Koalisi
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
KORAN TEMPO, 13
Februari 2016
ROMO Imam menepuk jidatnya begitu membaca
"teks berjalan" di layar televisi yang mengabarkan ada 25 orang
meninggal dunia di Sleman, Yogyakarta, karena minum minuman oplosan.
"Media sangat aneh, pantas Presiden Jokowi pun memberikan kritiknya. Ada
25 nyawa melayang karena minuman oplosan tapi beritanya hanya sekilas,
sementara satu orang mati minum kopi beritanya menggegerkan Nusantara,"
katanya.
Saya menanggapi dengan santai. "Kita
mudah tergiring dengan opini yang dibentuk media massa. Makanya Romo, mari
kita membicarakan hal-hal yang mulai dilupakan orang," kata saya.
"Misalnya, kita bicara soal reshuffle kabinet."
Romo tampaknya terpancing. "Reshuffle kabinet
itu kan berangkat dari isu partai oposisi yang membelot mendukung pemerintah.
Koalisi Merah Putih katanya mulai ditinggalkan beberapa partai, lalu muncul
dugaan Jokowi akan memberikan hadiah menteri kepada partai yang baru
mendukung. Padahal Jokowi belum tentu memberikan jatah itu. Lagi pula partai
yang hengkang dari koalisi itu kan cuma dagelan."
Ah, saya terkesiap. Romo melanjutkan,
"Koalisi Merah Putih dibentuk untuk membendung partai-partai yang
mendukung Jokowi. Karena calon presiden mereka kalah dan tak mungkin dapat
jabatan di eksekutif, koalisi bergerilya menguasai pimpinan parlemen. Secepat
kilat membuat undang-undang baru untuk merebut jabatan penting di parlemen.
PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu yang secara etika politik mestinya menjadi
pimpinan DPR, tak berdaya. Kini, setelah pimpinan parlemen mereka pegang,
incaran selanjutnya jabatan eksekutif, berebut jatah menteri. Jalan
satu-satunya adalah seolah-olah mendukung pemerintah."
"Seolah-olah, Romo?" saya kaget.
"Ya, seolah-olah. Kalau mereka betul mendukung Jokowi dengan ikhlas,
semestinya mereka rela pimpinan parlemen dikocok ulang dan diberikan kepada
partai pemenang pemilu. Anggap sebagai imbalan agar Jokowi dan partai
pengusung semakin mesra. Tapi itu tak terjadi. Lagi pula, kalau mereka serius
mendukung Jokowi, kebijakan Jokowi pun harus didukung. Ini kan tidak,"
kata Romo.
Saya menyela, "Kebijakan apa yang tak
didukung?" Romo menjawab, "Satu contoh saja, revisi Undang-Undang
Komisi Pemberantasan Korupsi. Sembilan fraksi di DPR menyetujui isi draf
revisi itu dalam rapat di Badan Legislasi DPR pada Rabu lalu. Yang menolak
hanya Partai Gerindra. Sehari setelah itu, Partai Demokrat berbalik mendukung
Gerindra. Padahal Gerindra merasa ditinggalkan sendiri di Koalisi Merah Putih
dan Demokrat bukan partai koalisi pendukung Jokowi."
Romo melanjutkan, "Malah pengusul draf
itu Ichsan Soebagyo dari PDI Perjuangan. Yang direvisi terkait jabatan
komisioner KPK, Dewan Pengawas, wewenang SP3 oleh KPK, penunjukan penyidik
dan penyelidik independen oleh KPK, serta wewenang menyadap. Ini semua
memperlemah KPK dan yang ditentang Jokowi."
"Wah, kalau begitu, koalisi tak ada
artinya," saya memotong. "Persis begitu," jawab Romo cepat.
"Koalisi itu hanya mengincar jabatan, bukan mendukung kebijakan. Ada koalisi
atau tidak, koalisi gendut atau kurus, sama saja selama partai-partai
bertujuan mengumpulkan duit untuk pemilu mendatang. Apalagi Pemilu 2019
berbeda, presiden dan DPR dipilih serentak dan setiap partai peserta pemilu
berhak mencalonkan presiden dan wakil presiden. Tak perlu kuota suara, yang
diperlukan duit. Maka jadi aneh tabiat partai sekarang, menyebut pendukung
pemerintah tetapi menelikung. Yang berada di luar pemerintah justru mendukung
Jokowi."
Saya nyeletuk, "Terbalik-balik dan memang
lucu." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar