Robohnya Benteng Keadilan
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 18
Februari 2016
Semula terbayang
Mahkamah Agung akan marah besar sewaktu Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata
dan Tata Laksana Perkara Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna ditangkap
Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat (12/2) pekan lalu. Pasalnya,
penangkapan itu bukan hanya mempermalukan MA, melainkan juga mengonfirmasi
bahwa mafia di MA masih bercokol kuat. Padahal, MA adalah benteng terakhir
tempat seluruh rakyat mendambakan keadilan.
Hampir sepekan
kemudian, Ketua Kamar Pembinaan MA Takdir Rahmadi merespons bahwa kejadian
itu ibarat setitik nila yang merusak susu sebelanga. "Ini satu
kecelakaan, satu musibah. Kita sangat mencela." kata Takdir, Rabu
(17/2). Namun sayang, kasus tersebut direduksi sebatas "kecelakaan"
atau "musibah". Padahal, sehari sebelumnya Juru Bicara MA Suhadi
mengakui, kemungkinan ada pihak-pihak lain di MA yang terlibat.
Jika mencermati
sebelumnya ketika hakim Setyabudi Tejocahyono, Wakil Ketua PN Bandung (2013),
ditangkap KPK karena kasus suap, Ketua MA Hatta Ali bereaksi keras. Ia
menganggap Setyabudi pengkhianat korps kehakiman. "Kesejahteraan hakim
sudah ditingkatkan, kok, masih ada hakim seperti itu. Di tengah ikatan hakim
membangun kepercayaan publik, masih ada yang mengkhianati," ujar Hatta.
"Saya akan bersikap tegas kepada hakim-hakim yang mencoreng lembaga
peradilan," ujar Hatta, Maret 2013.
Di republik ini memang
nyaris tidak ada institusi pemegang mandat rakyat atau penyelenggara negara,
baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, bahkan korporasi yang terbebas
dari wabah virus korupsi. Ibarat tubuh, virus korupsi telah mengalir dalam
darah. Semakin diberi vaksinasi untuk membentuk antibodi, virus korupsi juga
mencari cara baru untuk mengalahkan antibodi itu.
Parahnya, lembaga
peradilan yang dipercaya sebagai benteng terakhir keadilan justru tak imun.
Sudah 18 tahun reformasi, tetapi MA-dan institusi di lingkungannya-tak bisa
bersih-bersih juga. Jika para penegak hukum tidak mampu memberi keadilan,
lalu harapan apa lagi yang tersisa? "Ketika kita tidak menghukum pelaku
kejahatan, bukan hanya melindungi mereka, melainkan kita telah merusak
dasar-dasar keadilan generasi baru," kata Aleksandr Solzhenitsyn
(1918-2008), novelis penerima Nobel Sastra (1970), pengkritik rezim Uni
Soviet, dan penulis The Gulag Archipelago.
Padahal menjadi
penegak hukum, terlebih hakim, adalah posisi teramat mulia. Di ruang sidang
dipanggil "Yang Mulia". Tak heran, hanya hakim yang kerap dipandang
sebagai "wakil Tuhan". Maka, di MA seharusnya merupakan kumpulan
orang yang bermartabat, memiliki integritas dan moralitas tinggi, dengan
noblesse oblige luar biasa.
Karena itu, menjadi
hakim atau pegawai di MA haruslah mereka yang terpanggil untuk mengabdi, bukan
sekadar pencari kerja, apalagi bermain mata memperdagangkan perkara.
Justitia-dewi keadilan sejak era Romawi-dengan penutup mata, timbangan, dan
pedang, adalah personifikasi penegakan hukum yang adil, tanpa pandang bulu,
bukan membutakan hati nurani dan menutup mata dari keadilan.
Ada kisah hakim yang
bisa jadi panutan: Syuraih al-Qadhi asal Yaman. Walaupun yang beperkara orang
besar, yaitu Khalifah Umar bin Khattab (periode 634-644) dalam kasus
pembelian kuda dan Khalifah Ali Bin Abi Thalib (periode 656-661) dalam kasus
kehilangan baju besi, dia tak terpengaruh. Singkat cerita, setelah melihat
bukti dan mendengar saksi, putusan Syuraih mengalahkan dua khalifah itu.
Namun, karena dinilai adil, Umar justru mengangkat Syuraih menjadi hakim di
Kufah, Irak.
Nah, dari Gedung MA,
mengkhayalkan muncul sosok-sosok yang meniru Syuraih. Namun, kalau yang
terjadi penangkapan oleh KPK terus-menerus, rasanya-meminjam judul novel AA
Navis Robohnya Surau Kami-barangkali kian terasa robohnya benteng terakhir
keadilan kami.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar