Jumat, 05 Februari 2016

Revitalisasi GBHN, Revitalisasi MPR

Revitalisasi GBHN, Revitalisasi MPR

Hajriyanto Y Thohari  ;   Wakil Ketua MPR RI Periode 2009-2014
                                                  REPUBLIKA, 03 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada 10-12 Januari 2016 memutuskan untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan—atau tanpa—amendemen UUD 1945 secara terbatas. Meski ini bukan hal baru karena sebelumnya telah banyak wacana tentang perlunya revitalisasi GBHN.

Akan tetapi, harus diakui bahwa keputusan partai politik pemenang Pemilu 2014 ini adalah yang paling berwibawa: resonansi dan reperkusi politiknya bukan hanya sangat kuat, bahkan tujuh lembaga (tinggi) negara langsung melakukan rapat konsultasi dan setuju menindaklanjuti keputusan PDIP itu. Alhasil, masyarakat pun memandang PDIP bersungguh-sungguh dengan keputusannya itu.

Sejatinya tidaklah benar jika dikatakan sejak reformasi negara kita berjalan tanpa GBHN. Secara subtansial, ada "GHBN", yaitu apa yang sekarang ini disebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Meski secara formal dalam nomenklatur kenegaraan kita tidak ada kata GBHN (dalam huruf besar), secara substansial apa yang dulu dikandung dalam GBHN sudah ada dalam RPJM.

Dan RPJM 2915-2019 (Perpres No 2 Tahun 2015) yang berjalan sekarang ini—sebagaimana beberapa RPJM sebelumnya—juga berpedoman pada UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025) dan UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

Persoalannya adalah—dan hanyalah—bahwa RPJM diwadahi hanya dalam peraturan presiden (perpres). Adapun RPJPN dan SPPN yang—benar atau salah—diklaim oleh setiap presiden telah dijadikan pedoman dalam penyusunan RPJM itu juga hanya dalam undang-undang (UU). Sebuah perpres tentu mengikat (binding) juga, tetapi daya ikat hukum dan politik (legal and political binding)-nya dalam hierarki peraturan perundangan di Indonesia hanya menempati urutan kelima di bawah peraturan pemerintah (PP).

Bandingkan dengan GBHN dulu: diamanatkan secara eksplisit dalam UUD 1945 (urutan pertama) dan diwadahi dalam sebuah ketetapan MPR (urutan kedua). (Lihat UU No 12 Tahun 2011).

Dalam konteks dan perspektif seperti inilah, pemikiran dan keputusan untuk menghidupkan kembali GBHN menemukan alurnya. Di sana ada kesimpulan bahwa negara ini memerlukan GBHN dengan konsensus yang lebih kuat sehingga lebih menjamin konsistensi dan kesinambungan dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Konsisten artinya dilaksanakan secara taat asas oleh seluruh penyelenggara negara secara horizontal (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Sedangkan, vertikal (pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) mendapatkan partisipasi rakyat dan secara sinkronis dan diakronis berkelanjutan: dari satu rezim ke rezim berikutnya yang datang silih berganti sesuai jadwal demokrasi.

Kualitas konsistensi dan kelumintuan semacam itulah yang dinilai tidak bisa dimiliki oleh RPJM yang hanya diwadahi dalam perpres: siapa yang menjamin konsistensi arah pembangunan dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan berikutnya, baik secara horizontal maupun vertikal tadi? Alih-alih sangat meyakinkan, setiap datang presiden baru, datang pula "GBHN" (baca: RPJM) baru yang berbeda sama sekali dari GBHN sebelumnya.

Sebagai contoh, RPJM 2015-2019 sekarang ini sebenarnya adalah visi, misi, dan agenda (nawacita) yang disampaikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla ketika berkampanye dalam Pilpres 2014. Meski diklaim berpedoman pada RPJPN dan SPPN yang sama dengan RPJM yang dibuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, nyatanya keduanya sama sekali berbeda.

Karena itu, sulit untuk mengatakan RPJM sekarang ini merupakan kesinambungan yang konsisten dari RPJM sebelumnya. Alhasil, negara dalam kondisi ketiadaan arah yang tetap dan konsisten: ada RPJM, artinya ada GBHN, tetapi berubah-ubah bergantung pada siapa yang menjadi penguasa sesuai dengan hasil pemilu.

Sementara itu, konsistensi secara vertikal juga tidak kurang muskilnya. Sebab, gubernur dan bupati/wali kota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota faktanya juga mempunyai visi, misi, dan program sendiri yang dijajakan dalam kampanye pilkada.

Pertanyaannya adalah apakah ada jaminan visi dan misi para calon gubernur, bupati, dan wali kota tersebut mengikuti visi, misi, dan agenda presiden yang kemudian menjelma menjadi RPJM itu? Bukankah semua orang juga tahu bahwa antara presiden, gubernur, dan bupati/wali kota masing-masing datang dalam tahun yang berbeda dan dari latar belakang parpol yang platform politiknya juga berbeda satu sama lain?

Relevansi revitalisasi

Alur pikir bahwa Indonesia yang besar dan kompleks ini memerlukan GBHN yang merupakan konsensus nasional yang kuat dengan kualitas konsistensi dan keberlanjutan seperti di atas, memang masuk akal. Hanya saja, persoalan GBHN itu sistemis: terkait erat dengan sistem politik dan ketatanegaraan.

Dalam konteks dan perspektif ini, persoalannya bukan hanya sekadar bagaimana merevitalisasi GBHN semata, melainkan juga bagaimana meletakkannya dalam konteks sistem politik dan ketatanegaraan secara menyeluruh.

Jika hanya sekadar membuat GBHN yang kemudian diwadahi dalam ketetapan MPR, sekarang ini pun—dengan modal kesepahaman yang dihasilkan dalam rapat konsultasi tujuh lembaga negara tentang pentingnya menyusun kembali GBHN (Kompas, 20 Januari 2016)—maka saya rasa GBHN bisa segera diwujudkan.

Namun, jika sistem ketatanegaraan tidak diubah kembali dan disesuaikan dengan—meninjam istilah Prof Padmo Wahjono—"Sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)" seperti sebelum reformasi, pembentukan GBHN itu tidak akan efektif alias muspra.

Dalam "Sistem MPR", MPR adalah lembaga tertinggi negara dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat: memilih presiden, membuat GBHN, dan memberikan mandat kepada presiden untuk melaksanakan GBHN tersebut. MPR juga berwenang meminta kepada presiden sebagai mandataris untuk menyampaikan pertanggungjawaban mandatnya setelah lima tahun pelaksanaannya kepada MPR yang telah memilihnya. Bahkan, dalam "Sistem MPR" penyimpangan terhadap Haluan Negara—dan GBHN adalah salah satu haluan negara—bisa mengakibatkan jatuhnya memorandum DPR yang bisa berujung pada pemakzulan presiden.

Jadi, harus diingat, problemnya bukan hanya sekadar bagaimana menyusun kembali GBHN, melainkan jauh lebih fundamental dari itu: bisa sampai pada problem keberadaan "sistem MPR".  Menyusun kembali GBHN tanpa menyusun kembali sistem MPR niscaya hanya akan membuat dokumen kearifan yang ompong. Dus tidak relevan!

Revitalisasi GBHN mengharuskan revitalisasi MPR yang untuk itu amendemen UUD 1945 memang menjadi keniscayaan. Isu yang tersebut terakhir ini, revitalisasi MPR dan amendemen UUD 1945, niscaya akan menguras energi bangsa habis-habisan.

Sebagai partai yang merasa berkuasa (the ruling party), dan bukan sekadar partainya penguasa (the ruler's party), agenda politik ini jika benar akan dilaksanakan, sungguh terhitung berani dan karena itu menarik dicermati. Pasalnya, mengubah UUD bukan hanya berisiko secara politik, melainkan juga memerlukan kalkulasi yang cermat dan terukur.

Dukungan politik dari parpol lain mungkin bisa dengan mudah didapatkan oleh sebuah parpol pemenang pemilu yang juga bertindak sebagai pimpinan koalisi penguasa, seperti PDIP ini. Namun, momentum politik belum tentu datang setiap waktu. Apalagi, jika sudah masuk hitungan faktor risiko kegaduhan politik yang mungkin akan ditimbulkannya nanti.

Lihat saja agenda amendemen UUD 1945 yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 2006: kandas di awal jalan karena Partai Demokrat (PD) sebagai pimpinan koalisi parpol pendukung pemerintah waktu itu berkeberatan dilakukan di masa kepemimpinannya karena berpotensi menimbulkan kegaduhan politik.

Biasanya, di negeri ini partai politik yang sedang berkuasa selalu cenderung pro status quo, antipembaruan, dan mengutamakan stabilitas dengan menjauhi agenda politik yang berpotensi menimbulkan kegaduhan.

Dalam konteks dan perspektif ini, langkah PDIP dapat dikatakan sebagai inkonvensional. Meski akan dilakukan secara terbatas, tidak ada yang bisa menjamin agenda amendemen UUD benar-benar akan terbatas. Pengalaman menunjukkan, amendemen UUD di negeri ini selalu eksesif dan bagaikan kotak pandora: cenderung liar. Belum lagi kemungkinan akan munculnya pembonceng yang akan mencuri di tikungan untuk tawar-menawar politik. Tak heran jika biasanya seorang presiden yang sedang berkuasa tidak pernah benar-benar menginginkan amendemen UUD dilaksanakan dalam masa kepemimpinannya.

Jadi, pertanyaannya benarkah PDIP bersungguh-sungguh akan mendorong sidang MPR untuk merevitalisasi GBHN melalui amendemen UUD 1945 dengan implikasi akan mengembalikan sistem MPR? Sungguh, Tuhan Mahatahu, tapi Dia menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar