Kamis, 09 Juni 2016

Libur

Libur

Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior TEMPO
                                                   KORAN TEMPO, 03 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada libur nasional. Ada libur lokal. Ada libur bersama. Kita bahas dari yang terakhir. Versi resmi pemerintah ini bukan libur, tetapi cuti bersama. Yakni pada hari-hari kejepit untuk menambah libur hari keagamaan. Contoh, Idul Fitri nanti jatuh tanggal 6 dan 7 Juli, itu libur nasional. Tanggal 4, 5, dan 8 Juli disebut cuti bersama.

Bagaimana kalau cuti tidak diambil? Siapa tahu ada pegawai non-muslim yang ingin cuti untuk menambah libur di hari keagamaannya sendiri. Ternyata tidak bisa. Pemerintah sudah menetapkan cuti itu setahun sebelumnya, harus diambil. Kalau masa cutinya jadi berkurang padahal dia tak perlu cuti pada saat yang diharuskan, ya, terima saja. Demi kebersamaan.

Yang dimaksudkan libur lokal itu terjadi di daerah khusus, tapi bukan daerah otonomi khusus. Contohnya di Bali. Karena penduduknya mayoritas Hindu dan hari libur nasional umat Hindu cuma satu (Nyepi), maka ada hari libur lokal untuk hari raya Galungan. Lokal Bali saja. Adapun umat Hindu yang bekerja di luar Bali bisa mendapat dispensasi dari kantornya dengan menyerahkan surat edaran dari Kementerian Agama. Syukur-syukur dikabulkan.

Libur nasional ada dua macam. Ada libur nasional keagamaan, ada libur nasional kenegaraan. Yang keagamaan adalah Idul Fitri, Idul Adha, Isra Miraj Nabi Muhammad, Tahun Baru Hijriah, Maulud Nabi Muhammad, Imlek, Nyepi, Waisak, Wafat Isa Al Masih, Kenaikan Isa Al Masih, dan Natal.

Tahun baru Masehi, 1 Januari, milik seluruh warga, bahkan milik dunia, anggap libur kenegaraan. Sama persis dengan 1 Mei untuk Hari Buruh Internasional. Libur kenegaraan yang khas hanya 17 Agustus, Hari Kemerdekaan. Oya, sekarang ditambah 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.

Di era Orde Baru, perayaan 1 Mei sebagai Hari Buruh (May Day) dilarang karena dianggap "kiri". Mengucapkan kata buruh pun harus hati-hati, apalagi membuat organisasi kaum buruh. Kata "buruh" identik dengan Orde Lama, ada Buruh Tani Indonesia (BTI), organisasi orderbaow PKI; ada Kesatuan Buruh Marhaenis, organ PNI. Di era Orde Baru, istilah buruh diganti pekerja, lalu ada Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Kini sebutan buruh sudah normal, bahkan ada nada tak sedap menyebut wartawan "buruh pers", konon lebih bermartabat daripada "kuli tinta". Yang saya tak paham, kenapa 1 Mei dirayakan dengan libur? Memberi kesempatan kepada kaum buruh untuk unjuk rasa?

Hari Kemerdekaan 17 Agustus pastilah untuk memberi kesempatan kepada rakyat berpesta-pora. Jika tidak libur, bagaimana anak-anak bisa lomba makan kerupuk, bapak-bapak tarik tambang, dan ibu-ibu berteriak menjadi suporter lomba panjat pinang?

Lalu, untuk apa libur di Hari Lahir Pancasila? Yang dikejar kemeriahan hura-hura atau penanaman nilai Pancasila? Kalau penanaman nilai yang diutamakan, sebaiknya tidak libur, agar murid-murid sekolah bisa "apel Pancasila" dan pegawai negeri pun bisa berbaris digembleng Pancasila. Seperti Hari Pendidikan Nasional, Hari Kebangkitan Nasional, Hari Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, dan banyak lagi hari nasional penting tetapi tidak libur.

Jika tanpa arahan dan tidak dimulai tradisi bagaimana merayakan Hari Lahir Pancasila, maka pada hari libur itu orang lebih suka ke kebun binatang atau ke pantai dan bermacet-macet di jalan, apalagi kalau jatuhnya hari Jumat atau Senin. Contoh bagus hari nasional tidak libur adalah Hari Kartini, para wanita diingatkan dengan perjuangan Kartini, minimal bisa mengenakan kebaya ke kantor. Coba kalau diliburkan, orang lebih suka beli pakaian renang dibanding kebaya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar