Ikon
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 11
Februari 2016
Apa yang dengan cepat
terlintas di benak Anda ketika ditanya soal Paris? Menara Eiffel. Kalau
London? Big Ben. Bagaimana dengan Roma, Italia? Colosseum.
Bahkan Negeri Piza itu
punya satu ikon lagi, yakni Menara Pisa, menara miring yang berlokasi di Kota
Pisa. Kita menyebut bangunan-bangunan tersebut sebagai ikon suatu kota atau
negara. Ikon arti sederhananya adalah benda, gambar atau tanda yang
menunjukkan atau mewakili sesuatu. Dalam kasus ini, sesuatu menunjuk pada
kota atau negara. Setiap negara perlu punya ikon.
Sebab ikon itu bukan
saja menjadi penanda, tetapi juga penting artinya bagi bisnis. Siapa saja
yang pergi ke Prancis rasanya belum mantap kalau belum berkunjung ke Menara
Eiffel. Begitu juga Anda belum akan dianggap datang ke London kalau belum
berfoto didepan Big Ben. Belum ke Italia kalau tidak mengunjungi Colosseum
dan Menara Pisa. Membangun ikon adalah pekerjaan besar dan sekaligus
historis. Juga kerap diwarnai aksi penolakan.
Contohnya Menara
Eiffel tadi. Jangan bayangkan hari ini, bayangkan saat ia dipersembahkan.
Gustave Eiffel, sang perancang, ingin membangun menara tersebut di Barcelona,
Spanyol. Namun penguasa kota itu menolak dengan alasan bangunannya terlalu
aneh, biayanya mahal, dan tidak cocok dengan kondisi kota. Maka Eiffel pun
kemudian mengalihkan proposalnya ke Paris, Prancis.
Pembangunannya
melibatkan ratusan pekerja. Setelah jadi, kritik membanjir. Persis seperti
saat Bung Karno membangun Istora atau Stadion Olahraga Senayan. Dikatakan
proyek mercusuarlah dan sebagainya. Agak mirip juga dengan kereta cepat
novelis Guy de Maupassant yang termasuk benci dengan Menara Eiffel.
Itu sebabnya dia
selalu makan siang di restoran yang ada di menara itu. Alasannya, itulah
satu-satunya tempat di Paris di mana dia bisa tidak melihat Menara Eiffel.
Begitulah, setiap pekerjaan besar selalu menuai kontroversi di masyarakat.
Ada yang senang, tapi tak sedikit pula yang mengkritik. Bahkan mencoba menghalang-halangi.
Proyek Ikonik
Sebagaimana lazimnya
proyek besar dan ikonik, biayanya pasti mahal, tingkat kesulitannya juga
sangat tinggi, mengerahkan begitu banyak tenaga kerja dan teknologinya rumit.
Tapi, menurut saya, setiap negara dan setiap pemimpin perlu memiliki proyek
besar semacam ini. Bukan hanya satu, tapi kalau bisa beberapa. Mengapa? Ini
bukan sekadar proyek mercusuar.
Ada banyak makna,
simbol, dan pelajaran yang bisa dipetik dari proyek-proyek raksasa dan ikonik
semacam ini. Di antaranya proyek-proyek semacam ini bisa membuat suatu bangsa
“naik kelas”. Lewat proyek ini, suatu bangsa bisa melahirkan banyak terobosan
dan inovasi. Lalu proyek-proyek semacam ini juga bisa menjadi penanda
seberapa jauh suatu bangsa bisa bersatu, bahu-membahu membangun negaranya.
Juga lewat
proyek-proyek ikonik semacam ini sang pemimpin bisa menyampaikan banyak pesan
kepada bangsanya. Contohnya, di Dubai kita bisa menyaksikan bangunan
tertinggi di dunia. Namanya Burj Khalifa. Melalui menara setinggi 828 meter yang
dibangun dengan biaya USD1,5 miliar (mungkin setara dengan Rp 15 triliun)
ini, Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) ingin mengatakan bahwa penerimaan
negara mereka tak lagi bergantung pada minyak dan gas, melainkan dari
industri pariwisata.
Itu sebabnya banyak
proyek raksasa dibangun di UEA untuk menunjang industri pariwisatanya. Di
sana ada masjid terbesar Sheikh Zayed Grand Mosque, Bandara Al-Maktoum dan
Dubai International, Dubai World Trade Center, Dubai Mall, dan masih banyak
lagi. Presiden John F Kennedy ingin Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang
unggul dalam teknologi ruang angkasa.
Maka ia mengirimkan
astronot ke bulan dan membawanya pulang kembali ke bumi dalam keadaan
selamat. China punya lahan yang luas. Sebagian lahan bisa digunakan untuk
industri, sebagian lainnya untukpertanian. Hanyamasalahnya keduanya
membutuhkan pasokan air yang kontinu. Maka Pemerintah China pun kemudian
membangun bendungan raksasa, Three Gorges Dam, senilai USD 22 miliar (sekira
Rp 220 triliun).
Proyek itu bukan hanya
menjamin ketersediaan air, tetapi juga dilengkapi dengan 32 turbin pembangkit
tenaga listrik. Begitulah, setiap bangsa yang besar, dengan pemimpin yang
besar dan visioner, selalu menghasilkan karya-karya besar. Karya-karya yang
ikonik.
Proyek yang Menyatukan
Sejarah mencatat kita
adalah bangsa yang mudah dipecah belah dan diadu domba. Itu sebabnya kita
juga menjadi bangsa yang mudah dijajah. Kita dijajah Belanda selama 350
tahun. Melalui politik pecah belah, Belanda dengan mudah mengadu sesama anak
bangsa. Perang pun terjadi dimana-mana.
Di Maluku ada Perang
Saparua yang dipimpin Pattimura. Ada Perang Padri di Sumatera Barat atau
Perang Diponegoro di Jawa. Kekuatan bangsa kita pun akhirnya terpecah menjadi
kelompok-kelompok kecil sehingga dengan mudah ditekan oleh Belanda. Kini
Belanda sudah tak lagi menjajah kita, tapi jejaknya masih bisa dengan mudah
kita temukan.
Mereka yang kalah
dalam pilkada mengerahkan massa pendukungnya untuk menolak hasil pilkada.
Maka terjadilah bentrok sesama anggota masyarakat. Partai-partai di parlemen
tak pernah berhenti berseteru meski pemilu sudah lama berlalu. Mereka saling
melemahkan satu sama lain. Legislatif tak henti-hentinya menyerang eksekutif.
Mereka menyebut dengan istilah kritik membangun, dilakukan untuk mengawasi
pemerintah.
Tapi kita tak bisa
ditipu. Itulah jejak-jejak mental dari bangsa terjajah yang belum berhasil
move on. Kini kita tengah merancang proyek kereta cepat Jakarta- Bandung.
Nilainya mencapai USD5,5 miliar atau sekitar Rp74 triliun. Ini proyek besar
dan ikonik—setidak-tidaknya untuk ukuran Indonesia. Banyak pihak yang
terlibat, mulai dari BUMN, pemerintah, baik di pusat maupun daerah, sampai
lembagalembaga riset. Ini semua membutuhkan koordinasi.
Maka tak mengherankan jika
tingkat kesulitannya juga tinggi. Tapi, coba lihat apa yang muncul ke
permukaan. Semua menyerang, mengkritik, mencari- cari kesalahan dari proyek
tersebut. Persis seperti anak SD yang berkelahi, pandainya cuma dipakai untuk
mencari-cari kesalahan. Sekalilagi jangan bodohi kami dengan alasan demokrasi
yang berarti bebas bicara sesuka hati, bebas menjegal-jegal, hal gampang
dibuat sulit. Konteks dikarang-karang sesuka hati.
Ini proyek kereta
cepat, tapi semua ribut ketika proses perizinannya dianggap terlalu cepat.
Aneh. Bukankah dari dulu kita mengkritik birokrasi kita suka memperlambat dan
menunda-nunda? Lalu masingmasing pihak bersikukuh mempertahankan kepentingan
sendiri. Bukan apa yang bisa mereka “berikan” untuk menyukseskan proyek ini.
Saya cuma berpikir, kalau sesama institusi negara saja susah, apalagi kita
yang di bawah?
Pantas sukanya buat
aturan dan mempersulit. Kita pernah punya proyek ikonik. Namanya Sistem
Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa yang diluncurkan pada 16 Agustus
1976 di Cape Kennedy, Florida, AS. Ketika itu Indonesia menjadi satu-satunya
negara di Asia yang memiliki satelit. Kalaudi dunia, kita yang keempat
setelah AS, UniSoviet, danKanada.
Satelit Palapa
terbukti mampu menyatukan kita dalam arti yang sesungguhnya—melalui teknologi
telekomunikasi. Saya berharap proyek kereta cepat juga mampu menyatukan kita.
Saya berharap tak ada lagi pertanyaan, “Bukankah Singapura saja yang lebih
maju dari kita juga tidak membangun kereta cepat?” Bah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar