Skenario Indonesia 2045 (2)
Keluar dari Ancaman Negara Gagal
Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 16
Februari 2016
"Indonesia tahun 2045 telah mampu keluar dari ancaman
negara gagal. Pada waktu itu, Indonesia telah menjadi negara industri yang
cukup maju dengan struktur ekonomi belah ketupat. Jumlah kelas menengah sudah
lebih besar dibandingkan jumlah penduduk miskin maupun konglomerat."
Itulah salah satu
kesimpulan Indonesia 2045 dalam Skenario Sungai yang disusun tim Lembaga
Ketahanan Nasional (Lemhannas). Tim itu diketuai Dr Panutan S Sulendrakusuma.
Tim Lemhannas menyusun empat skenario Indonesia 2045. Skenario Mata Air
(Kompas, 15/2), Skenario Sungai (Kompas, 16/2), Skenario Kepulauan, dan
Skenario Air Terjun.
Pembangunan skenario
sebagai upaya mengantisipasi masa depan sering digunakan perusahaan minyak
asal Belanda, Shell. Kini, teori membangun skenario itu coba digunakan
Lemhannas untuk membangun skenario Indonesia 2045. Adam Kahane, yang telah
membangun skenario di sejumlah negara, tiga kali datang ke Indonesia untuk
membangun skenario Indonesia 2045.
Skenario sungai
dibangun dengan daya penggerak (driving
force) pembangunan ekonomi. Sejumlah guru besar, birokrat lintas profesi,
dan pemimpin ormas terlibat dalam pembangunan skenario Indonesia 2045. Dalam
buku Skenario Indonesia 2045 terdapat sejumlah nama sumber, antara lain
Azyumardi Azra, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Emil Salim, Hasyim Djalal, Paulus
Wirutomo, serta tiga gubernur dari luar Jawa, yakni Gubernur Sulawesi Barat
Anwar Adnan Saleh, Gubernur Bali Made Mangku Pastika, dan Gubernur Nusa
Tenggara Barat Zainul Majdi.
Diskusi terfokus
dilakukan di sejumlah kampus di luar Jawa. "Kita memang ingin menampung
pandangan mereka terhadap masa depan Indonesia," ujar Panutan.
Pada Skenario Sungai,
menurut Suhardi Alius, yang juga Sekretaris Utama Lemhannas, dalam percakapan
dengan Kompas di Jakarta, kemitraan antara sektor besar, menengah, dan kecil
berjalan baik. Kemitraan itu juga didukung infrastruktur, tata ruang, reforma
agraria, kebijakan perbankan, fiskal, moneter, dan pasar modal.
"Hasilnya, sektor
agroindustri berkembang dan terjadi peningkatan kemakmuran di pedesaan karena
dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih tinggi,"
kata Suhardi.
Dalam narasi ini, pada
tahun 2045, pada skenario tim Lemhannas, telah bekerja mekanisme
"Indonesia Incorporated", yakni sinergi semua pelaku ekonomi dengan
pemerintah, parlemen, dunia riset, dan pendidikan. "Sementara dalam
pemerintah telah berkembang budaya dan etos kerja yang lebih
profesional," tambah Suhardi.
Skenario ini sejalan
dengan prediksi McKinsey (2012). Prediksi McKinsey, Indonesia tahun 2030 akan
menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ke-7 di dunia yang memiliki 135 juta
orang kelas menengah serta 113 juta pekerja berkemampuan.
Dalam Skenario Sungai,
proses pembangunan secara umum sudah relatif berbasis iptek pada semua
tingkatan. Namun, permasalahan ekonomi membawa dampak pada kemiskinan,
pengangguran, dan ketimpangan sosial serta korupsi masih menjadi tantangan
besar. Juga masih akan terjadi konflik lahan dan buruh, yang mendapat upah di
bawah standar.
Adapun Indonesia
sebagai negara kepulauan dengan penduduk besar dan sangat beragam juga masih
akan menjadi persoalan yang berdampak secara ekonomi, sosial, politik, dan
pertahanan serta keamanan. "Posisi Lemhannas adalah mengantisipasi
kemungkinan segala skenario yang akan terjadi," kata Gubernur Lemhannas
Budi Soepandji saat ditanya soal posisi Lemhannas dalam pembangunan empat skenario
itu.
Keluar dari ancaman
Skenario Sungai yang
dibangun tim Lemhannas diawali dengan asumsi bahwa Indonesia menuju 2045
telah keluar dari ancaman negara gagal. Isu soal negara gagal pernah menjadi
isu politik hangat dalam sejarah Indonesia pasca reformasi.
Pada tahun 2012, The Fund for Peace (FFP) menempatkan
Indonesia dalam peringkat ke-63 dari 178 negara. Salah satu contoh negara
gagal adalah Somalia. Harian Kompas, 20 Juni 2012, melaporkan, menurut The Fund for Peace, kondisi Indonesia
memburuk terutama di tiga indikator yang digunakan untuk menyusun indeks
negara gagal. Ketiga indikator itu adalah tekanan demografis, protes kelompok
minoritas, dan isu hak asasi manusia. Penilaian The Fund for Peace tersebut mendapat tanggapan dari sejumlah
pejabat Indonesia kala itu.
Pada tahun 2015,
menurut The Fund for Peace,
Indonesia menunjukkan tren yang terus membaik. Berdasarkan data tren dari The Fund for Peace, dalam kurun waktu
2006-2015, Indonesia dalam tren membaik dengan nilai 74 dari 178 negara,
sedangkan pada tahun 2012 dengan skor 80. Salah satu faktor yang belum
menunjukkan perbaikan adalah pengaduan kelompok minoritas.
Panutan, ketua tim
pembangunan skenario Indonesia 2045, mengemukakan, penyusunan Skenario Sungai
yang menempatkan pola pembangunan ekonomi driving
force menangkap kekhawatiran Indonesia bakal terjebak dalam middle income trap (jebakan kelas
menengah), yang dalam bahasa tim Lemhannas disebut sebagai negara gagal. Ada
kekhawatiran kian melebarnya kesenjangan sosial, kesenjangan spasial antara
barat dan timur untuk menghadirkan keadilan sosial. Ada juga bayangan terjadi
aspirasi pemisahan diri.
"Situasi itulah
yang menjadi suasana diskusi ketika skenario itu disusun," ujar Panutan.
Sebagai penyusun
skenario bersama ahli lain, Panutan tetap optimistis dengan masa depan
Indonesia 2045. Masalahnya adalah bagaimana pemerintah menyelesaikan
pekerjaan rumah yang timbul, yakni mengatasi kesenjangan sosial yang kian
melebar, kemiskinan, masalah lahan, dan persoalan lain sebagai dampak
pembangunan.
Sri Palupi, peneliti Institute of Ecosoc Rights, dalam
diskusi di Redaksi Kompas bertajuk "Membayangkan Indonesia 100
Tahun", 5 Agustus 2015, mempunyai pandangan senada. Eksploitasi sumber
daya alam yang mengabaikan daya dukung lingkungan telah menciptakan bencana
berkelanjutan di Indonesia.
Menurut laporan The Asia Pacific Disaster Report 2010,
selama kurun waktu 1980-2009, Indonesia menempati urutan kedua setelah
Banglades dalam daftar jumlah korban tewas akibat bencana di Asia Pasifik,
dengan kerugian ekonomi 22,5 miliar dollar AS (Rp 301,51 triliun). Pada kurun
waktu 2004-2009, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat
terjadi 4.409 kali bencana di Indonesia. "Tingkat kerentanan terhadap
bencana lebih besar diderita warga miskin akibat ketimpangan sosial ekonomi
dan lingkungan alam," tulis Palupi dalam makalah bertajuk "Tantangan Pemenuhan Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya".
Menurut Palupi,
menguatnya kekuasaan korporasi membuat wacana hak asasi manusia di sektor
bisnis kian terpinggirkan. Kondisi itu diperburuk mekanisme hak asasi manusia
internasional untuk korporasi yang sifatnya tidak mengikat.
Palupi mengkritik
penanggulangan kemiskinan pemerintah yang tidak diarahkan untuk menciptakan
lompatan bagi orang miskin masuk dalam kelas menengah. Akibatnya, ekonomi
bisa saja tumbuh, tetapi jumlah orang miskin belum juga berkurang.
Bagi Panutan, problem
itulah yang harus diselesaikan pemerintah. "Skenario dibangun dan
potensi masalah yang muncul harus diantisipasi. Memang itu tugas tim
pembangunan skenario," katanya. Jika itu bisa dikelola dengan baik, ujar
Panutan, pada tahun 2045 ketahanan ekonomi Indonesia menjadi lebih tangguh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar