Kamis, 18 Februari 2016

Radikalisme Penguasa

Radikalisme Penguasa

Abdillah Toha  ;  Pemerhati Politik
                                                     KOMPAS, 17 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika pemimpin tertinggi negeri ini, Presiden Joko Widodo, meminta organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Lembaga Dahwah Islam Indonesia membantu pemerintah menangkal radikalisme di Tanah Air (Kompas, 6 Februari 2016), beberapa penguasa kecil di daerah justru memberi angin kepada radikalisme.

Bupati Bangka belum lama ini meminta jemaah Ahmadiyah meninggalkan kampung halamannya dan Kabupaten Bangka karena mereka dianggap sesat. Peristiwa ini bukan baru, tetapi sudah ada beberapa preseden sebelumnya. Kita belum lupa peristiwa Cikeusik yang mengakibatkan hilangnya jiwa anggota Ahmadiyah; pengusiran dan pengasingan jemaah Ahmadiyah di Lombok yang sudah hampir sembilan tahun tanpa solusi; serta pengusiran, pembakaran rumah, dan penistaan jemaah Syiah di Sampang dan Madura.

Di Kuningan, Jawa Barat, jemaah Ahmadiyah tidak diberi KTP dan surat nikah karena mereka dianggap bukan Islam atau bukan agama yang diakui pemerintah.

Jawa Barat, berdasarkan hasil survei Setara Institute, Elsam, dan The Wahid Institute, merupakan kawasan di Indonesia yang paling tidak toleran. Sang gubernur, bukannya mendinginkan suasana, malah memanasi keadaan dengan melakukan provokasi. Baru-baru ini beredar luas di media sosial video berisi ajakan Gubernur Jawa Barat agar ahlussunnah menyusun kekuatan untuk melawan Syiah.

Bupati Bangka yang kebetulan satu partai dengan Gubernur Jawa Barat tidak menggubris instruksi Menteri Dalam Negeri dan menteri agama untuk menghentikan tindakannya terhadap jemaah Ahmadiyah. Aparat kepolisian sayangnya juga gagal melindungi kelompok-kelompok minoritas ini dari hujatan para pembenci. Lalu bagaimana masyarakat akan berhasil membantu pemerintah dalam menangkal radikalisme bila justru bagian dari pemerintah itu sendiri yang menebar ideologi kebencian?

Hukum dan Nawacita

Kelompok-kelompok minoritas yang dinista itu tidak melanggar hukum atau konstitusi. Kalaupun mereka diduga melanggar hukum, seharusnya diproses melalui prosedur hukum yang benar, bukan diperlakukan semena-mena.

Pada dasarnya tidak ada dasar hukum sama sekali untuk menyeret mereka ke pengadilan. Undang-Undang Penodaan Agama? Inilah UU yang dianggap berisi pasal-pasal karet yang mudah disalahgunakan penguasa dan sering digunakan kelompok ekstrem untuk melegitimasi tindakan kekerasan atas nama agama. UU ini pada tahun 2009 dimohonkan beberapa lembaga kemanusiaan dan perorangan untuk ditinjau kembali, tetapi tidak dikabulkan Mahkamah Konstitusi dengan catatan.

Masih masuk di akal bila UU Penodaan Agama digunakan untuk melawan kebencian atau penghinaan terhadap agama tertentu, tetapi bukan untuk menghukum mereka yang berbeda praktik ritual ibadahnya dalam agama yang sama.

Lebih jauh lagi dan lebih tinggi lagi, konstitusi kita menjamin setiap warga negara untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Bukan mereka yang dikategorikan "sesat" yang melanggar konstitusi, tetapi justru mereka yang memberi label sesat dan menuntut dibubarkannya sebuah kumpulan agama yang damai yang jelas melanggar konstitusi.

Lalu di mana janji-janji Presiden yang diucapkan dalam Nawacita? Agenda prioritas kesembilan dalam Nawacita menyebutkan tekad pemerintah untuk memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga dengan komitmen untuk melindungi dan menghormati kebinekaan segenap bangsa. Juga pemerintah disebut akan bersikap tegas terhadap segala upaya yang bertentangan dengan hak-hak warga dan nilai-nilai kemanusiaan.

Konstitusi, hukum, dan janji-janji Presiden, semuanya berpihak kepada kelompok keyakinan minoritas yang sering dilecehkan oleh mereka yang mengklaim paling benar. Namun, 15 bulan lebih di bawah Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla belum tampak ada tanda-tanda konkret tentang ketegasan pemerintah dalam melaksanakan janji-janjinya di atas. Apa sebenarnya yang terjadi?

Pusat lawan daerah

Pertama, bisa jadi urusan kerukunan agama ini bukan merupakan prioritas pemerintah karena adanya agenda ekonomi dan politik yang dianggap jauh lebih mendesak. Kedua, kelompok radikal telah memanfaatkan "kesibukan" pemerintah serta mengambil untung dari suasana demokrasi dan kebebasan pasca Reformasi dengan lihai untuk mengintensifkan penebaran kegiatannya.

Ketiga, dan ini yang mengkhawatirkan, ada kesan kuat bahwa pemerintah pusat tidak berdaya mengendalikan pemerintah daerah yang membangkang, lebih lagi bila kepala daerahnya berasal dari kekuatan politik yang bukan merupakan bagian dari koalisi pemerintah pusat. Padahal, baik konstitusi kita yang menjamin kewenangan pusat maupun UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah jelas menaruh kewenangan urusan agama di bawah pemerintah pusat.

UU Pemerintah Daerah dalam bab urusan agama memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap ?keberadaan suatu agama, serta menetapkan kebijakan penyelenggaraan kehidupan beragama.

Bila sudah jelas demikian, mengapa pemerintah pusat terkesan lemah? Di samping alasan "kesibukan" lain dan prioritas rendah yang disebut di atas, tampaknya pemerintah pusat ingin menghindari konfrontasi terbuka dengan pemerintah daerah. Kegaduhan politik di pusat sudah cukup, tidak perlu ditambah dengan kegaduhan di daerah.

Kasus pembangkangan daerah ini bukan baru. Di era SBY, gertak untuk memecat kepala daerah yang menentang terbuka kebijakan kenaikan BBM dilawan dan tidak pernah dilaksanakan. Salah satu contoh terburuk lain adalah membangkangnya wali kota Bogor yang lalu dalam kasus gereja GKI Yasmin sampai saat ini dilanjutkan oleh wali kota yang sekarang.

Dalam kampanyenya sebagai calon presiden, kita masih ingat Jokowi mengancam akan menggunakan politik anggaran terhadap daerah yang membangkang. Dikatakan bahwa 85 persen anggaran daerah berasal dari pusat dan pemerintah pusat bisa memberikan reward atau punishment melalui dana alokasi khusus terhadap daerah, bergantung prestasi atau sebaliknya. Kita belum melihat ada tanda bahwa janji pemilu ini sudah atau akan dilaksanakan.

Saya kira kita semua sepakat tidak mudah memberantas radikalisme yang mengancam keutuhan bangsa dan bisa berkembang menjadi tanah subur untuk tindak kekerasan atas nama agama dan terorisme. Tingkat kesulitan ini menjadi berlipat ketika beberapa penguasa daerah justru menempatkan dirinya di pihak yang cenderung radikal dan pemerintah pusat tak berdaya mengintervensi.

Di samping berakibat merosotnya wibawa pemerintah, pemerintah pusat juga mengirim sinyal mengkhawatirkan bahwa negara sudah tak mampu memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas dan tunduk kepada kemauan gerombolan intoleran.

Ketika pemerintah telah berniat untuk melakukan sesuatu yang dianggap benar dan telah mengumumkannya ke publik, maka harus ada kemauan politik yang kuat untuk melaksanakannya. Pasti ada risiko politiknya, tetapi sebagai negarawan, Presiden harus lebih berat pertimbangannya kepada risiko lebih besar yang bisa ditanggung bangsa dan negara apabila tidak berbuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar