Menelisik Kasus Saipul Jamil
Reza Indragiri Amriel ;
Lulusan Psikologi UGM;
Pegiat Gerakan Indonesia Beradab
|
JAWA POS, 20 Februari
2016
PEDANGDUT Saipul Jamil diringkus polisi
setelah dilaporkan berbuat tidak senonoh oleh korbannya. Korban tersebut
adalah seorang remaja lelaki berusia sekitar 17 tahun.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
seketika bertindak. KPAI, antara lain, mengeluarkan delapan butir pernyataan
sikapnya atas kasus Saipul tersebut dan disertai rekomendasi terkait dengan
perlindungan anak agar kejadian serupa tidak terulang.
Di dalam pernyataan KPAI tercantum kata
’’pedofilia’’ dan ’’homoseksual’’. Dua kata yang kemudian ditanggapi beragam.
Termasuk kecaman oleh kalangan pro-LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender)
karena dianggap mengaitngaitkan pedofilia sebagai kejahatan dengan
homoseksual sebagai suatu pilihan orientasi seksual.
Pedofilia
Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA)
menetapkan, batasan usia anak-anak adalah sejak manusia berada dalam kandungan
hingga sebelum berumur 18 tahun. Merujuk pada UUPA, korban Saipul memang
masih tergolong anakanak. Karena itulah, sebagaimana pada kasus-kasus
terdahulu, Saipul diberi julukan sebagai tersangka atau pelaku kejahatan
pedofilia.
Sebutan pedofilia menghadirkan kompleksitas
tersendiri karena menumpang-tindihkan tiga klasifikasi yang berbeda ke dalam
terma tunggal. Pedofilia sebenarnya dikenakan terhadap individu dengan
ketertarikan seksual terhadap anakanak prapubertas.
Apabila anak-anak yang menjadi sasaran ketertarikan
seksual tersebut telah masuk ke usia puber, sebutan spesifik bagi pelakunya adalah Sedangkan ketika si
pelaku tertarik pada orang berusia pascapuber dan belum mencapai usia dewasa,
istilah yang
dikenakan kepadanya adalah
Dalam kasus Saipul, sebagai konsekuensi UUPA,
korban belum memiliki kewenangan untuk menyatakan setuju atau tidak setuju
atas perilaku seksualnya. Si korban, dengan kata lain, belum berada pada Atas
dasar itu, sekalipun dia menyetujui kontak seksual, persetujuan tersebut mutlak
harus diabaikan.
Tetapi, secara normatif menyebut korban
sebagai anak-anak juga tidak sederhana. Sebab, secara fisik maupun psikis,
dia berbeda jauh dengan individu-individu yang benar-benar masih tergolong
anak-anak (berumur 6 atau 7 tahun, misalnya).
Dinamika seksualitas antara remaja berusia 17
tahun dan bocah berumur 7 tahun tentu sangat berlainan satu sama lain. Betapa
pun keduanya masih terkunci dalam kategori anakanak sesuai dengan UUPA.
Persoalannya, apakah Saipul benar-benar
seorang efebofil? Atau jika kembali ke istilah yang umum dipakai; apakah
Saipul benar-benar seorang pedofil? Jawabannya adalah ya.
Seperti halnya pedofilia, efebofilia bisa
dibedakan ke dalam dua tipe. Pertama, efebofilia situasional. Yaitu,
orang-orang dewasa yang ketertarikan seksualnya sesungguhnya tertuju
semata-mata kepada orang dewasa pula. Namun, terdapat situasi-situasi
tertentu yang membuat dia menyalurkan hasrat seksualnya kepada target
pradewasa.
Kedua, efebofilia preferensial. Berbeda dengan
tipe pertama, minat seksual orang dewasa yang termasuk dalam tipe kedua ini
terarah hanya kepada mereka yang berusia pradewasa. Ia tidak tertarik kepada
sesama orang dewasa. Dan, didorong oleh berahinya itu, dia kemudian
menyalurkannya juga kepada mereka yang belum memasuki umur dewasa tersebut.
Saipul, berdasar riwayat hidupnya yang pernah
menikah dan berpacaran dengan orang dewasa, kiranya termasuk dalam efebofilia
tipe kedua. Pemunculan berahinya untuk melakukan kontak seksual dengan remaja
berlangsung lebih dikarenakan faktor situasi.
Sebab, juga seperti yang diwartakan media,
saat itu dan di situ tidak terdapat sesama orang dewasa yang bisa, sekali
lagi, bisa dijadikan Saipul sebagai objek penyaluran libidonya tersebut.
Poin tersebut memberikan garis bawah terhadap
anak-anak selaku kelompok rentan. Tidak hanya berhadapan dengan pedofil
preferensial. Orang-orang berusia belia juga berisiko menjadi korban
eksploitasi seksual ’’hanya’’ ketika orang-orang normal terhalang oleh
keadaan untuk memuaskan dorongan seksual mereka.
Homoseksual
Dengan asumsi bahwa Saipul termasuk seorang
efebofilia situasional, terdapat persoalan kedua. Yakni, mengapa dia
mengincar orang dengan jenis kelamin yang sama? Padahal, bagi selebriti
sekelas Saipul, ditambah dengan karut-marutnya kehidupan banyak remaja ibu
kota, hampir bisa dipastikan tidak sulit bagi Saipul untuk membuncahkan
syahwat seksualnya ke lawan jenis.
Setali tiga uang, yang kuat berpengaruh
terhadap diri Saipul pada saat kejadian adalah faktor situasi. Mirip dengan
para terpidana di dalam penjara, Saipul dalam tempo singkat berubah menjadi
seorang homoseksual fakultatif.
Dia menjadi lelaki homoseksual (gay) karena pada saat itu dan di situ
tidak terdapat perempuan yang bisa dijadikan objek pemuas berahi Saipul yang
sejatinya merupakan seorang lelaki heteroseksual.
Dahsyatnya pengaruh keadaan terhadap
pembentukan orientasi seksual menyimpang merupakan penjelasan kukuh yang
mematahkan dalih para homoseksual bahwa ketertarikan mereka bersifat bawaan.
Tidak terdapat faktor genetis yang mendukung klaim homoseksual sebagai
sesuatu yang terkodratkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar