Skenario Indonesia 2045 (4-Habis)
Defisit Pangan Menjadi Ancaman
Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 18
Februari 2016
Kondisi Indonesia
tahun 2045 tidak terlepas dari kondisi dunia yang mengalami defisit pangan.
Dua puluh sembilan tahun dari sekarang, Indonesia belum akan mampu
memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan karena itu negara
mengalami kesulitan.
Skenario Air Terjun,
skenario keempat yang dibangun Tim Skenario Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhannas), memberikan gambaran wajah Indonesia 2045. Pesimisme sekaligus
optimisme tergambar pada Skenario Air Terjun tersebut. Digambarkan, akibat
krisis pangan ini akan terjadi letupan-letupan di sejumlah daerah. Namun,
letupan tersebut dapat dimitigasi karena kedaulatan pangan dijadikan fokus
utama dalam mengelola ketahanan pangan, misalnya, melalui pengembangan usaha
petani dalam bentuk struktur yang lebih sesuai.
Keempat skenario yang
dibangun Lemhannas, yakni Skenario Mata Air, Skenario Sungai, Skenario Kepulauan,
dan Skenario Air Terjun, merupakan hasil diskusi tim dengan sejumlah
narasumber lintas profesi. Sejumlah ahli terlibat, seperti Andrinof Chaniago,
Arif Budimanta, Azyumardi Azra, Bambang Susantono, Chappy Hakim, Darmin
Nasution, Emil Salim, Makarim Wibisono, Said Aqil Siroj, Kurtubi, dan
sejumlah pakar.
"Proses itu
berjalan lebih dari satu setengah tahun dan masih terus berjalan," kata
Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji kepada Kompas.
Setelah empat skenario
selesai dibangun, Lemhannas kemudian menyerahkan dokumen itu untuk
disosialisasikan dan diantisipasi oleh para pemangku kepentingan.
Dengan model
pembangunan skenario bersifat transformatif, menurut Ketua Tim Skenario
Panutan Sulendrakusumah, intervensi bisa dilakukan untuk mengantisipasi
kecenderungan yang bakal terjadi, termasuk juga soal defisit pangan.
Peringatan defisit pangan sebenarnya masuk akal jika melihat proyeksi
perkembangan pertumbuhan penduduk. Pada 2045 jumlah penduduk Indonesia
mencapai 321 juta jiwa. Sementara itu, pada kondisi aktual sekarang ini,
swasembada pangan belum bisa dicapai. Impor beras dan bahan pangan lain
selalu dilakukan.
Ketimpangan
Skenario Air Terjun
juga menarasikan penurunan kemiskinan yang terjadi sejak era sebelumnya belum
dapat mengurangi ketimpangan pendapatan yang semakin lebar.
Ketimpangan menjadi
isu yang harus dicermati. Dampak pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sekitar 6
persen per tahun, ternyata lebih banyak dinikmati kelompok berpendapatan
tinggi, yang jumlahnya hanya 5 persen dari populasi penduduk Indonesia. Hal
itu akan menimbulkan ketimpangan pendapatan yang makin mencolok.
"Rasio gini yang
begitu menganga bisa meningkatkan kriminalitas, konflik sosial, dan
instabilitas politik, bahkan mengarah pada penurunan pertumbuhan ekonomi
secara drastis," kata Komisaris Jenderal Suhardi Alius, fasilitator dan
Sekretaris Utama Lemhannas.
Pemerintah memang
terus berupaya mengurangi kemiskinan melalui berbagai program. Berbagai
program terus dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar warga negara
secara layak, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat miskin,
penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, serta percepatan pembangunan
daerah tertinggal.
Panutan
Sulendrakusumah menjelaskan, dalam Skenario Air Terjun, pembangunan Indonesia
pada 2045 telah berdasarkan tiga pilar dalam konsep pengembangan Sustainable
Development Goals (SDG).
Pilar pertama melekat
pada pembangunan manusia, yaitu pembangunan pendidikan dan kesehatan. Pilar
kedua melekat pada lingkungan kecil (social
economic development), yaitu ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan
serta pertumbuhan ekonomi. Adapun pilar ketiga melekat pada lingkungan yang
lebih besar (environmental development),
berupa ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan berdasarkan
standar global dalam konsep pembangunan berkelanjutan secara terukur. Menurut
Panutan, pembangunan Indonesia berbasis karbon pada 2045 merupakan penerapan
ekonomi hijau (green economy)
sebagai respons terhadap perubahan iklim demi ketahanan ekosistem.
"Penggunaan
energi tidak ramah lingkungan, seperti minyak dan batubara, harus
ditinggalkan. Saatnya Indonesia menggunakan energi terbarukan, antara lain
tenaga surya, untuk mengurangi emisi rumah kaca," kata Panutan.
Perubahan iklim
Panutan mengingatkan,
wilayah Indonesia tahun 2045 akan mengalami peningkatan suhu rata-rata
permukaan Bumi akibat peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer.
Pemanasan diikuti perubahan iklim akan meningkatkan curah hujan yang
berpotensi menyebabkan banjir dan erosi.
Berkaitan dengan
persiapan untuk menciptakan energi terbarukan, Menteri Energi Sumber Daya
Mineral Sudirman Said yang dihubungi Kompas di Jakarta, Rabu (17/2),
mengatakan, pengelolaan karbon, emisi, pembangunan energi, dan pangan
merupakan isu strategis yang tak bisa ditangani dengan perspektif jangka
pendek.
"Harus mampu
menjaga jarak dengan problem kekinian. Apalagi kita merancang pembangunan
energi, pangan, dan kaitannya dengan perubahan iklim," kata Sudirman.
"Sebagai
pengelola sektor energi, saya makin memahami bahwa kita sempat agak terlena
dengan pendekatan myopic, berpikir pendek, mengerjakan yang mudah, dan
terjebak pada kebijakan yang diwarnai transaksi kepentingan jangka
pendek," tutur Sudirman.
Sudirman mengakui, ada
kesenjangan yang dia rasakan. Kesenjangan antara lokasi sumber daya dan
kebutuhan, kesenjangan antara sumber daya dan ketersediaan energi,
kesenjangan antara energi fosil yang semakin kritis dan kemampuan di bidang
energi terbarukan.
"Jika kesenjangan
itu tak segera diatasi, bukan tidak mungkin suatu saat kita akan mengalami
krisis energi yang sulit diatasi," kata Sudirman.
Menurut Sudirman, yang
harus dilakukan adalah berani melakukan lompatan, mendorong kebijakan energi
yang mungkin dalam jangka pendek tidak menyenangkan, tapi dalam jangka
panjang memberi keamanan bagi kepentingan nasional. "Keberanian memilih
jalan tidak populis akan menentukan keamanan energi di masa depan," kata
Sudirman.
Empat skenario yang
disusun Lemhannas memang bukanlah sebuah kepastian atau proteksi karena itu
adalah narasi yang mungkin terjadi. Masalahnya adalah bagaimana segala
kecenderungan dari empat skenario itu diantisipasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar