Sunat Perempuan Indonesia
Lies Marcoes ; Direktur Rumah Kita Bersama
|
KOMPAS, 18
Februari 2016
Siapa yang tak kaget
ketika Unicef -Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak-meluncurkan
hasil penelitian soal sunat perempuan.
Menurut laporan itu Indonesia menjadi penyumbang ketiga tertinggi
angka praktik sunat perempuan dunia.
Data Unicef 2016
mencatat 200 juta perempuan dan anak perempuan mengalaminya, naik 60 juta
dari data tahun 2014 yang mencatat ada 140 juta praktik sunat di dunia. Di
Indonesia, menurut penelitian itu, separuh anak perempuan usia 11 tahun ke bawah mengalami
sunat.
Keterkejutan itu wajar
karena kita seperti tak melihat praktik itu di kiri-kanan kita. Berdasarkan
pengamatan panjang, tulisan ini berupaya memberi konteks dalam memahami isu
ini.
Tahun 1998 bersama
Andree Feillard, peneliti dari Perancis, kami menulis artikel soal sunat perempuan di Indonesia untuk jurnal Archipel (vol 56/1998).
Tulisan ini memperlihatkan bahwa praktik sunat merupakan gabungan adat dan proses inisiasi atau
penanda keislaman di sejumlah daerah
di Nusantara.
Saat penelitian dilakukan, sunat perempuan hanya
tradisi komunal. Sunat dilakukan oleh dukun sunat dalam bentuk sumbolik : ujung klitoris
bayi/anak disentuh oleh kunyit atau menggunakan alat (pisau kecil, gunting,
atau jarum). Di sejumlah daerah,
seperti Sulawesi Selatan, ritual ini dirayakan keluarga dengan pesta adat.
Maka, orang tahu ada hajatan sunatan anak perempuan. Namun, di banyak daerah,
ritual itu hanya diketahui oleh ibu
sang bayi dan dukun yang melaksanakan. Feillard menyebut ritual itu bersifat
"rahasia kecil" antarperempuan.
Ketika dunia mempersoalkan praktik itu dengan melihat
akibat buruknya sebagaimana terjadi di
Afrika Utara-utamanya Mesir, Sudan, Somalia, dan Etiopia-banyak pemerhati isu
kesehatan reproduksi perempuan
menengok ke Indonesia mengingat praktik ini banyak terjadi di
negara-negara Islam. Sejumlah penelitian dilakukan, misalnya oleh Yayasan
Kesejahteraan Fatayat. Penelitan-penelitian itu melihat bahwa sunat perempuan
tak hanya dilakukan oleh peraji/dukun, tetapi juga oleh bidan atau
petugas kesehatan. Penelitian itu juga melihat dampak kesehatannya. Kesimpulannya, sunat dilakukan dengan
sejumlah kasus kecil infeksi, tetapi secara umum tak ada persoalan pada
kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana praktik di Afrika.
Pro dan kontra
Persoalan lebih
mendasar ada di level diskursus dan debat teologis. MUI mengeluarkan fatwa
bahwa sunat perempuan adalah hal baik dan dianjurkan. Namun, para aktivis
perempuan dan pemerhati hak kesehatan reproduksi perempuan merasa bahwa
alasan diskursus sangat memojokkan dan merendahkan perempuan. Alasan yang mengemuka adalah:
sunat dilakukan dalam rangka
mengontrol seksualitas dan libido seks mereka. Ini jelas persoalan. Seks
perempuan hendak dikontrol karena dianggap buruk dan liar.
Debat pro dan kontra
makin mengemuka ketika pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636 Tahun 2010 mengatur tata laksana sunat
perempuan agar memenuhi standar kesehatan. Peraturan ini merespons
berkembangnya praktik sunat yang ternyata tak hanya dilakukan oleh peraji di level
komunitas, tetapi juga petugas kesehatan sebagai bentuk layanan medis atas
permintaan pihak keluarga.
Munculnya
"permintaan" itu secara
sosiologis sejalan dengan menguatnya kehendak untuk beragama secara penuh. Itu berarti ada
peningkatan anggapan bahwa sunat perempuan bukan sekadar tradisi budaya,
tetapi menjadi bagian ajaran agama.
Tentu saja tak semua
mazhab menganut pandangan itu. Dalam tradisi pemikiran keagamaan yang lebih
puritan (pemurnian), sunat perempuan bahkan tak dikenal sebagai bagian dari
ajaran agama melainkan bagian tradisi budaya. Oleh karena itu, Muhammadiyah
menolak praktik sunat perempuan.
Pada perkembangannya, Permenkes yang semula
dimaksudkan untuk mengawasi dan mengontrol tata laksana sunat agar tak
memunculkan persoalan medis, dibaca
lain oleh pihak berbeda. MUI, misalnya menerima peraturan itu sebagai bukti
bahwa negara merestui. Di sini permenkes menjadi kontroversial di tengah
meluasnya praktik medikalisasi sunat perempuan.
Dengan alasan untuk
memenuhi permintaan konsumen, sejumlah rumah sakit bersalin (RSB)-apalagi
yang berbendera agama-memberi layanan paket sunat dan tindik sebagai bonus melahirkan. Dan,
ketika praktik sunat itu diambil alih oleh lembaga pemberi layanan kesehatan,
seperti rumah sakit atau dilakukan bidan, maka konsekuensinya ada tindakan
operasi. Tindakan perlukaan, bagaimana
pun bentuknya, adalah tindakan operasi. Ini berarti sunat bukan lagi tradisi
yang dilakukan simbolik, tetapi tindakan medis.
Pemerintah, melalui
Kemenkes menyadari kekeliruan
intervensi mereka dalam praktik
medikalisasi sunat perempuan itu. Karenanya, Kemenkes melalui
Peraturan No 6/2014 mencabut Peraturan Kemenkes sebelumnya No 1636/2010. Namun, hal ini tak dengan
sendirinya mengakhiri praktik itu.
Tahun 2014 wartawan CNN,
Saima Mohsin, melaporkan dari Bandung dalam
satu hari ratusan bayi "disunat" dalam rangka ulang tahun
sebuah RSB. Dan, praktik serupa itu menjadi hal yang biasa sebagai paket
layanan kesehatan. Tidak mengherankan bahwa praktik sunat perempuan ada dan
meluas di Indonesia.
Namun, sebagaimana
dikemukakan Feillard, praktik itu tak banyak diketahui orang karena dianggap
sebagai peristiwa biasa. Saking biasanya bahkan seorang ayah bisa tak tahu
apakah anak perempuannya disunat atau tidak.
Praktik ini menguat ketika ada permintaan "pasar" yang
dijawab dengan komersialisasi layanan medis.
Di titik ini laporan
Unicef jelas sebuah fakta sosial
yang perlu disikapi. Indonesa menjadi
penyumbang ketiga praktik sunat perempuan ketika sunat bukan lagi sekadar tradisi melainkan telah menjadi bagian dari layanan medis
yang berbiaya dan menguntungkan
lembaga layanan.
Dalam waktu yang
bersamaan masyarakat sedang gandrung
meng-agama-kan hal-hal yang semula "hanya" tradisi, seperti
sunat perempuan itu. Maka, sikap paling arif adalah menjadikan fakta itu penanda arah dan bagaimana negara bersikap
dalam menghormati hak reproduksi anak
perempuan dan perempuan, seperti yang
telah disepakati dalam Konferensi Beijing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar