Desa, Tanah, dan Pasar
Ahmad Erani Yustika ; Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat Desa (PPMD), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi
|
KOMPAS, 18
Februari 2016
Harian Kompas
telah mengoyak empat isu strategis terkait desa dalam sebulan terakhir. Pertama, penguasaan lahan di desa sudah
tidak dalam genggaman warga desa, tetapi dikuasai pemodal kakap di luar desa
(kota). Kedua, desa telah menjadi pasar barang/jasa yang mengalir dari kota
(juga komoditas impor) sehingga mekanisme pengisapan ekonomi terus terjadi.
Ketiga, rantai distribusi/logistik yang amat panjang dianggap pemicu
tingginya harga pangan, sehingga koperasi dan/atau badan usaha milik desa
(BUMDes) diharapkan punya daya memperpendek rantai tersebut agar inflasi
pangan bisa dikendalikan. Keempat, rasio gini di desa turun drastis setahun
terakhir ini dari 0,32 (September 2014) menjadi 0,27 (September 2015).
Sebagian menduga penurunan ini
karena terjadi pemiskinan massal sehingga yang berlangsung di desa adalah
"pemerataan kemiskinan". Sebetulnya keempat isu itu saling
bertautan dan punya daya pukul mematikan jika tak diurus sejak sekarang.
Penguasaan sumber daya
Belakangan ini teori ekonomi
yang mengupas soal faktor produksi digeser pemaknaannya dengan menyatakan tak
penting siapa yang memilikinya. Bahkan, bila dikuasai pelaku ekonomi asingpun
juga tak masalah, sepanjang bisa menciptakan lapangan kerja, memproduksi
barang/jasa, dan seterusnya.
Faktanya, penguasaan faktor
produksi tersebut, khususnya lahan dan modal, menjadi jangkar paling dalam
bagi penciptaan ketimpangan (pendapatan) yang akut. Ragam kebijakan yang
diluncurkan untuk mengatasi ketimpangan tak bertenaga karena tak menyentuh
perkara penguasaan sumber daya itu. Bahkan, ketimpangan dalam 10 tahun
terakhir melaju cepat seiring dengan pemburukan pemerataan distribusi sumber
daya ekonomi.
Oleh karena itu, penguasaan
sumber daya di tangan kaum tunalahan atau tunamodal merupakan agenda serius
yang mesti diperjuangkan. Kenyataan inilah yang enggan dijangkau sehingga
dengan kepastian yang tinggi tanah di desa sudah berpindah tangan dan
dikuasai sekelompok tuan tanah (baru).
Jika kemudian penguasaan lahan
di desa (juga sumber daya ekonomi lainnya) tak lagi di tangan warga desa
(petani), maka hal itu tidaklah mengejutkan karena prosesnya dibiarkan terus
terjadi, bahkan difasilitasi. Ini berbeda sekali dengan konstruksi para
pendiri bangsa yang mendesain Pasal 33 UUD 1945, di mana perekonomian
diwujudkan dalam semangat kolektivitas dan tidak dibiarkan sumber daya
dikuasai oleh orang per orang dalam jumlah yang sangat besar.
Hal itu dipertegas dengan
hadirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), UU Nomor 5 Tahun 1960, yang
memberi makna "sosial" terhadap sumber daya tanah. Oleh karena itu,
distribusi penguasaan tanah tak boleh dibiarkan semata karena kalkulasi
ekonomi dengan menumpang mekanisme pasar, tetapi harus lebih banyak menafkahi
aspek sosial (keadilan). Problem inilah yang terjadi saat ini, di mana Pasal
33 UUD 1945 dan UUPA tak lagi dijadikan sandaran dalam mendesain konsepsi hak
kepemilikan dan alokasi penguasaan lahan (tanah).
Harapan kembali mengalir ketika
program reforma agraria yang digelindingkan saat ini hendak dijadikan satu
paket dengan pembangunan desa. Penguasaan lahan di desa harus dihentikan dan
didistribusikan demi menyemai daya hidup warga desa. Politik fiskal yang
memberikan desa anggaran dalam jumlah memadai dan terus meningkat dari tahun
ke tahun merupakan syarat perlu, akan tetapi tak mencukupi.
Pada posisi ini, reforma agraria
adalah bagian dari syarat cukup (di luar kebijakan keuangan, pertanian,
perdagangan, industri, dan lain-lain). Pilihan reforma agraria bukan hanya
mendistribusikan lahan yang menganggur atau dikuasai oleh negara (seperti
Perhutani), tetapi juga memangkas korporasi swasta yang telah membekap gurita
lahan dan sumber daya alam lainnya. Pada level tertentu, dengan bekal UU Desa
(UU No 6/2014), desa bahkan memiliki otoritas melakukan reforma agraria skala
lokal dan penguasaan lahan bagi kemaslahatan bersama.
Desa dan pasar
Desa sebagai pasar tentu saja
realitas yang tak bisa ditolak. Dalam pengertian tertentu, desa adalah pasar
yang besar karena sebagian besar penduduk saat ini masih tinggal di desa,
meski dengan proporsi jumlah yang kian mengecil dengan daya beli yang rendah.
Meski demikian, nasib paling nahas yang dihadapi desa sekarang adalah
tertikam oleh pasar yang dinyatakan dalam abstraksi: "produsen barang
primer dan konsumen barang sekunder/tersier".
Jadi, produsen komoditas primer
bukanlah hal buruk karena hal itu bagian dari matra aktivitas ekonomi yang
penting. Menjadi persoalan bila komoditas primer itu dijual keluar (kota)
untuk diolah kembali dengan nilai tambah yang besar dan dijual balik ke desa.
Situasi yang mudah ditebak dari kisah itu adalah penyedotan ekonomi secara
sistematis, sehingga hasil penjualan tak cukup untuk mengongkosi kebutuhan
hidup. Bahkan, pada produk primer sekalipun banyak petani sudah menjadi
konsumen.
Dua isu berikut telah
digelindingkan dan hendak dikonversi jadi kebijakan. Pertama, penguasaan dan
kepemilikan sumber daya di desa mesti digandakan jadi kegiatan yang mempunyai
nilai tambah, yang sering disebut "industrialisasi desa".
Istilah ini tidak salah, tetapi
imajinasi atas model industrialisasi perlu dipetakan dengan baik.
Industrialiasi yang memiliki arti transformasi ke aktivitas ekonomi modern
dengan induksi modal, teknologi, dan inovasi tak boleh dibiarkan berlalu di
atas hamparan kepadatan modal yang berlebih ataupun injeksi teknologi yang
asing bagi warga desa.
Perlu dipahami, industrialisasi
di sini dimaknai sebagai ikhtiar memuliakan sumber daya ekonomi di desa lewat
modal yang ditanggung secara kolektif, memasukkan sebagian besar pelaku ke
tengah arena, dan mengerjakan secara bersama. Bila ini yang dijalankan, tidak
akan terjadi sebagian (kecil) pelaku ekonomi membajak hasil pembangunan untuk
kaumnya sendiri.
Kedua, pasar tak boleh
dilepaskan dari aturan main yang di- kendalikan oleh desa. Komoditas yang
sudah memiliki nilai tambah tersebut selain berfungsi memproteksi sumber daya
agar tidak keluar dari desa terlebih dulu, juga memastikan komoditas yang
diproduksi dalam kendali mereka dalam distribusinya. Bahkan, distribusi
tersebut juga termasuk dalam komoditas yang hendak masuk ke desa.
Banjir komoditas ke desa harus
dimaknai sebagai penetrasi barang/jasa yang bukan merupakan kebutuhan, tetapi
sebagian besar daftar "keinginan" yang dilesakkan lewat media iklan
secara masif. Demikian pula pelaku distribusi itu tidak dalam cengkeraman
warga desa sehingga nilai tambah mata rantai tata niaga juga lepas dari
mereka. Aturan main ini mesti dibuat secara mikro (level desa/komunitas) dan
makro (pemerintah pusat/daerah), khususnya kebijakan perdagangan.
Kementerian
atau dinas perdagangan jadi titik tumpu regulasi pada level makro.
Lumbung ekonomi desa
Sampai titik ini, agenda
penguatan organisasi ekonomi yang kukuh di desa menjadi amat vital. Koperasi
merupakan tulang punggung untuk menyulut energi atas kelemahan pelaku ekonomi
di desa. Spirit kebersamaan, persaudaraan, dan gotong royong menjadi akar
dari gerakan ekonomi ini.
Di masa lalu, sebelum digerus
oleh aneka penyimpangan nilai, koperasi jadi penyangga harkat hidup warga
desa. Sekarangpun masih banyak koperasi yang berjalan sesuai khitah, sehingga
fungsinya berjalan dengan rapi di masyarakat. Di luar itu, UU Desa juga
memberikan mandat membentuk BUMDes sebagai penyangga perekonomian desa.
BUMDes digagas untuk mengelola sumber daya ekonomi, sekaligus memperkuat
watak kolektivitas yang berakar kuat di desa. Sungguhpun begitu, operasi
BUMDes tak boleh bertubrukan dengan aktivitas ekonomi yang sudah dijalankan
rakyat selama puluhan tahun. Keberadaannya justru harus berpadu dan
memperkuat ekonomi rakyat.
Pada konteks desa, dua jalur
yang relevan dimasuki oleh BUMDes. Pertama, jadi perekat atas titik kegiatan
ekonomi yang telah dijalankan rakyat secara mandiri. Mereka biasanya
dikendalai dengan permodalan, bahan baku yang murah, dan distribusi yang
lemah. BUMDes memasuki wilayah tersebut, sehingga posisi tawar dan efisiensi
aktivitas ekonomi rakyat menjadi lebih bagus. Ini sekaligus menjadi jawaban
atas inefisiensi rantai distribusi yang membuat desa selalu memperoleh nisbah
ekonomi yang kecil dan konsumen harus membeli dengan harga mahal.
Kedua, BUMDes beroperasi
menerjemahkan Pasal 33 UUD 1945 sehingga hanya masuk ke cabang produksi
penting dan atau terkait sumber daya alam. Beberapa BUMDes sudah berjalan
dengan, misalnya, mengelola sumber daya air yang dikonversi untuk tujuan
ekonomi, sebagian lagi murni kepentingan pelayanan publik (menyalurkan air
bersih untuk warga desa).
Jika cara-cara semacam itu
hidup dan langgeng di desa, maka tak usah cemas dengan paradoks pertumbuhan
dan ketimpangan, seperti yang terjadi di kota saat ini. Pola dominasi
penguasaan dan kepemilikan (juga ekonomi yang sangat padat modal dan
teknologi) di kota telah menjadi sumber peningkatan ketimpangan (pendapatan).
Desa harus dijadikan pulau yang kalis dari praktik tersebut.
Jika saat ini ketimpangan
pendapatan di desa telah menurun sangat drastis, maka itu harus disambut
dengan sukacita, sambil memeriksa kemungkinan terjadinya pemerataan
kemiskinan. Jika kemungkinan terburuk itu yang terjadi, tetap saja peluang
terbuka lebih lebar untuk memperbaiki di masa depan karena telah tumbuh
politik fiskal yang berpihak pada desa (dana desa dan alokasi dana desa).
Jika itu diperkaya dengan penguatan ekonomi yang bernilai tambah, pasar yang
dikontrol secara efektif, penguasaan sumber daya, dan organisasi/lembaga
ekonomi yang mapan, maka lumbung ekonomi desa akan terbangun dan
kesejahteraan warga desa akan segera turun dari langit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar