakui hak-hak sipil dan politik warga secara
sama, terlepas dari perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Sebaliknya, eksklusivisme politik tidak memperlihatkan netralitas terhadap
isu SARA, tetapi memihak ideologi tertentu, agama tertentu, atau etnik
tertentu dengan menggunakan mekanisme paksaan untuk mengeksklusi yang lain.
Pandangan
umum yang berkembang di kalangan banyak sarjana ialah bahwa seorang yang
pandangan keagamaannya eksklusivis tidak akan pernah menjadi pluralis dalam
politik. Seperti halnya eksklusivisme politik merupakan refleksi
eksklusivisme agama, pluralisme politik juga perwujudan pluralisme agama.
Benarkah hubungan keduanya bersifat kausalitas?
Barangkali
JJ Rousseau yang partama kali merumuskan hubungan linear tersebut. Yakni,
seorang eksklusivis agama jangan diharapkan akan bersikap pluralis dalam
perilaku politiknya.
Dalam
The Social Contract (1762), sebuah
karya klasik tentang hubungan antara masyarakat dan kekuasaan negara,
Rousseau menjelaskan bahwa eksklusivisme agama tidak kompatibel dengan
pluralisme politik. "Mereka yang memisahkan antara intoleransi sipil dan
intoleransi teologis," tulis Rousseau, "jelas keliru. Keduanya
merupakan bentuk-bentuk intoleransi yang tak dapat dipisahkan."
Intoleransi
teologis, mengikuti logika Rousseau, tidak hanya berada di awang-awang,
tetapi pasti punya implikasi empiris dalam praktik keseharian. Karena eksklusivisme
politik bukanlah pilihan cara mengelola negara di era modern, eksklusivisme
agama juga harus dilenyapkan. Rousseau memang cukup keras menyikapi
eksklusivisme agama karena dianggapnya destruktif secara sosial. "Kita
menoleransi mereka yang menoleransi yang lain, sepanjang dogma keagamaan
mereka tidak bertentangan dengan kewajiban warga lain. Namun, kalau sudah
berkata "tidak ada keselamatan di luar Gereja", maka itu harus
disingkirkan dari negara," tulisnya.
Argumen
Rousseau itu hingga kini masih diamini banyak sarjana. Sosiolog agama
berpengaruh, Peter Berger, misalnya berargumen bahwa intensitas perjumpaan
dalam masyarakat plural akan berujung pada terkikisnya eksklusivime agama.
Dan, ketika pandangan keagamaan menjadi pluralis, tak ada lagi hambatan untuk
menjadi pluralis secara politik. Dalam bukunya, A Far Glory (1993), Berger mendiskusikan proses gradual
meredupnya eksklusivisme agama di tengah arus globalisasi yang
"memaksa" manusia hidup berdampingan secara dekat. Semakin intens
pergaulan lintas agama dan komunitas, semakin terkikis pandangan yang
mengeksklusi "yang lain" dan membuka sikap politik yang pluralis.
Strategi inklusif
Ada
banyak alasan untuk mengatakan pandangan Rousseau dan Berger itu salah.
Kenyataannya, di tengah masyarakarat modern yang kian plural, eksklusivisme
keagamaan tidak semakin surut, seperti ditunjukkan berbagai survei. Saya
meragukan apakah keragaman agama dapat menyebabkan komitmen keagamaan
mengendur. Sebaliknya, dalam beberapa kasus, relativisme justru menginspirasi
absolutisme dan menumbuhkan kembali eksklusivisme agama.
Lebih
dari itu, argumen Rosseau dan Berger tak menjelaskan dukungan sejumlah
kalangan eksklusivis terhadap pluralisme politik di Indonesia. Sejak
Reformasi 1998 yang membuka keran kebebasan berekspresi, banyak kelompok
dengan pandangan keagamaan eksklusivis berkoalisi dengan kekuatan politik
pluralis. Sementara mendukung pluralisme politik, seperti pengakuan terhadap
kesetaraan hak-hak warga dan mekanisme demokrasi lain, mereka tidak
"menggadaikan" komitmen eksklusivisme keagamaan mereka. Hal itu
menunjukkan, bagi eksklusivis religius sekalipun, pluralisme politik tetaplah
opsi paling baik yang memungkinkan mereka dapat memainkan peran lebih
konstruktif.
Dalam
Flourishing: Why We Need Religion in a
Globalized World (2015), Miroslav Volf menelusuri jejak-jejak pluralisme
politik yang ditorehkan oleh mereka yang memiliki pandangan keagamaan
eksklusivis. Roger Williams (1603-1683), misalnya, yang dikenal sebagai bapak
pluralisme politik, adalah seorang eksklusivis religius. Kendati berpandangan
eksklusivis dalam hal keyakinan keagamaan, Williams menyerukan supaya negara
tidak menggunakan instrumen pemaksaan untuk menekan kebebasan warga.
Guru
Besar di Universitas Yale itu lebih jauh berargumen bahwa eksklusivis
religius yang menganut pluralisme politik itu justru baik bagi dunia yang
kian mengglobal. Alasannya, hanya mereka yang memiliki komitmen keagamaan
kokoh yang akan menginspirasi gerakan sosial bagi perubahan kultural dan
politik (2015: 160).
Problem
dengan argumen Volf ialah kecenderungannya menyelebrasi eksklusivisme agama
seolah kaum pluralis religius tak punya basis keagamaan kokoh. Sebenarnya
yang diperlukan ialah strategi inklusif yang tidak membentur-benturkan
eksklusivisme vis-À-vis pluralisme karena keduanya memungkinkan untuk turut
ambil bagian dalam membangun dunia yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar