Mencari Solusi Krisis Listrik
Mudrajad Kuncoro ;
Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi
Program Doktor FEB UGM; Pemerhati
Listrik
|
KOMPAS, 22
Februari 2016
Fenomena listrik
byarpet, sebagai cermin adanya krisis listrik, yang muncul di sejumlah provinsi
harus segera diatasi. Tanpa merombak manajemen kelistrikan nasional, target
pembangunan listrik 35.000 megawatt bakal sulit dicapai dan krisis listrik
akan merata ke seluruh Indonesia.
Simak saja yang
terjadi di Lampung. Habis kabut asap terbitlah krisis listrik. Selama ini
Lampung mengimpor listrik dari Sumatera Selatan. Kabut asap di Sumsel
terbukti mengganggu kemampuan transfer daya dari PLTG di Sumsel, yang menurun
menjadi 146-208 MW pada siang hari dari kondisi normal 250 MW, sedangkan pada
malam hari hanya 228-290 MW dari kondisi normal 342 MW. Hal itu diperparah
lagi dengan kondisi musim kemarau panjang yang membuat kemampuan PLTA Way
Besar dan Batu Tegi tak mampu mencukupi kebutuhan daya listrik.
Beban puncak listrik
di Lampung mencapai 838,80 MW pada malam hari, tetapi kemampuan pembangkit
listrik Lampung hanya sekitar 520 MW. Meski sudah ditambah "impor
listrik" dari Sumsel sebesar 258 MW, Lampung masih menderita defisit
daya listrik setidaknya 60,70 MW. Akibatnya, pemadaman dua kali sehari
menjadi tidak terelakkan dan terus terjadi sejak Oktober 2015.
Pertanyaan mendasar
yang muncul: apa penyebab krisis listrik? Akar masalah utamanya adalah
tertinggalnya pembangunan pembangkit listrik yang tumbuh 6,5 persen sementara
pertumbuhan permintaan listrik mencapai 8,5 persen dalam lima tahun terakhir.
Cadangan listrik yang terbatas mencerminkan ketidakmampuan pasokan dalam
mengimbangi pertumbuhan kebutuhan. Faktor utama di balik pemadaman listrik
yang dialami hampir setiap daerah saat ini disebabkan kurangnya pasokan
listrik. Kurangnya pasokan karena banyak faktor, seperti kabut asap, kemarau,
dan lambannya pertumbuhan pembangunan pembangkit listrik baru. Tanpa
terobosan kebijakan yang fundamental, krisis listrik bisa jadi akan sering
muncul 3-4 tahun ke depan. Krisis listrik dapat menurunkan daya saing
industri, menghambat aktivitas perusahaan dan masyarakat, yang pada
gilirannya menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Tepat sekali penegasan
Presiden Jokowi, "Urusan listrik sekarang ini bukan hanya urusan PLN,
urusan listrik sudah menjadi urusan negara, urusan pemerintah, bukan urusan
PLN lagi" (22/12/2015). Setiap kali berkunjung ke sejumlah wilayah di
Indonesia, Presiden selalu menerima keluhan mengenai minimnya pasokan
listrik. Jelas, listrik menjadi kebutuhan dasar bagi pengembangan industri,
rumah tangga, dan semua sektor ekonomi di seluruh wilayah Indonesia.
Upaya pemerintahan
Jokowi mengatasi krisis listrik dengan meluncurkan program pembangunan
pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW sejak 4 Mei 2015 perlu dihargai,
tetapi perlu dipantau realisasinya. Jokowi mewujudkan program ini dengan
penandatanganan perjanjian jual-beli tenaga listrik atau power purchase
agreement (PPA), letter of intent (LoI) untuk pembangunan engineering,
procurement, construction (EPC), hingga groundbreaking beberapa pembangkit
listrik.
Hingga awal 2016,
kontrak yang telah ditandatangani dan dilaporkan oleh direksi PLN kepada
Presiden mencapai 17.330 MW. Rinciannya 14.000 MW berupa PPA, sisanya EPC
PLN. Biasanya dalam praktik masih butuh waktu hingga setahun untuk
mendapatkan pembiayaan dan masa konstruksi mencapai sekitar tiga tahun. Itu
pun dengan catatan pembebasan lahan tidak molor dari target dan proses
perizinan tidak mundur-mundur.
Belajar dari terminal LNG Benoa
Masalah lamanya
pembebasan lahan untuk pembangkit listrik bisa diatasi dengan membangun
fasilitas listrik yang terapung dan tidak di daratan. Contoh menarik adalah
membangun Floating Regasification Unit (FRU) dan Floating Storage Unit (FSU)
di Benoa, Bali. Berbeda dengan terminal liquefied natural gas (LNG) yang
konvensional, terminal LNG Benoa ini memisahkan fasilitas untuk proses
mengubah gas dengan fasilitas penyimpanan (storage). Terminal mini LNG
pertama di Indonesia, yang diberi nama Benoa LNG Terminal, ditargetkan mulai
beroperasi Maret 2016. Terminal ini nantinya akan mampu memenuhi kebutuhan
gas sebesar 40 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd) untuk pembangkit
listrik tenaga diesel dan gas (PLTDG) di Pesanggaran, Bali (Kompas, 23/1/2016).
Dengan penandatanganan
kerja sama antara PT Indonesia Power (anak perusahaan PT PLN Persero) dan PT
Pelindo Energi Logistik (PEL) sebagai afiliasi perusahaan PT Pelabuhan
Indonesia III, terminal LNG yang berada di atas lahan milik PT Pelabuhan
Indonesia III ini nantinya akan dioperasikan sepenuhnya oleh PT PEL. Terminal
yang beroperasi di Benoa ini resmi beroperasi setelah PT PEL menandatangani
kerja sama senilai 500 juta dollar AS dengan PT Indonesia Power. PEL juga
menjalin kerja sama senilai Rp 100 juta dollar AS dengan Jaya Samudera
Karunia Grup (JSK Grup) untuk membangun fasilitas FRU dan FSU.
Konsep FRU dan FSU ini
adalah pelopor terminal LNG mengapung pertama di Indonesia. Konsep ini sangat
relevan dan cocok untuk negara kepulauan seperti di Indonesia. Dengan FRU
dengan kapasitas 50 mmscfd dan FSU dengan kapasitas 26.000 CBM, setiap hari
terminal ini mampu memenuhi kebutuhan gas sebesar 40 mmscfd guna memasok
keperluan gas untuk 200 MW PLTDG Pesanggaran, Bali. Ada beberapa kelebihan
terminal mini LNG dengan model FRU dan FSU ini. Pertama, waktu yang
diperlukan untuk menyiapkan fasilitas listrik terapung ini relatif jauh lebih
cepat dibandingkan dengan waktu yang diperlukan untuk menyiapkan fasilitas
pembangkit listrik di darat.
Pembangunan pembangkit
listrik di sejumlah daerah di Indonesia selalu terbentur masalah pembebasan
lahan. Diharapkan model dan pola penggunaan fasilitas terapung ini akan
menjadi proyek percontohan dan menjadi solusi terbaik bagi Pemerintah
Indonesia, khususnya dalam rangka merealisasikan program percepatan listrik
35.000 MW.
Kedua, keberadaan
terminal ini tentu sejalan dengan Nawacita yang menjadi tekad pemerintah,
yaitu meningkatkan produktivitas dengan melakukan efisiensi biaya logistik
dan infrastruktur strategis, melalui program tol laut yang sudah dicanangkan
oleh Jokowi. Sebagai catatan, setiap 1.000 MW di pembangkit listrik tenaga
diesel (PLTD) yang dikonversi menjadi gas dapat menghemat subsidi BBM Rp 9,6
triliun per tahun. Asumsinya, perhitungan ini berdasarkan tarif Pertamina
2015, di mana harga High Speed Diesel (HSD) 941 dollar AS per ton dan LNG 12
dollar AS per MMBTU.
Ketiga, saat ini ada
banyak PLTD di Indonesia dengan kapasitas 10-200 MW unit di Indonesia dengan
jumlah total lebih dari 10.000 MW. Apabila pemerintah segera meremajakan
semua PLTD tersebut menjadi berbasis gas, dapat dibayangkan berapa besar
penghematan subsidi yang dapat dilakukan oleh pemerintah.
Keempat, selain
manfaat secara ekonomi dalam mendukung program pemerintah untuk mengurangi
subsidi BBM oleh pemanfaatan gas ini juga sejalan dengan program yang
dicanangkan Pemerintah Provinsi Bali, yaitu Clean and Green, dengan menurunkan tingkat kebisingan, getaran,
serta emisi CO2 gas buang. Data
Environmental Analysis Report menunjukkan bahwa dengan memakai bahan
bakar gas dapat menurunkan NOX sebesar 7.220 ton per tahun, SO2 14.820 ton
per tahun, dan partikulat sebesar 19.760 ton per tahun.
Reformasi kelistrikan nasional
Krisis listrik adalah
akibat lambannya penambahan pasokan listrik dibandingkan dengan
permintaannya. Kendala pembebasan lahan dapat diatasi seperti model FSU dan
FRU terpisah di Bali atau Floating
Storage Regasification Unit (FSRU) yang menyatu di Lampung atau Banten.
Dengan fasilitas terapung berbasis gas terbukti mampu mempercepat proses
konstruksi pembangkit listrik. Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat
pembangunan FSRU, FSU, dan FRU atau terminal LNG yang berada di lepas pantai
untuk mengatasi sulitnya pembebasan lahan di daratan.
Indonesia adalah
negara yang memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia sebesar 152,89 TSCF
(Triliun Standard Cubic Feet). Sumber cadangan gas berada di sejumlah daerah
seperti Blok Natuna, Cepu, Tangguh, Bontang, Arun, Masela. Sebanyak 104,71
TSCF merupakan cadangan terbukti dan 48,18 TSCF merupakan cadangan potensial.
Dengan produksi gas per tahun mencapai 2,87 TSCF, Indonesia memiliki cadangan
untuk produksi mencapai 59 tahun. Namun, produksi gas sebagian besar malah dijual
dan diekspor ke luar negeri. Akibatnya, industri nasional mengeluh kekurangan
gas. Pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik harus diutamakan. Tanpa
itu, industri dan rakyat akan terus kekurangan gas. Defisit gas dialami
sejumlah provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan Maluku.
Studi Bank Dunia,
Doing Business 2016, menemukan kondisi kelistrikan yang menarik di Indonesia.
Untuk mendapatkan akses listrik di Indonesia masih membutuhkan lima prosedur
dan 79 hari, dengan biaya mencapai 383 persen dari pendapatan per kapita.
Memang sudah ada paket Kebijakan Ekonomi Tahap Ketiga yang meliputi penurunan
harga BBM, listrik dan gas, perluasan penerima KUR, dan penyederhanaan izin
pertanahan untuk kegiatan penanaman modal. Harga gas untuk pabrik dari
lapangan gas baru ditetapkan sesuai kemampuan daya beli industri pupuk, 7
dollar AS per mmbtu (juta British Thermal Unit). Tarif listrik untuk
pelanggan industri I3 dan I4 akan mengalami penurunan Rp 12-Rp 13 per kWh
mengikuti turunnya harga minyak.
Yang ditunggu investor
kelistrikan adalah terobosan dan deregulasi yang mempermudah perizinan di
kelistrikan, mulai dari hulu, distribusi, hingga hilirnya. Kemudahan
perizinan dan regulasi yang perlu diprioritaskan setidaknya: pertama,
mentransformasi pembangkit listrik tenaga diesel/uap (PTDU) yang boros
subsidi dan BBM menjadi pembangkit listrik tenaga gas (PLTG). PLTDU banyak
yang berusia lanjut, boros BBM, dan akhirnya ditutup di sejumlah daerah.
Kedua, pasokan bahan
baku energi dari gas, batubara, minyak, dan lain-lain perlu dijamin suplainya
oleh pemerintah. Tak masalah apabila diangkut dari lokasi sumber gas di dalam
negeri. Jika tak mencukupi, izin impor langsung dari luar negeri perlu
dipermudah dan dipercepat dengan prosedur transparan dan bebas korupsi.
Ketiga, negosiasi harga jual listrik antara pihak swasta/BUMN dan PLN sering
bermasalah dan kadang mengalami kebuntuan. Tren penurunan harga minyak,
batubara, dan gas membuat negosiasi sering berlarut dan menghambat masa
operasional. Pemerintah perlu mengatur harga yang wajar dan bisa diterima
semua pihak.
Keempat, masalah
pembiayaan. Kemudahan akses pembiayaan, baik lewat sindikasi bank nasional
maupun bank asing, perlu ditinjau ulang oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan, dan pemerintah. Peraturan BI Nomor 16/21/PBI/2014 tentang penerapan
prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank
mengatur bahwa korporasi nonbank yang memiliki utang luar negeri dalam valuta
asing wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dengan memenuhi aturan rasio
Lindung Nilai, Rasio Likuiditas, dan Peringkat Utang (Credit Rating). Aturan ini perlu direlaksasi, khususnya untuk
pembangunan infrastruktur listrik.
Dengan berbagai
kemudahan perizinan dan regulasi di atas, saya yakin krisis listrik akan
dapat berakhir. Habis gelap terbitlah terang, tidak byarpet, untuk seluruh
wilayah Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar