Jumat, 19 Februari 2016

Sunat Perempuan Indonesia

Sunat Perempuan Indonesia

Lies Marcoes  ;  Direktur Rumah Kita Bersama
                                                     KOMPAS, 18 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Siapa yang tak kaget ketika Unicef -Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak-meluncurkan hasil penelitian soal sunat perempuan.  Menurut laporan itu Indonesia menjadi penyumbang ketiga tertinggi angka praktik sunat perempuan dunia.

Data Unicef 2016 mencatat 200 juta perempuan dan anak perempuan mengalaminya, naik 60 juta dari data tahun 2014 yang mencatat ada 140 juta praktik sunat di dunia. Di Indonesia, menurut penelitian itu, separuh anak  perempuan usia 11 tahun ke bawah mengalami sunat.

Keterkejutan itu wajar karena kita seperti tak melihat praktik itu di kiri-kanan kita. Berdasarkan pengamatan panjang, tulisan ini berupaya memberi konteks dalam memahami isu ini.

Tahun 1998  bersama  Andree Feillard, peneliti dari Perancis, kami  menulis artikel  soal sunat perempuan di Indonesia  untuk jurnal Archipel (vol 56/1998). Tulisan ini memperlihatkan bahwa praktik sunat merupakan  gabungan adat dan proses inisiasi atau penanda keislaman di sejumlah daerah  di Nusantara.

Saat  penelitian dilakukan, sunat perempuan hanya tradisi komunal. Sunat dilakukan oleh dukun sunat  dalam bentuk sumbolik : ujung klitoris bayi/anak disentuh oleh kunyit atau menggunakan alat (pisau kecil, gunting, atau jarum).  Di sejumlah daerah, seperti Sulawesi Selatan, ritual ini dirayakan keluarga dengan pesta adat. Maka, orang tahu ada hajatan sunatan anak perempuan. Namun, di banyak daerah, ritual itu  hanya diketahui oleh ibu sang bayi dan dukun yang melaksanakan. Feillard menyebut ritual itu bersifat "rahasia kecil" antarperempuan.

Ketika dunia  mempersoalkan praktik itu dengan melihat akibat buruknya  sebagaimana terjadi di Afrika Utara-utamanya Mesir, Sudan, Somalia, dan Etiopia-banyak pemerhati isu kesehatan reproduksi perempuan  menengok ke Indonesia mengingat praktik ini banyak terjadi di negara-negara Islam. Sejumlah penelitian dilakukan, misalnya oleh Yayasan Kesejahteraan Fatayat. Penelitan-penelitian itu melihat bahwa sunat  perempuan  tak hanya dilakukan oleh peraji/dukun, tetapi juga oleh bidan atau petugas kesehatan. Penelitian itu juga melihat dampak kesehatannya.  Kesimpulannya, sunat dilakukan dengan sejumlah kasus kecil infeksi, tetapi secara umum tak ada persoalan pada kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana praktik di Afrika.

Pro dan kontra

Persoalan lebih mendasar ada di level diskursus dan debat teologis. MUI mengeluarkan fatwa bahwa sunat perempuan adalah hal baik dan dianjurkan. Namun, para aktivis perempuan dan pemerhati hak kesehatan reproduksi perempuan merasa bahwa alasan diskursus sangat memojokkan dan merendahkan  perempuan. Alasan yang mengemuka adalah: sunat dilakukan  dalam rangka mengontrol seksualitas dan libido seks mereka. Ini jelas persoalan. Seks perempuan hendak dikontrol karena dianggap buruk dan liar.

Debat pro dan kontra makin mengemuka ketika pemerintah melalui Peraturan  Menteri Kesehatan Nomor 1636  Tahun 2010 mengatur tata laksana sunat perempuan agar memenuhi standar kesehatan. Peraturan ini merespons berkembangnya praktik sunat yang ternyata tak hanya dilakukan oleh peraji di level komunitas, tetapi juga petugas kesehatan sebagai bentuk layanan medis atas permintaan pihak keluarga.

Munculnya "permintaan" itu  secara sosiologis sejalan dengan menguatnya kehendak untuk  beragama secara penuh. Itu berarti ada peningkatan anggapan bahwa sunat perempuan bukan sekadar tradisi budaya, tetapi menjadi bagian ajaran agama.

Tentu saja tak semua mazhab menganut pandangan itu. Dalam tradisi pemikiran keagamaan yang lebih puritan (pemurnian), sunat perempuan bahkan tak dikenal sebagai bagian dari ajaran agama melainkan bagian tradisi budaya. Oleh karena itu, Muhammadiyah menolak praktik sunat perempuan.

 Pada perkembangannya, Permenkes yang semula dimaksudkan untuk mengawasi dan mengontrol tata laksana sunat agar tak memunculkan persoalan medis,  dibaca lain oleh pihak berbeda. MUI, misalnya menerima peraturan itu sebagai bukti bahwa negara merestui. Di sini permenkes menjadi kontroversial di tengah meluasnya praktik medikalisasi sunat perempuan.

Dengan alasan untuk memenuhi permintaan konsumen, sejumlah rumah sakit bersalin (RSB)-apalagi yang berbendera agama-memberi layanan paket sunat  dan tindik sebagai bonus melahirkan. Dan, ketika praktik sunat itu diambil alih oleh lembaga pemberi layanan kesehatan, seperti rumah sakit atau dilakukan bidan, maka konsekuensinya ada tindakan operasi.  Tindakan perlukaan, bagaimana pun bentuknya, adalah tindakan operasi. Ini berarti sunat bukan lagi tradisi yang dilakukan simbolik, tetapi tindakan medis.

Pemerintah, melalui Kemenkes  menyadari kekeliruan intervensi mereka dalam praktik  medikalisasi sunat perempuan itu. Karenanya, Kemenkes melalui Peraturan No 6/2014 mencabut Peraturan Kemenkes sebelumnya  No 1636/2010. Namun, hal ini tak dengan sendirinya mengakhiri praktik itu.

Tahun 2014 wartawan CNN, Saima Mohsin, melaporkan dari Bandung dalam  satu hari ratusan bayi "disunat" dalam rangka ulang tahun sebuah RSB. Dan, praktik serupa itu menjadi hal yang biasa sebagai paket layanan kesehatan. Tidak mengherankan bahwa praktik sunat perempuan ada dan meluas di Indonesia.

Namun, sebagaimana dikemukakan Feillard, praktik itu tak banyak diketahui orang karena dianggap sebagai peristiwa biasa. Saking biasanya bahkan seorang ayah bisa tak tahu apakah anak perempuannya disunat atau tidak.  Praktik ini menguat ketika ada permintaan "pasar" yang dijawab dengan komersialisasi layanan medis.

Di titik ini laporan Unicef  jelas sebuah fakta sosial yang  perlu disikapi. Indonesa menjadi penyumbang ketiga praktik sunat perempuan ketika sunat  bukan lagi sekadar tradisi melainkan  telah menjadi bagian dari layanan medis yang  berbiaya dan menguntungkan lembaga layanan.

Dalam waktu yang bersamaan masyarakat  sedang  gandrung  meng-agama-kan hal-hal yang semula "hanya" tradisi, seperti sunat perempuan itu. Maka, sikap paling arif adalah menjadikan fakta itu   penanda arah dan bagaimana negara bersikap dalam menghormati hak  reproduksi anak perempuan dan perempuan,  seperti yang telah disepakati dalam Konferensi Beijing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar