Politik PDI-P Menyelamatkan KPK?
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 16
Februari 2016
Tidak perlu berpikir
keras sambil mengerutkan kening untuk mengetahui motivasi utama para politisi
dan unsur lain negara melakukan revisi Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tujuan mereka hanya tunggal,
memperlemah KPK. Mereka menganggap KPK tidak hanya mengganggu kenyamanan,
tetapi juga membuat mereka miris karena sepak terjang KPK telah memenjarakan
puluhan tokoh politik tanpa pandang bulu.
Kegigihan sejumlah
tokoh parpol di DPR membuat mandul KPK setidak-tidaknya dapat dirunut mulai
2011. Gagasan tersebut dilakukan dengan mengubah pasal-pasal UU KPK yang
intinya ingin melumpuhkan kedigdayaan KPK. Namun, setiap kali politisi DPR
mengusulkan revisi UU KPK selalu mendapatkan perlawanan ekstra keras dari
masyarakat. Sejauh ini setidak-tidaknya sudah tiga kali kalangan DPR mencoba
melawan kehendak rakyat dengan menyiapkan naskah revisi UU KPK yang
menelikung lembaga anti rasuah tersebut.
Manuver politik paling
akhir adalah revisi UU KPK diusulkan oleh 45 anggota DPR dari enam fraksi
dengan komposisi: 15 orang Fraksi PDI-P, 11 orang Fraksi Partai Nasdem, 9
orang Fraksi Partai Golkar, 5 orang Fraksi PPP, 3 orang Fraksi Partai Hanura,
dan 2 orang Fraksi PKB. Sejauh pemantau- an publik, substansi revisi sangat
memati- kan. Ketentuan-ketentuan yang diusulkan membuat kiprah KPK menjadi
lembaga ampuh pemberantas korupsi dihapuskan.
Misalnya, memangkas
kewenangan penuntutan, memberikan kewenangan penghentian penyidikan dan
penuntutan, mere- duksi kewenangan penyadapan, membatasi proses perekrutan
penyelidik dan penyidik secara mandiri yang akan mengakibatkan KPK bergantung
pada lembaga penegak hukum lain. Bahkan, salah satu gagasan yang melawan
kewarasan publik adalah rencana pembubaran KPK 12 tahun mendatang.
Pemetaan politik di
DPR menunjukkan hanya Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera yang
cukup tegas menolak revisi UU KPK. Sementara itu, Partai Demokrat dan Partai
Amanat Nasional baru menunjukkan tanda-tanda yang memberikan isyarat menolak
revisi UU KPK. Di antara parpol yang mengusulkan revisi dan kader-kadernya
bersuara lantang adalah PDI-P. Namun, sementara kalangan, meskipun amat
terbatas, meragukan apakah PDI-P benar- benar ingin melemahkan KPK atau
justru PDI-P sedang memainkan peranan yang cantik dan lihai untuk
menyelamatkan KPK.
Perspektif tersebut
tidak mustahil karena beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, Megawati
Soekarnoputri menjadi presiden mulai 23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004.
Artinya, UU No 30/2002 tentang KPK, yang menjadi senjata ampuh untuk
memberantas korupsi, lahir dari rahim pemerintahan perempuan presiden pertama
di Indonesia. Kedua, sikap PDI-P konsisten 10 tahun di luar kekuasaan menjadi
salah satu pilar pendukung KPK.
Ketiga, sekitar Juli
2012, PDI-P pernah menolak revisi UU KPK. Saat voting di Komisi III, PDI-P
dikeroyok tujuh fraksi di DPR yang menyetujui revisi UU KPK. Mereka adalah
Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura. Karena
itu, mustahil, bahkan terasa anakronik, menyimpang atau melawan sejarah kalau
PDI-P dianggap sebagai pelopor revisi UU KPK yang berakibat pelemahan KPK.
Keempat, dinamika hubungan yang semakin akrab antara Joko Widodo dan Megawati.
Tidak mungkin PDI-P tidak tahu sikap Jokowi yang gigih melawan korupsi.
Perjuangan habis-habisan melawan korupsi juga merupakan salah satu tema
sentral kampanye Pilpres 2014. Jadi, mustahil PDI-P melakukan langkah yang
akan mematikan dirinya sendiri.
Berdasarkan
pencermatan tersebut, bukan tanpa alasan kalau PDI-P sedang melakukan sebuah
gebrakan yang akan menghasilkan dua kemenangan sekaligus, menyelamatkan KPK
serta merebut simpati publik. Penalarannya adalah sebagai berikut. PDI-P
sengaja mengusulkan revisi UU KPK yang secara kasatmata mudah dibaca sebagai
pelemahan KPK dengan tujuan agar Presiden melakukan koreksi atau menolak
usulan tersebut. Langkah ini untuk memberikan bobot politik kepada Jokowi,
sebagai presiden ia lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada
kepentingan partai pendukungnya.
Selain itu, di mata
publik, PDI-P juga mendapatkan kredit poin masyarakat karena telah membuat
Jokowi semakin presidensial serta mempunyai sensitivitas tinggi terhadap
aspirasi publik. PDI-P juga akan mendapatkan simpati masyarakat karena
merelakan usulan merevisi UU KPK ditolak Presiden. Namun, tak kalah penting,
PDI-P memperlakukan Jokowi tidak sekadar "petugas partai", tetapi
kader dan pejuang partai yang menjadi presiden.
Sebagai penutup perlu
diberikan catatan, masyarakat tidak mendewakan KPK. Namun, dalam konteks
politik kekinian, KPK adalah lembaga anti korupsi yang memberikan harapan
publik terhadap terwujudnya pemerintahan yang efektif dan bersih. Karena itu,
apabila pada saatnya diperlukan revisi UU KPK, sebaiknya dilakukan dengan
prinsip transparansi dan akuntabilitas serta melibatkan secara aktif
masyarakat sipil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar