Birokrasi Bunglon
Suwidi Tono ;
Koordinator Forum ”Menjadi
Indonesia”
|
KOMPAS, 04 Mei 2016
Upaya
mendorong perubahan dalam belitan sistem yang telah mengakar umumnya
terganjal tembok penghalang, yaitu perilaku business as usual dan keengganan keluar dari zona nyaman.
Reformasi birokrasi tersendat dan berada dalam kubangan rintangan ini.
Tiga
petunjuk berikut menjelaskan kelemahan reformasi birokrasi saat berhadapan
dengan hambatan dan kelindan aneka kepentingan. Kisah pertama tentang keluhan
seorang camat di Kota Depok, Jawa Barat, kepada penulis. Menapak karier dari
bawah selama 23 tahun selepas menamatkan pendidikan di APDN, ia beroleh
predikat teladan dan sejumlah penghargaan sebagai bukti kompetensi dan
dedikasi. Namun, camat on call ini
mandek kariernya, tidak mendapatkan promosi kecuali hanya rotasi dan mutasi
biasa.
Fakta
kedua tentang dua sahabat yang mengikuti seleksi terbuka lewat lelang
jabatanuntuk posisi dirjen sebuah kementerian dan wakil rektor universitas
negeri. Meski masing-masing menempati peringkat tertinggi setelah lolos
seleksi akhir, yang terpilih dan dilantik justru kandidat berperingkat lebih
rendah.
Ilustrasi
ketiga adalah pernyataan Badan Kepegawaian Negara (BKN)yang menyebut
mayoritas pejabat eselon I dan II di instansi pemerintah memiliki kompetensi rendah
(Kompas, 7/4). Selain itu, BKN juga menemukan data 57.000 pegawai negeri
sipil (PNS) yang tidak diketahui keberadaannya alias misterius. Di perguruan
tinggi negeri saja, terdapat 5.000 dari 120.000 PNS yang tidak jelas
statusnya.
Tumpul sanksi
Tiga
ilustrasi fakta tersebutbukan semata kasus sporadis, melainkan mewakili
gambaran umum keruwetan aparatur pemerintahan kita. Kondisi ini menegaskan
proses reformasi birokrasi berhenti hanya sekadar politicalwill, jauh dari
ketangguhan sistem dan peta jalan, transparan, dan akuntabel. Pokok persoalan
kelambanan menghela gerak maju birokrasi mengerucut pada hal-hal yang sudah
menjadi rahasia umum, yaitu kental campur tangan politik kepentingan,kontrol
lemah, dan tumpulnya sanksi dan apresiasi.
Sirkulasi
elite—terutama di daerah—sebagian besar masih dalam kendali politik
kepentingan yang berbasis oligarki, nepotisme, dan transaksional. Dua
indikasi buruk yang mudah ditengarai adalah berlangsungnya rotasi dan mutasi
pejabat eselon laksana ”arisan jabatan” dan perekrutan yang mengabaikan asas
kelayakan dan kompetensi. Setali tiga uang, pada eselon III dan IV,
perekrutmen pejabat juga tertutup, tidak mengacu pada assessment jelas dan terukur. Bagi mereka yang berupaya bekerja
lurus dan memupuk kompetensi tidak ada yang lebih membuat frustrasi selain
remunerasi kacau dan sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme alias KKN.
Secara
nasional, dampak stagnasi reformasi birokrasi jelas terlihat danmerugikan
tata kelola bernegara. Salah satunya terus berulang setiap tahun, yaitu
rendahnya serapan anggaran, terutama untuk pos belanja modal di kementerian
dan lembaga negara. Fakta ini member petunjuk langgengnya kultur rutinitas.
Jebakan rutinitas mengakar hingga daerah sehingga setiap tahun dana
perimbangan pusat ke daerah selalu menumpuk di perbankan karena realisasi
program selalu molor atau bahkan tidak jadi dikerjakan.
Akibatnya,
fungsi belanja modal pemerintah sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi tidak
optimal. Presiden Jokowi berulang kali mengungkapkan kekecewaannya menyikapi
kelambanan serapan anggaran. Ia meminta kementerian dan lembaga negara
menyegerakan pelaksanaan lelang proyek-proyek pemerintah (Kompas, 11/5).
Problem klasik dari rezim ke rezim ini muskil terpecahkan jikatak ada
perubahan radikal berupa pembaruan sistem birokrasi pusat dan daerah.
Dampak
lain reformasi birokrasi yang miskin peta jalan adalah tidak terkendalinya
penambahan jumlah personel terutama di daerah, ruwetnya penjenjangan karier,
dan semakin besarnya beban anggaran untuk menopang belanja pegawai. Dengan
jumlah PNS mencapai sekitar 4,4 juta orang dan komposisinya timpang, 80
persen tenaga administratif dan 20 persen fungsional, tugas-tugas pelayanan
dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sukar tercapai. Anomali justru terjadi
pada tenaga guru honorer yang melonjak setelah era otonomi daerah, dari 84.000
pada 2005 menjadi 812.000pada 2015.
Selain
daya ungkit belanja modal tak optimal, warisan masalah yang tidak berkurang
bobotnya adalah stabilnya ketergantungan struktur keuangan daerah ke pusat. Mayoritas
APBD tak otonom banyak bersumber dari dana alokasi umum, dana alokasi khusus,
dana dekonsentrasi, dan lain-lain. Ketergantungan ini menegaskan miskinnya
inovasi untuk menggali sumber-sumber pendapatan baru dari kreasi lokal. Tanpa
panduan dan perubahan mendasar, beban ini bakal mendatangkan masalah besar
jika pendapatan negara merosot dalam jangka waktu lama.
Libatkan masyarakat
Baliho
dan banner revolusi mental kini banyak terpasang di kantor-kantorinstansi
pemerintah. Beberapa telah berubah dan bergerak mewujudkan pelayanan cepat
dan”bersih”. Namun, karakter birokrasi secara keseluruhan belum beranjak jauh
dari analogi bunglon: seolah-olah berubah, tetapi hakikatnya masih tetap
sama.
Singkatnya,
harus ada mekanisme sanksi dan apresiasi terukur dan mengikat untuk melansir
perubahan berkelanjutan menuju tata birokrasi ideal. Dalam konteks hasil dan
capaian, penilaian berbasis indeks kinerja utama semestinya melibatkan
masyarakat sebagai penerima dampak kebijakan dan kepemimpinan. Proses
penilaian tidak boleh lagi bersifat internal, tetapi terbuka dan akuntabel.
Apalagi bila pengisian jabatan melalui mekanisme lelang dengan persyaratan
dan target yang jelas.
Demikian
pula promosi untuk pejabat eselon semestinya tidak hanya mengandalkan badan
pertimbangan jabatan dan kepangkatan (baperjakat), tetapi dengan melibatkan pemangku
kepentingan. Meritokrasi berkualitas mustahil terwujud melalui seleksi
tertutup dan menafikan kebutuhan berdimensi luas.
Secara
keseluruhan, fokus perbaikan kinerja birokrasi seharusnya bertumpu pada standar
yang dapat dipahami dan menjadi tujuan akhir bersama, yakni peningkatan
Indeks Pembangunan Manusia. Titik beratnya pada peningkatan aspek pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Kriteria ini
selain sederhana, jelas, dan terukur, juga memastikan kesatuan panduan
kinerja bagi semua aparatur pemerintah.
Birokrasi
memang tidak sepenuhnya bisa terlepas dari konstelasi politik lokal dan
nasional yang merasuk ke dalam sistem pemerintahan. Profesionalisme dan code of conduct dapat menjadi penjaga
netralitas dan menjamin meritokrasi. Patronase politik dan kepentingan tidak
akan leluasa bermain jika ”pagar” yang dibuat kokoh membentengi dan tersedia
sistem pengawasan dengan melibatkan peran aktif berbagai elemen masyarakat.
Spektrum
persoalan birokrasi akan menjadi beban berat di masa depan manakala
pendekatan pemecahan secara substansial absen dilakukan sedari sekarang.
Konfigurasi tantangan yang mengemuka sudah sangat jelas. Kebutuhannya bukan
sekadar perubahan mentalitas birokrasi dari provider menjadi enabler,
pangreh praja menjadi pamong praja, melainkan lebih dari itu, yakni menjadi
agen perubahan untuk mengejar berbagai ketertinggalan dan keterbelakangan.
Dalam
hubungan ini, kritik MAW Brower (1983) dapat digunakan sebagai pengingat
sekaligus pelecut: ”Dulu, Prusia
dianggap sebagai negara militer, Tiongkok Maois negara buruh, Amerika negara
wiraswasta, Iran negara ulama, dan Indonesia bisa dianggap sebagai negara
pegawai”. Sekarang, semua negara itu telah berubah, kecuali kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar