"Brexit" dan Integrasi ASEAN
Ngurah Swajaya ; Duta
Besar; Wakil Tetap RI untuk ASEAN 2010-2013
|
KOMPAS, 03 Junii
2016
Ketika ASEAN
memperkuat komitmen integrasi melalui pembentukan Masyarakat ASEAN dan Visi
ASEAN 2025 di bawah pilar politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya, Uni
Eropa justru dihadapkan kemungkinan keluarnya Inggris melalui referendum pada
23 Juni 2016.
Hingga saat ini masih
sulit diprediksi apakah rakyat Inggris memutuskan keluar (brexit) atau masih tetap (remain) di dalam Uni Eropa (UE).
Namun, apa pun hasil proses politik tersebut, dampaknya cukup signifikan
terhadap berbagai proses integrasi kawasan, termasuk di ASEAN.
Tulisan ini tidak
memprediksi hasil referendum, tetapi menyoroti pelajaran yang dapat dipetik
bagi proses integrasi kawasan, khususnya ASEAN. Hingga saat ini, UE dan ASEAN
merupakan model keberhasilan integrasi regional yang berdampak positif
terkait stabilitas keamanan dan pertumbuhan ekonomi yang dinamis selama
beberapa dekade terakhir. Proses integrasi ASEAN banyak belajar dari proses
di UE, meskipun tidak mengikuti pola UE dan tidak mengarah ke pembentukan Uni
ASEAN.
Benang merah UE-ASEAN
Guna memahami
munculnya gagasan referendum, perlu diketahui bahwa sejak awal Inggris
dikenal sebagai reluctant member of the EU. Sebagai hasil referendum tahun
1975, rakyat Inggris memutuskan bergabung dengan UE, meskipun dalam
perkembangannya Inggris tidak bergabung dalam mekanisme visa Schengen dan
Eurozone.
Kelompok skeptis
menilai, di dalam UE, Inggris kehilangan identitas, kekuatan politik, dan
pamornya sebagai pusat keuangan dunia. Sementara itu, kelompok pendukung UE
mendapatkan dukungan moral-termasuk dari Presiden Barack Obama, Dana Moneter
Internasional, OECD, dan pertemuan Menteri Keuangan G7. Ketika rakyat Inggris
memutuskan, apa pun hasilnya, dapat dipastikan akan berdampak cukup
signifikan bagi ASEAN, khususnya proses integrasinya.
Apabila rakyat Inggris
memutuskan untuk tetap di UE, dipastikan hal ini akan mendukung argumentasi
pentingnya kelanjutan penguatan proses integrasi ASEAN. Keputusan ini harus
memperkuat komitmen negara anggota ASEAN, bahwa integrasi kawasan masih jadi
pilihan untuk melanjutkan pencapaian tujuan ASEAN. Namun, bila keputusannya
adalah keluar dari UE, banyak analisis yang menggambarkan dampak negatif
secara signifikan bagi Inggris dan UE. Bagaimana ASEAN?
Beberapa analisis
menggambarkan, keputusan brexit berdampak signifikan bagi Inggris, baik
secara ekonomi, politik maupun pertahanan dan keamanan. Meskipun dampaknya tidak
langsung secara signifikan, dampak itu juga negatif bagi ASEAN. Karena itu,
perlu dicatat beberapa pelajaran apakah ASEAN juga bisa mengalami hal serupa
di masa mendatang.
Berbeda dengan UE,
ASEAN tidak mengarah pada pembentukan organisasi yang bersifat supranasional
dengan mekanisme seperti Komisi Eropa, yang selama ini jadi sasaran kritisi
dari kelompok skeptis di Inggris. Proses perundingan perjanjian perdagangan
bebas (free trade agreement/FTA)
dilakukan Komisi Eropa, sementara pembentukan Zona Perdagangan Bebas ASEAN
dan beberapa FTA dengan negara lain, khususnya ASEAN-RRT, perundingan
dilakukan melibatkan konsensus 10 negara anggota ASEAN dan dilakukan secara
kolektif.
Berbeda dengan Komisi
Eropa, peranan Sekretariat ASEAN tidak membuat regulasi, tetapi mendukung
implementasi kesepakatan, termasuk di tingkat nasional. Dalam kaitan ini, tak
ada alasan kuat bahwa kewenangan negara anggota diambil ASEAN.
Meski demikian,
tantangan yang patut dipertimbangkan adalah pemahaman masyarakat. Seperti di
ASEAN dan di EU, pemahaman rakyat sangat minim, termasuk memahami dampak
positif maupun negatif. Kelompok skeptis menuduh birokrasi UE di Brussels
mengambil alih kedaulatan dan kebanggaan Inggris sebagai Britania Raya (Great Britain). Kegagalan dalam mengantisipasi
dan menangani arus imigran serta kasus-kasus terorisme, krisis ekonomi telah
memperburuk citra UE di mata rakyat negara anggotanya.
Benang merahnya,
antara lain dalam proses integrasi tak boleh take the people for granted. Karena itu, sejak disusunnya Piagam
ASEAN, gagasan menjadikan ASEAN sebagai organisasi berorientasi kepada rakyat
dan berpusat pada rakyat harus konkret direalisasikan dan dirasakan seluruh
rakyat. Berlakunya Masyarakat ASEAN dan pencanangan Visi ASEAN 2025 tidak
banyak diketahui dan dipahami, bahkan kesannya business as usual dan tak
dijadikan momentum, tetapi justru memunculkan kekhawatiran dan skeptis.
Pengalaman kegagalan
pada 2012 untuk menghasilkan konsensus ASEAN mengenai Laut Tiongkok Selatan,
masih menjadi kekhawatiran setiap ketua ASEAN. Pengalaman ini membuat
sebagian negara mencoba menghindari dan menunda pembahasan isu ini. Posisi bersama ASEAN usai pengumuman PCA
(Tribunal) Laut Tiongkok Selatan menjadi ujian yang berat ketua saat ini,
khususnya unitas dan kohesivitas ASEAN.
Beberapa hasil positif
selama ini, seperti stabilitas keamanan selama lima dekade sejak
pembentukannya, demokratisasi di Myanmar, penguatan perlindungan hak asasi
manusia jadi tak relevan bila ASEAN tidak bisa mempertahankan kesatuan.
Pengakuan masyarakat internasional yang cukup tinggi akan semakin berkurang
dan rakyat juga dapat mempertanyakan relevansi ASEAN.
Untuk itu, apa pun
keputusan referendum, dampaknya jelas ada meski tak signifikan, khususnya
dalam proses integrasi kawasan. Keputusan referendum harus jadi pembelajaran
bagi ASEAN, khususnya pemahaman rakyat dan dampak yang dirasakan dari proses
integrasi ASEAN. Gagasan menempatkan "kepentingan rakyat" harus
direalisasikan secara jelas dan konkret.
Dinamika
Kemampuan mengelola
dinamika internal maupun eksternal ASEAN tidak dapat dihadapi dengan
pendekatan business as usual,
antara lain dengan menghindari pembahasan isu-isu sensitif dengan dalih tidak
ada konsensus yang bulat. Dalam menghadapi dinamika geopolitik, penting
sekali bagi ASEAN justru mewujudkan jati diri dengan mengedepankan berbagai
prinsip yang telah disepakati.
Gagasan tinjauan ulang
Piagam ASEAN setelah delapan tahun berlakunya tidak perlu ditanggapi dengan
kekhawatiran untuk membuka kotak pandora. Banyak negara masih skeptis bahwa
proses ini akan membuka kembali perdebatan lama, dan cenderung memilih
menghindar. Kohesivitas dan sentralitas ASEAN akan semakin sulit terwujud
bilamana tidak dilakukan dialog secara mendalam, khususnya untuk menyambut
era 50 mendatang di usia setengah abad ASEAN pada tahun 2017. Setiap negara
anggota perlu memahami moto yang diangkat Menlu RI terkait peranan Indonesia
di ASEAN, yakni "Dengan Indonesia, ASEAN Kuat: Dengan ASEAN, Indonesia
Maju".
Akhirnya, apa pun
hasil referendum, peranan ASEAN untuk mempertahankan stabilitas dan keamanan
kawasan dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya merupakan keniscayaan tidak
dapat dikelola secara business as usual.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar