Radikalisme Penguasa
Abdillah Toha ; Pemerhati Politik
|
KOMPAS, 17
Februari 2016
Ketika pemimpin
tertinggi negeri ini, Presiden Joko Widodo, meminta organisasi Islam seperti
Nahdlatul Ulama dan Lembaga Dahwah Islam Indonesia membantu pemerintah
menangkal radikalisme di Tanah Air (Kompas,
6 Februari 2016), beberapa penguasa kecil di daerah justru memberi angin
kepada radikalisme.
Bupati Bangka belum
lama ini meminta jemaah Ahmadiyah meninggalkan kampung halamannya dan
Kabupaten Bangka karena mereka dianggap sesat. Peristiwa ini bukan baru,
tetapi sudah ada beberapa preseden sebelumnya. Kita belum lupa peristiwa
Cikeusik yang mengakibatkan hilangnya jiwa anggota Ahmadiyah; pengusiran dan
pengasingan jemaah Ahmadiyah di Lombok yang sudah hampir sembilan tahun tanpa
solusi; serta pengusiran, pembakaran rumah, dan penistaan jemaah Syiah di
Sampang dan Madura.
Di Kuningan, Jawa
Barat, jemaah Ahmadiyah tidak diberi KTP dan surat nikah karena mereka
dianggap bukan Islam atau bukan agama yang diakui pemerintah.
Jawa Barat,
berdasarkan hasil survei Setara Institute, Elsam, dan The Wahid Institute,
merupakan kawasan di Indonesia yang paling tidak toleran. Sang gubernur,
bukannya mendinginkan suasana, malah memanasi keadaan dengan melakukan provokasi.
Baru-baru ini beredar luas di media sosial video berisi ajakan Gubernur Jawa
Barat agar ahlussunnah menyusun kekuatan untuk melawan Syiah.
Bupati Bangka yang
kebetulan satu partai dengan Gubernur Jawa Barat tidak menggubris instruksi
Menteri Dalam Negeri dan menteri agama untuk menghentikan tindakannya
terhadap jemaah Ahmadiyah. Aparat kepolisian sayangnya juga gagal melindungi
kelompok-kelompok minoritas ini dari hujatan para pembenci. Lalu bagaimana
masyarakat akan berhasil membantu pemerintah dalam menangkal radikalisme bila
justru bagian dari pemerintah itu sendiri yang menebar ideologi kebencian?
Hukum dan Nawacita
Kelompok-kelompok
minoritas yang dinista itu tidak melanggar hukum atau konstitusi. Kalaupun
mereka diduga melanggar hukum, seharusnya diproses melalui prosedur hukum
yang benar, bukan diperlakukan semena-mena.
Pada dasarnya tidak
ada dasar hukum sama sekali untuk menyeret mereka ke pengadilan.
Undang-Undang Penodaan Agama? Inilah UU yang dianggap berisi pasal-pasal
karet yang mudah disalahgunakan penguasa dan sering digunakan kelompok
ekstrem untuk melegitimasi tindakan kekerasan atas nama agama. UU ini pada
tahun 2009 dimohonkan beberapa lembaga kemanusiaan dan perorangan untuk
ditinjau kembali, tetapi tidak dikabulkan Mahkamah Konstitusi dengan catatan.
Masih masuk di akal
bila UU Penodaan Agama digunakan untuk melawan kebencian atau penghinaan
terhadap agama tertentu, tetapi bukan untuk menghukum mereka yang berbeda
praktik ritual ibadahnya dalam agama yang sama.
Lebih jauh lagi dan
lebih tinggi lagi, konstitusi kita menjamin setiap warga negara untuk
beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Bukan mereka
yang dikategorikan "sesat" yang melanggar konstitusi, tetapi justru
mereka yang memberi label sesat dan menuntut dibubarkannya sebuah kumpulan
agama yang damai yang jelas melanggar konstitusi.
Lalu di mana
janji-janji Presiden yang diucapkan dalam Nawacita? Agenda prioritas
kesembilan dalam Nawacita menyebutkan tekad pemerintah untuk memperteguh
kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan
memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog
antarwarga dengan komitmen untuk melindungi dan menghormati kebinekaan
segenap bangsa. Juga pemerintah disebut akan bersikap tegas terhadap segala
upaya yang bertentangan dengan hak-hak warga dan nilai-nilai kemanusiaan.
Konstitusi, hukum, dan
janji-janji Presiden, semuanya berpihak kepada kelompok keyakinan minoritas
yang sering dilecehkan oleh mereka yang mengklaim paling benar. Namun, 15
bulan lebih di bawah Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla belum
tampak ada tanda-tanda konkret tentang ketegasan pemerintah dalam
melaksanakan janji-janjinya di atas. Apa sebenarnya yang terjadi?
Pusat lawan daerah
Pertama, bisa jadi urusan
kerukunan agama ini bukan merupakan prioritas pemerintah karena adanya agenda
ekonomi dan politik yang dianggap jauh lebih mendesak. Kedua, kelompok
radikal telah memanfaatkan "kesibukan" pemerintah serta mengambil
untung dari suasana demokrasi dan kebebasan pasca Reformasi dengan lihai
untuk mengintensifkan penebaran kegiatannya.
Ketiga, dan ini yang
mengkhawatirkan, ada kesan kuat bahwa pemerintah pusat tidak berdaya
mengendalikan pemerintah daerah yang membangkang, lebih lagi bila kepala
daerahnya berasal dari kekuatan politik yang bukan merupakan bagian dari
koalisi pemerintah pusat. Padahal, baik konstitusi kita yang menjamin
kewenangan pusat maupun UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
jelas menaruh kewenangan urusan agama di bawah pemerintah pusat.
UU Pemerintah Daerah
dalam bab urusan agama memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk
menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan
pengakuan terhadap ?keberadaan suatu agama, serta menetapkan kebijakan
penyelenggaraan kehidupan beragama.
Bila sudah jelas
demikian, mengapa pemerintah pusat terkesan lemah? Di samping alasan
"kesibukan" lain dan prioritas rendah yang disebut di atas,
tampaknya pemerintah pusat ingin menghindari konfrontasi terbuka dengan
pemerintah daerah. Kegaduhan politik di pusat sudah cukup, tidak perlu
ditambah dengan kegaduhan di daerah.
Kasus pembangkangan
daerah ini bukan baru. Di era SBY, gertak untuk memecat kepala daerah yang
menentang terbuka kebijakan kenaikan BBM dilawan dan tidak pernah
dilaksanakan. Salah satu contoh terburuk lain adalah membangkangnya wali kota
Bogor yang lalu dalam kasus gereja GKI Yasmin sampai saat ini dilanjutkan
oleh wali kota yang sekarang.
Dalam kampanyenya
sebagai calon presiden, kita masih ingat Jokowi mengancam akan menggunakan
politik anggaran terhadap daerah yang membangkang. Dikatakan bahwa 85 persen
anggaran daerah berasal dari pusat dan pemerintah pusat bisa memberikan
reward atau punishment melalui dana alokasi khusus terhadap daerah, bergantung
prestasi atau sebaliknya. Kita belum melihat ada tanda bahwa janji pemilu ini
sudah atau akan dilaksanakan.
Saya kira kita semua
sepakat tidak mudah memberantas radikalisme yang mengancam keutuhan bangsa
dan bisa berkembang menjadi tanah subur untuk tindak kekerasan atas nama
agama dan terorisme. Tingkat kesulitan ini menjadi berlipat ketika beberapa
penguasa daerah justru menempatkan dirinya di pihak yang cenderung radikal
dan pemerintah pusat tak berdaya mengintervensi.
Di samping berakibat
merosotnya wibawa pemerintah, pemerintah pusat juga mengirim sinyal
mengkhawatirkan bahwa negara sudah tak mampu memberikan perlindungan kepada
kelompok minoritas dan tunduk kepada kemauan gerombolan intoleran.
Ketika pemerintah
telah berniat untuk melakukan sesuatu yang dianggap benar dan telah
mengumumkannya ke publik, maka harus ada kemauan politik yang kuat untuk
melaksanakannya. Pasti ada risiko politiknya, tetapi sebagai negarawan,
Presiden harus lebih berat pertimbangannya kepada risiko lebih besar yang bisa
ditanggung bangsa dan negara apabila tidak berbuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar