Libur
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior TEMPO
|
KORAN TEMPO, 03 Juni
2016
Ada libur nasional. Ada
libur lokal. Ada libur bersama. Kita bahas dari yang terakhir. Versi resmi
pemerintah ini bukan libur, tetapi cuti bersama. Yakni pada hari-hari kejepit
untuk menambah libur hari keagamaan. Contoh, Idul Fitri nanti jatuh tanggal 6
dan 7 Juli, itu libur nasional. Tanggal 4, 5, dan 8 Juli disebut cuti
bersama.
Bagaimana kalau cuti tidak
diambil? Siapa tahu ada pegawai non-muslim yang ingin cuti untuk menambah
libur di hari keagamaannya sendiri. Ternyata tidak bisa. Pemerintah sudah
menetapkan cuti itu setahun sebelumnya, harus diambil. Kalau masa cutinya
jadi berkurang padahal dia tak perlu cuti pada saat yang diharuskan, ya,
terima saja. Demi kebersamaan.
Yang dimaksudkan libur
lokal itu terjadi di daerah khusus, tapi bukan daerah otonomi khusus.
Contohnya di Bali. Karena penduduknya mayoritas Hindu dan hari libur nasional
umat Hindu cuma satu (Nyepi), maka ada hari libur lokal untuk hari raya
Galungan. Lokal Bali saja. Adapun umat Hindu yang bekerja di luar Bali bisa
mendapat dispensasi dari kantornya dengan menyerahkan surat edaran dari
Kementerian Agama. Syukur-syukur dikabulkan.
Libur nasional ada dua
macam. Ada libur nasional keagamaan, ada libur nasional kenegaraan. Yang
keagamaan adalah Idul Fitri, Idul Adha, Isra Miraj Nabi Muhammad, Tahun Baru
Hijriah, Maulud Nabi Muhammad, Imlek, Nyepi, Waisak, Wafat Isa Al Masih,
Kenaikan Isa Al Masih, dan Natal.
Tahun baru Masehi, 1
Januari, milik seluruh warga, bahkan milik dunia, anggap libur kenegaraan.
Sama persis dengan 1 Mei untuk Hari Buruh Internasional. Libur kenegaraan
yang khas hanya 17 Agustus, Hari Kemerdekaan. Oya, sekarang ditambah 1 Juni
sebagai Hari Lahir Pancasila.
Di era Orde Baru, perayaan
1 Mei sebagai Hari Buruh (May Day) dilarang karena dianggap "kiri".
Mengucapkan kata buruh pun harus hati-hati, apalagi membuat organisasi kaum
buruh. Kata "buruh" identik dengan Orde Lama, ada Buruh Tani
Indonesia (BTI), organisasi orderbaow PKI; ada Kesatuan Buruh Marhaenis,
organ PNI. Di era Orde Baru, istilah buruh diganti pekerja, lalu ada Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Kini sebutan buruh sudah normal, bahkan ada
nada tak sedap menyebut wartawan "buruh pers", konon lebih bermartabat
daripada "kuli tinta". Yang saya tak paham, kenapa 1 Mei dirayakan
dengan libur? Memberi kesempatan kepada kaum buruh untuk unjuk rasa?
Hari Kemerdekaan 17
Agustus pastilah untuk memberi kesempatan kepada rakyat berpesta-pora. Jika
tidak libur, bagaimana anak-anak bisa lomba makan kerupuk, bapak-bapak tarik
tambang, dan ibu-ibu berteriak menjadi suporter lomba panjat pinang?
Lalu, untuk apa libur di
Hari Lahir Pancasila? Yang dikejar kemeriahan hura-hura atau penanaman nilai
Pancasila? Kalau penanaman nilai yang diutamakan, sebaiknya tidak libur, agar
murid-murid sekolah bisa "apel Pancasila" dan pegawai negeri pun
bisa berbaris digembleng Pancasila. Seperti Hari Pendidikan Nasional, Hari
Kebangkitan Nasional, Hari Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, dan banyak lagi hari
nasional penting tetapi tidak libur.
Jika tanpa arahan dan
tidak dimulai tradisi bagaimana merayakan Hari Lahir Pancasila, maka pada
hari libur itu orang lebih suka ke kebun binatang atau ke pantai dan
bermacet-macet di jalan, apalagi kalau jatuhnya hari Jumat atau Senin. Contoh
bagus hari nasional tidak libur adalah Hari Kartini, para wanita diingatkan
dengan perjuangan Kartini, minimal bisa mengenakan kebaya ke kantor. Coba
kalau diliburkan, orang lebih suka beli pakaian renang dibanding kebaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar