Pencalonan Tak Demokratis
Ramlan Surbakti ; Guru
Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 18
Februari 2016
Salah satu tahapan
pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota yang perlu dikoreksi dalam revisi
Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah adalah proses pencalonan. Lima
isu persoalan perlu dikoreksi dari tahap pencalonan kepala dan wakil kepala
daerah.
Kelima isu adalah,
pertama, Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 7 huruf r dalam UU Nomor 8
Tahun 2015 yang melarang anggota keluarga petahana menjadi calon kepala atau
wakil kepala daerah. Dengan pembatalan pasal itu, muncul masalah baru, yaitu
memungkinkan seorang kerabat petahana menjadi calon hanya karena kerabat
petahana. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 27 UUD 1945 yang menjamin
kesetaraan antar-warga negara. "Seseorang tidak boleh menjadi calon
kepala daerah atau calon wakil kepala daerah karena kerabat petahana,"
sama buruknya (sama-sama tidak demokratis, sama-sama melanggar hak asasi
manusia) dengan "seseorang menjadi calon kepala daerah atau calon wakil
kepala daerah hanya karena kerabat petahana".
Kedua, jumlah pasangan
calon kepala dan wakil kepala daerah pada Pilkada 2015 sangat sedikit. Kebanyakan
hanya dua pasangan calon, bahkan di tiga daerah hanya satu pasang calon
(uncontested election). Syarat dukungan sebesar 20 persen kursi atau 20
persen suara untuk dapat mengusulkan pasangan calon tampaknya terlalu besar
bila dibandingkan dengan persyaratan pencalonan presiden, yakni 20 persen
dari 35-100 kursi DPRD provinsi atau 20 persen dari 20-50 kursi DPRD
kabupaten/kota untuk pilkada, dibandingkan dengan pilpres yang hanya 20
persen dari 560 kursi DPR.
Kenyataan menunjukkan,
jumlah dukungan kursi pada proses pencalonan tak berdampak apa pun terhadap
efektivitas kepemimpinan kepala daerah karena keputusan daerah tentang perda
dan APBD diambil tidak dengan pemungutan suara, melainkan dengan
"bancaan" (kolutif, kartel). Dari Kemendagri muncul gagasan untuk
mengurangi jumlah partai politik yang mendukung pencalonan. Gagasan ini
muncul karena diduga penyebab jumlah pasangan calon yang sedikit tidak lain
karena suatu pasangan calon "membeli" dukungan semua partai.
Ketiga, proses
pencalonan tidak demokratis, yaitu inklusif (tak melibatkan anggota partai)
dan tak menjamin desentralisasi (mengharuskan rekomendasi dari dewan pimpinan
pusat parpol). Pasal 15 Ayat (2) UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
menegaskan hak anggota dalam menentukan kebijakan dan hak untuk dipilih dan
memilih, tetapi tak ada parpol yang menjabarkan lebih lanjut ketentuan ini
dalam AD/ART masing-masing. Persoalan yang dihadapi Partai Golkar dan PPP
dalam Pilkada 2015 tak lain karena parpol dikelola tidak secara demokratis, melainkan
secara oligarkik, bahkan personalistik. Parpol yang dikelola secara oligarkik
niscaya akan menimbulkan konflik antar-elite partai apabila kepentingan semua
unsur elite utama partai tidak dapat dipenuhi.
Keempat, persentase
dukungan pemilih kepada pasangan calon perseorangan terlalu berat. Putusan MK
yang tak mengubah persentase, tetapi mengubah dari jumlah penduduk menjadi
jumlah pemilih memang meringankan tetapi masih cukup besar. Kelima, Pasal 47
tentang larangan menerima dan memberi imbalan dalam proses pencalonan
tampaknya tak bergigi karena harga pasar dukungan satu kursi DPRD
kabupaten/kota mencapai Rp 1 miliar. Uang mahar atau sewa perahu masih
berlaku walaupun sudah disertai sanksi berat. Tak hanya karena ketentuan ini
tak disebutkan dalam Ketentuan pidana pemilu, tetapi juga karena proses
pembuktian terlalu kompleks dan lama.
Perlu perubahan mendasar
Berdasarkan kelima
kelemahan itu, perlu dilakukan perubahan mendasar dalam proses pencalonan.
Pertama, jumlah parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPRD yang dapat
mengajukan satu pasangan calon dibatasi maksimal tiga. Gabungan parpol
peserta pemilu ini harus dilihat sebagai koalisi, dan koalisi yang solid dan
efektif maksimal terdiri atas tiga partai. Suatu koalisi yang terdiri atas lebih
dari tiga parpol tak akan efektif sebagai koalisi, melainkan tak lebih dari
kumpulan kepentingan elite yang tak berkaitan dengan kepentingan rakyat.
Kedua, persentase
kursi atau suara sebagai syarat bagi satu atau lebih partai untuk dapat
mengajukan satu pasangan calon harus diturunkan menjadi 15 persen seperti
dalam UU No 32 Tahun 2004 juncto UU No 12 Tahun 2008. Pada masa yang akan
datang, apabila ambang batas juga diberlakukan untuk DPRD, syarat dukungan
ini dapat dihapuskan.
Ketiga, parpol atau
gabungan parpol yang berhak mengajukan pasangan calon melakukan seleksi dari
berbagai alternatif calon dan kemudian menetapkan dua bakal pasangan calon.
Gabungan parpol menyepakati calon dari partai apa menjadi calon kepala daerah
dan calon dari partai apa menjadi calon wakil kepala daerah. Kedua bakal
pasangan calon berkompetisi meyakinkan anggota partai di akar rumput untuk
memilih mereka dalam pemilihan pendahuluan. Pengurus partai wajib menjamin
persaingan bebas dan adil antar-bakal pasangan calon. Keempat, pemilihan
pendahuluan tingkat desa/kelurahan dalam lingkungan parpol masing-masing:
anggota partai memilih calon dari partai masing-masing. Kalau Partai X
disepakati menjadi calon wakil kepala daerah, maka anggota Partai X memilih
siapa yang akan jadi calon wakil kepala daerah dari dua calon wakil kepala
daerah yang ada.
Kelima, pelaksanaan
konvensi parpol tingkat kabupaten/kota untuk penentuan pasangan calon bupati
dan wakil bupati atau calon wali kota dan calon wakil wali kota, dan konvensi
parpol tingkat provinsi untuk penetapan pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur. Konvensi partai dilakukan dengan dua agenda utama: rekapitulasi
hasil pemilihan pendahuluan dan pengesahan pasangan calon kepala dan wakil
kepala daerah. Untuk dapat melaksanakan pemilihan pendahuluan ini, setiap
parpol perlu mengatur secara rinci anggota yang berhak memilih, pendaftaran
ulang anggota partai, mekanisme proses dialog antara bakal pasangan calon dan
anggota partai, penentuan siapa yang memimpin pemilihan pendahuluan, dan
penetapan mekanisme pengambilan keputusan apabila pemilihan pendahuluan
menghasilkan hasil yang sama.
Berita acara
kesepakatan antarparpol untuk mengajukan dua bakal pasangan calon, berita
acara penetapan dua pasangan calon, berita acara dan hasil pemilihan
pendahuluan di setiap desa/kelurahan, dan berita acara konvensi partai,
rekapitulasi hasil pemilihan pendahuluan, dan pengesahan pasangan calon
diserahkan kepada KPU kabupaten/kota atau KPU provinsi sebagai lampiran
pendaftaran pasangan calon. KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota wajib
memverifikasi berita acara dan hasil pemilihan pendahuluan dan hasil konvensi
tersebut. Proses penentuan pasangan calon yang tak sesuai UU wajib diulangi
satu kali, dan bila pengulangan juga tak sesuai dengan UU, maka hak parpol
mengajukan pasangan calon dibatalkan baik pada pilkada bersangkutan maupun
pilkada berikutnya.
Politik dinasti dan politik uang
Apabila seorang
kerabat petahana terpilih menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala
daerah melalui proses pencalonan yang diusulkan tersebut niscaya tidak bisa
disebut praktik politik dinasti karena yang bersangkutan menjadi calon karena
lulus seleksi partai, ikut berkompetisi secara bebas dan adil dengan calon
lain, dan yang menentukan dia sebagai calon bukan pengurus melainkan anggota
partai. Bila proses penentuan calon dilakukan dengan persaingan yang terbuka,
bebas, dan adil antarcalon, dan bila para anggota yang menentukan pemenang
hasil persaingan (kompetisi dan partisipasi), maka kesetaraan antarwarga
negara dan hak asasi manusia dijamin.
Sengketa dalam syarat
mengajukan pasangan calon karena kepemimpinan pusat partai yang ganda seperti
dialami Golkar dan PPP tak lagi akan terjadi karena pengambilan keputusan
partai tak lagi di tangan pengurus, melainkan anggota partai. Pengambilan
keputusan partai di tangan anggota sejalan dengan prinsip yang ditegaskan
dalam UU tentang Parpol dan AD/ART Parpol, yaitu kedaulatan partai berada di
tangan anggota, bukan di tangan pengurus seperti selama ini terjadi.
Dua langkah perlu
diadopsi dalam UU Pilkada baru untuk mencegah praktik penyalahgunaan uang
dalam pilkada. Pertama, "praktik pemberian dan penerimaan imbalan dalam
proses pencalonan kepala dan wakil kepala daerah" sepenuhnya digolongkan
sebagai tindakan pelanggaran Ketentuan Administrasi Pemilu (KAP). Dalam UU No
8 Tahun 2015, praktik pemberian dan penerimaan imbalan dalam proses
pencalonan dikategorikan baik sebagai tindak pidana ataupun tindakan
pelanggaran KAP sehingga proses penegakannya menjadi sangat kompleks.
Kedua, instansi yang
menegakkan (menyelidiki, menyidik, dan mengambil keputusan) kasus pelanggaran
itu diserahkan kepada Komisi Penegak Hukum Pemilu (KPHP) dengan prosedur
lebih sederhana. KPHP adalah Bawaslu yang ditransformasi menjadi election
tribunal dengan keanggotaan dan fungsi berbeda. Salah satu wujud prosedur
lebih sederhana itu adalah naik banding merupakan upaya hukum terakhir. Naik
banding terhadap putusan KPHP kabupaten/kota dapat diajukan ke KPHP provinsi,
dan naik banding terhadap putusan KPHP provinsi dapat diajukan ke KPHP pusat.
Karena praktik
pemberian dan penerimaan imbalan dalam proses pencalonan sepenuhnya
dikategorikan sebagai tindak pelanggaran ketentuan administrasi pemilu, maka
sanksinya juga sepenuhnya administratif. Bagi yang terbukti menerima imbalan
dikenakan dua sanksi, yaitu tak dapat mengajukan pasangan calon pada pilkada
berikutnya dan denda 10 kali dari jumlah imbalan yang diterima. Bagi yang
terbukti memberi imbalan dikenakan sanksi pembatalan penetapan sebagai
pasangan calon, pembatalan pasangan calon terpilih, atau pembatalan sebagai
gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali
kota sesuai tahapan pilkada ketika putusan diambil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar