Revitalisasi GBHN, Revitalisasi MPR
Hajriyanto Y Thohari ; Wakil Ketua MPR RI Periode 2009-2014
|
REPUBLIKA, 03
Februari 2016
Rapat Kerja Nasional
(Rakernas) I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada 10-12 Januari 2016
memutuskan untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
dengan—atau tanpa—amendemen UUD 1945 secara terbatas. Meski ini bukan hal
baru karena sebelumnya telah banyak wacana tentang perlunya revitalisasi
GBHN.
Akan tetapi, harus
diakui bahwa keputusan partai politik pemenang Pemilu 2014 ini adalah yang
paling berwibawa: resonansi dan reperkusi politiknya bukan hanya sangat kuat,
bahkan tujuh lembaga (tinggi) negara langsung melakukan rapat konsultasi dan
setuju menindaklanjuti keputusan PDIP itu. Alhasil, masyarakat pun memandang
PDIP bersungguh-sungguh dengan keputusannya itu.
Sejatinya tidaklah
benar jika dikatakan sejak reformasi negara kita berjalan tanpa GBHN. Secara
subtansial, ada "GHBN", yaitu apa yang sekarang ini disebut Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Meski secara formal dalam nomenklatur
kenegaraan kita tidak ada kata GBHN (dalam huruf besar), secara substansial
apa yang dulu dikandung dalam GBHN sudah ada dalam RPJM.
Dan RPJM 2915-2019
(Perpres No 2 Tahun 2015) yang berjalan sekarang ini—sebagaimana beberapa
RPJM sebelumnya—juga berpedoman pada UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025) dan UU No 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Persoalannya adalah—dan
hanyalah—bahwa RPJM diwadahi hanya dalam peraturan presiden (perpres). Adapun
RPJPN dan SPPN yang—benar atau salah—diklaim oleh setiap presiden telah
dijadikan pedoman dalam penyusunan RPJM itu juga hanya dalam undang-undang
(UU). Sebuah perpres tentu mengikat (binding)
juga, tetapi daya ikat hukum dan politik (legal
and political binding)-nya dalam hierarki peraturan perundangan di
Indonesia hanya menempati urutan kelima di bawah peraturan pemerintah (PP).
Bandingkan dengan GBHN
dulu: diamanatkan secara eksplisit dalam UUD 1945 (urutan pertama) dan
diwadahi dalam sebuah ketetapan MPR (urutan kedua). (Lihat UU No 12 Tahun
2011).
Dalam konteks dan
perspektif seperti inilah, pemikiran dan keputusan untuk menghidupkan kembali
GBHN menemukan alurnya. Di sana ada kesimpulan bahwa negara ini memerlukan
GBHN dengan konsensus yang lebih kuat sehingga lebih menjamin konsistensi dan
kesinambungan dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Konsisten artinya dilaksanakan secara
taat asas oleh seluruh penyelenggara negara secara horizontal (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif).
Sedangkan, vertikal
(pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) mendapatkan partisipasi
rakyat dan secara sinkronis dan diakronis berkelanjutan: dari satu rezim ke
rezim berikutnya yang datang silih berganti sesuai jadwal demokrasi.
Kualitas konsistensi
dan kelumintuan semacam itulah yang dinilai tidak bisa dimiliki oleh RPJM
yang hanya diwadahi dalam perpres: siapa yang menjamin konsistensi arah
pembangunan dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan berikutnya, baik
secara horizontal maupun vertikal tadi? Alih-alih sangat meyakinkan, setiap
datang presiden baru, datang pula "GBHN" (baca: RPJM) baru yang
berbeda sama sekali dari GBHN sebelumnya.
Sebagai contoh, RPJM
2015-2019 sekarang ini sebenarnya adalah visi, misi, dan agenda (nawacita)
yang disampaikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla ketika
berkampanye dalam Pilpres 2014. Meski diklaim berpedoman pada RPJPN dan SPPN
yang sama dengan RPJM yang dibuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, nyatanya
keduanya sama sekali berbeda.
Karena itu, sulit
untuk mengatakan RPJM sekarang ini merupakan kesinambungan yang konsisten
dari RPJM sebelumnya. Alhasil, negara dalam kondisi ketiadaan arah yang tetap
dan konsisten: ada RPJM, artinya ada GBHN, tetapi berubah-ubah bergantung
pada siapa yang menjadi penguasa sesuai dengan hasil pemilu.
Sementara itu,
konsistensi secara vertikal juga tidak kurang muskilnya. Sebab, gubernur dan
bupati/wali kota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan
kota faktanya juga mempunyai visi, misi, dan program sendiri yang dijajakan
dalam kampanye pilkada.
Pertanyaannya adalah
apakah ada jaminan visi dan misi para calon gubernur, bupati, dan wali kota
tersebut mengikuti visi, misi, dan agenda presiden yang kemudian menjelma
menjadi RPJM itu? Bukankah semua orang juga tahu bahwa antara presiden,
gubernur, dan bupati/wali kota masing-masing datang dalam tahun yang berbeda
dan dari latar belakang parpol yang platform politiknya juga berbeda satu
sama lain?
Relevansi revitalisasi
Alur pikir bahwa
Indonesia yang besar dan kompleks ini memerlukan GBHN yang merupakan
konsensus nasional yang kuat dengan kualitas konsistensi dan keberlanjutan
seperti di atas, memang masuk akal. Hanya saja, persoalan GBHN itu sistemis:
terkait erat dengan sistem politik dan ketatanegaraan.
Dalam konteks dan
perspektif ini, persoalannya bukan hanya sekadar bagaimana merevitalisasi
GBHN semata, melainkan juga bagaimana meletakkannya dalam konteks sistem
politik dan ketatanegaraan secara menyeluruh.
Jika hanya sekadar
membuat GBHN yang kemudian diwadahi dalam ketetapan MPR, sekarang ini
pun—dengan modal kesepahaman yang dihasilkan dalam rapat konsultasi tujuh
lembaga negara tentang pentingnya menyusun kembali GBHN (Kompas, 20 Januari
2016)—maka saya rasa GBHN bisa segera diwujudkan.
Namun, jika sistem
ketatanegaraan tidak diubah kembali dan disesuaikan dengan—meninjam istilah
Prof Padmo Wahjono—"Sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)"
seperti sebelum reformasi, pembentukan GBHN itu tidak akan efektif alias
muspra.
Dalam "Sistem
MPR", MPR adalah lembaga tertinggi negara dan pelaksana sepenuhnya
kedaulatan rakyat: memilih presiden, membuat GBHN, dan memberikan mandat
kepada presiden untuk melaksanakan GBHN tersebut. MPR juga berwenang meminta
kepada presiden sebagai mandataris untuk menyampaikan pertanggungjawaban
mandatnya setelah lima tahun pelaksanaannya kepada MPR yang telah memilihnya.
Bahkan, dalam "Sistem MPR" penyimpangan terhadap Haluan Negara—dan
GBHN adalah salah satu haluan negara—bisa mengakibatkan jatuhnya memorandum
DPR yang bisa berujung pada pemakzulan presiden.
Jadi, harus diingat,
problemnya bukan hanya sekadar bagaimana menyusun kembali GBHN, melainkan
jauh lebih fundamental dari itu: bisa sampai pada problem keberadaan
"sistem MPR". Menyusun
kembali GBHN tanpa menyusun kembali sistem MPR niscaya hanya akan membuat
dokumen kearifan yang ompong. Dus tidak relevan!
Revitalisasi GBHN
mengharuskan revitalisasi MPR yang untuk itu amendemen UUD 1945 memang
menjadi keniscayaan. Isu yang tersebut terakhir ini, revitalisasi MPR dan
amendemen UUD 1945, niscaya akan menguras energi bangsa habis-habisan.
Sebagai partai yang
merasa berkuasa (the ruling party),
dan bukan sekadar partainya penguasa (the
ruler's party), agenda politik ini jika benar akan dilaksanakan, sungguh
terhitung berani dan karena itu menarik dicermati. Pasalnya, mengubah UUD
bukan hanya berisiko secara politik, melainkan juga memerlukan kalkulasi yang
cermat dan terukur.
Dukungan politik dari
parpol lain mungkin bisa dengan mudah didapatkan oleh sebuah parpol pemenang
pemilu yang juga bertindak sebagai pimpinan koalisi penguasa, seperti PDIP
ini. Namun, momentum politik belum tentu datang setiap waktu. Apalagi, jika
sudah masuk hitungan faktor risiko kegaduhan politik yang mungkin akan
ditimbulkannya nanti.
Lihat saja agenda
amendemen UUD 1945 yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada
2006: kandas di awal jalan karena Partai Demokrat (PD) sebagai pimpinan
koalisi parpol pendukung pemerintah waktu itu berkeberatan dilakukan di masa
kepemimpinannya karena berpotensi menimbulkan kegaduhan politik.
Biasanya, di negeri
ini partai politik yang sedang berkuasa selalu cenderung pro status quo,
antipembaruan, dan mengutamakan stabilitas dengan menjauhi agenda politik
yang berpotensi menimbulkan kegaduhan.
Dalam konteks dan
perspektif ini, langkah PDIP dapat dikatakan sebagai inkonvensional. Meski
akan dilakukan secara terbatas, tidak ada yang bisa menjamin agenda amendemen
UUD benar-benar akan terbatas. Pengalaman menunjukkan, amendemen UUD di
negeri ini selalu eksesif dan bagaikan kotak pandora: cenderung liar. Belum
lagi kemungkinan akan munculnya pembonceng yang akan mencuri di tikungan
untuk tawar-menawar politik. Tak heran jika biasanya seorang presiden yang
sedang berkuasa tidak pernah benar-benar menginginkan amendemen UUD
dilaksanakan dalam masa kepemimpinannya.
Jadi, pertanyaannya
benarkah PDIP bersungguh-sungguh akan mendorong sidang MPR untuk
merevitalisasi GBHN melalui amendemen UUD 1945 dengan implikasi akan
mengembalikan sistem MPR? Sungguh, Tuhan Mahatahu, tapi Dia menunggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar