Kamis, 25 Februari 2016

Menelisik Kasus Saipul Jamil

Menelisik Kasus Saipul Jamil

Reza Indragiri Amriel ;   Lulusan Psikologi UGM;
Pegiat Gerakan Indonesia Beradab
                                                   JAWA POS, 20 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PEDANGDUT Saipul Jamil diringkus polisi setelah dilaporkan berbuat tidak senonoh oleh korbannya. Korban tersebut adalah seorang remaja lelaki berusia sekitar 17 tahun.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) seketika bertindak. KPAI, antara lain, mengeluarkan delapan butir pernyataan sikapnya atas kasus Saipul tersebut dan disertai rekomendasi terkait dengan perlindungan anak agar kejadian serupa tidak terulang.

Di dalam pernyataan KPAI tercantum kata ’’pedofilia’’ dan ’’homoseksual’’. Dua kata yang kemudian ditanggapi beragam. Termasuk kecaman oleh kalangan pro-LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) karena dianggap mengaitngaitkan pedofilia sebagai kejahatan dengan homoseksual sebagai suatu pilihan orientasi seksual.

Pedofilia

Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) menetapkan, batasan usia anak-anak adalah sejak manusia berada dalam kandungan hingga sebelum berumur 18 tahun. Merujuk pada UUPA, korban Saipul memang masih tergolong anakanak. Karena itulah, sebagaimana pada kasus-kasus terdahulu, Saipul diberi julukan sebagai tersangka atau pelaku kejahatan pedofilia.

Sebutan pedofilia menghadirkan kompleksitas tersendiri karena menumpang-tindihkan tiga klasifikasi yang berbeda ke dalam terma tunggal. Pedofilia sebenarnya dikenakan terhadap individu dengan ketertarikan seksual terhadap anakanak prapubertas.

Apabila anak-anak yang menjadi sasaran ketertarikan seksual tersebut telah masuk ke usia puber, sebutan spesifik bagi pelakunya adalah Sedangkan ketika si pelaku tertarik pada orang berusia pascapuber dan belum mencapai usia dewasa, istilah yang dikenakan kepadanya adalah

Dalam kasus Saipul, sebagai konsekuensi UUPA, korban belum memiliki kewenangan untuk menyatakan setuju atau tidak setuju atas perilaku seksualnya. Si korban, dengan kata lain, belum berada pada Atas dasar itu, sekalipun dia menyetujui kontak seksual, persetujuan tersebut mutlak harus diabaikan.

Tetapi, secara normatif menyebut korban sebagai anak-anak juga tidak sederhana. Sebab, secara fisik maupun psikis, dia berbeda jauh dengan individu-individu yang benar-benar masih tergolong anak-anak (berumur 6 atau 7 tahun, misalnya).

Dinamika seksualitas antara remaja berusia 17 tahun dan bocah berumur 7 tahun tentu sangat berlainan satu sama lain. Betapa pun keduanya masih terkunci dalam kategori anakanak sesuai dengan UUPA.

Persoalannya, apakah Saipul benar-benar seorang efebofil? Atau jika kembali ke istilah yang umum dipakai; apakah Saipul benar-benar seorang pedofil? Jawabannya adalah ya.

Seperti halnya pedofilia, efebofilia bisa dibedakan ke dalam dua tipe. Pertama, efebofilia situasional. Yaitu, orang-orang dewasa yang ketertarikan seksualnya sesungguhnya tertuju semata-mata kepada orang dewasa pula. Namun, terdapat situasi-situasi tertentu yang membuat dia menyalurkan hasrat seksualnya kepada target pradewasa.

Kedua, efebofilia preferensial. Berbeda dengan tipe pertama, minat seksual orang dewasa yang termasuk dalam tipe kedua ini terarah hanya kepada mereka yang berusia pradewasa. Ia tidak tertarik kepada sesama orang dewasa. Dan, didorong oleh berahinya itu, dia kemudian menyalurkannya juga kepada mereka yang belum memasuki umur dewasa tersebut.

Saipul, berdasar riwayat hidupnya yang pernah menikah dan berpacaran dengan orang dewasa, kiranya termasuk dalam efebofilia tipe kedua. Pemunculan berahinya untuk melakukan kontak seksual dengan remaja berlangsung lebih dikarenakan faktor situasi.

Sebab, juga seperti yang diwartakan media, saat itu dan di situ tidak terdapat sesama orang dewasa yang bisa, sekali lagi, bisa dijadikan Saipul sebagai objek penyaluran libidonya tersebut.

Poin tersebut memberikan garis bawah terhadap anak-anak selaku kelompok rentan. Tidak hanya berhadapan dengan pedofil preferensial. Orang-orang berusia belia juga berisiko menjadi korban eksploitasi seksual ’’hanya’’ ketika orang-orang normal terhalang oleh keadaan untuk memuaskan dorongan seksual mereka.

Homoseksual

Dengan asumsi bahwa Saipul termasuk seorang efebofilia situasional, terdapat persoalan kedua. Yakni, mengapa dia mengincar orang dengan jenis kelamin yang sama? Padahal, bagi selebriti sekelas Saipul, ditambah dengan karut-marutnya kehidupan banyak remaja ibu kota, hampir bisa dipastikan tidak sulit bagi Saipul untuk membuncahkan syahwat seksualnya ke lawan jenis.

Setali tiga uang, yang kuat berpengaruh terhadap diri Saipul pada saat kejadian adalah faktor situasi. Mirip dengan para terpidana di dalam penjara, Saipul dalam tempo singkat berubah menjadi seorang homoseksual fakultatif.

Dia menjadi lelaki homoseksual (gay) karena pada saat itu dan di situ tidak terdapat perempuan yang bisa dijadikan objek pemuas berahi Saipul yang sejatinya merupakan seorang lelaki heteroseksual.

Dahsyatnya pengaruh keadaan terhadap pembentukan orientasi seksual menyimpang merupakan penjelasan kukuh yang mematahkan dalih para homoseksual bahwa ketertarikan mereka bersifat bawaan. Tidak terdapat faktor genetis yang mendukung klaim homoseksual sebagai sesuatu yang terkodratkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar