Intelijen dan UU Anti Terorisme
Diandra Megaputri Mengko ;
Peneliti Pusat Penelitian
Politik LIPI
|
KOMPAS, 24
Februari 2016
Tragedi bom Thamrin
pada pertengahan Januari 2016 telah memunculkan diskursus tentang perlunya
pemberian kewenangan kepada intelijen untuk menangkap. Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN) Sutiyoso sudah menyatakan bahwa revisi UU Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu mencakup pemberian
kewenangan menangkap dan menahan kepada intelijen/BIN agar kerja penanganan
terorisme di Indonesia lebih efektif. Beberapa jajaran pemerintah dan
pengamat berpandangan sebaliknya. Bahkan, mantan Kepala Badan Intelijen
StrategisSoleman Ponto menyatakan, intelijen tak perlu memiliki kewenangan
menangkap. Menurut Soleman, BIN hanya perlu jeli mengatur strategi dalam
menjalankan tugas dan bisa bekerja sama dengan kepolisian, khususnya dalam
menangani terorisme.
Diskursus mengenai
pemberian kewenangan menangkap bagi intelijen bukanlah hal baru di Indonesia.
Perdebatan ini pernah memanas saat perumusan RUU Intelijen dalam kurun
2009-2011. Bagi pihak yang mendukung ide kewenangan menangkap, rasionalitas
yang diajukan dulu tidak jauh berbeda dengan saat ini: sering kali informasi
intelijen tak mendapat perhatian serius dari aparat penindak; dan ketika
suatu tragedi buruk menimpa, tak jarang intelijen menjadi kambing hitam.
Menurut pandangan ini, pemberian kewenangan menahan dan menangkap bagi
intelijen akan menjadi suatu langkah pencegahan yang efektif.
Meski demikian, bahwa
ide pemberian kewenangan menangkap ini tidak diakomodasi pada UU 17/2011
tentang Intelijen Negara tentu atas dasar pertimbangan yang tak kalah
penting. Pengalaman masa lalu Indonesia, baik pada masa Kopkamtib maupun
sebelum terbentuk UU Intelijen, telah menunjukkan bahwa aksi penangkapan oleh
intelijen tidak banyak berkorelasi dengan keefektifan pencegahan suatu tindak
kriminal atau kejahatan. Yang terjadi justru semakin marak kasus
penyalahgunaan kewenangan atau bahkan penyimpangan intelijen, ketika pada
akhirnya prinsip negara hukum, demokrasi, hak asasi manusia, atau bahkan
profesionalisme intelijen itu akan jadi taruhan.
Kembalinya diskursus
lama setelah bom Thamrin sesungguhnya dapat dipahami pada tingkatan
psikologis—sebagai insting memperkuat pertahanan diri—pasca serangan. Namun,
upaya penguatan ini tentu perlu tepat dan tidak emosional, yaitu dengan
mempertimbangkan hakikat dan fungsi intelijen itu sendiri serta pengalaman
panjang bangsa ini.
Apakah intelijen kebobolan?
Mengambil kesimpulan
bahwa intelijen memerlukan kewenangan menangkap adalah tergesa-gesa.
Intelijen pada negara demokratis mana pun memiliki tugas pokok bukan untuk
menangkap, tetapi hanya sebatas memberikan informasi/hasil analisis sebagai
peringatan dini pada pengambil kebijakan/keputusan agar dapat menentukan
langkah yang tepat terhadap kondisi tertentu.
Dalam konteks bom
Thamrin, BIN sudah melaksanakan tugas dengan memberikan peringatan tentang
kemungkinan serangan teroris antara Desember-Januari, sebagaimana dinyatakan
Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan. Pada
konteks itu perlu dipahami bahwa apa yang dipertanyakan masyarakat sebagai
”kebobolan intelijen” adalah analisis intelijen yang terkesan belum detail
dan belum menyentuh hingga kelompok atau lokasi serangan, terlebih para
pelaku teror adalah mantan terpidana teroris yang seharusnya masih terpantau
lembaga intelijen.
Perlu diakui, bukanlah
perkara mudah memprediksi kelompok atau lokasi serangan, tetapi bukan berarti
lembaga intelijen tidak berupaya. Evaluasi terhadap kerja analisis intelijen
perlu senantiasa dilakukan demi perbaikan kerja intelijen di masa depan
karena kegagalan berulang dalam mengidentifikasi dadakan teknis sesungguhnya
menunjukkan persoalan serius pada kerja intelijen. Pemerintah AS pun pernah
melakukan hal serupa terhadap CIA pasca peristiwa 11 September–ketika hasil
evaluasi menunjukkan bahwa informasi terkait 11 September sudah didapatkan,
hanya saja belum terpilah secara komprehensif. Kiranya kejelasan yang sama
perlu kita dapatkan demi peningkatan rasa aman masyarakat.
Kalaupun hasil
evaluasi nanti menunjukkan bahwa intelijen atau BIN sudah memprediksi hingga
ke tingkat kelompok dan lokasi serangan, tetapi tidak ada tindak lanjut dari
aparat penegak hukum, persoalannya bukan terletak pada kekurangan kewenangan,
tetapi kurang koordinasi antar-aparat keamanan. Apabila persoalan koordinasi
ini ”diselesaikan” dengan pemberian kewenangan menangkap untuk intelijen,
yang terjadi bukanlah menyelesaikan persoalan, tetapi semakin memperumit
persoalan.
Penting dipahami,
lembaga intelijen berbeda dengan lembaga penegak hukum. Keberadaan intelijen
yang ditujukan untuk menguak informasi rahasia lawan tentu memiliki
karakteristik yang lekat dengan kerahasiaan. Pada konteks itu, bagaimana
akuntabilitas suatu penangkapan rahasia oleh intelijen dapat
dipertanggungjawabkan ke publik? Bagaimana memastikan bahwa kewenangan ini
tak disalahgunakan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab? Ini tentu berbeda
dengan aparat penegak hukum: setiap penangkapan harus dipertanggungjawabkan
secara terbuka di depan pengadilan.
Lebih jauh, apabila
masih dipaksakan, pemberian kewenangan menangkap pada intelijen juga akan
memunculkan ketumpangtindihan wewenang dengan aparat penegak hukum di tataran
operasional. Pada konteks itu pula, apa yang dikatakan Zulkifli Lubis tentang
intelijen sebagai ”prajurit bayangan yang berperang dalam perang adu pintar”
akan bisa kehilangan maknanya.
Perkuat kemampuan
Dalam perang adu
pintar, kemampuan analitis para ”prajurit bayangan” ini menjadi modalitas
utama. Kemampuan mendapatkan, mengolah, memilah, hingga menganalisis suatu
informasi merupakan jantung kerja intelijen dan sesungguhnya dapat menjadi
salah satu upaya pencegahan yang paling efektif. Namun, intelijen bukan bak
cenayang yang dapat meramalkan masa depan dari bola ramal.
Penguatan kemampuan
intelijen ini perlu dilakukan mulai dari pemilihan kapabilitas manusia yang
benar-benar pernah mengenyam pendidikan intelijen ataupun ahli di bidang
tertentu hingga tersedianya dukungan kapasitas teknologi dalam pengumpulan
informasi.
Selain itu, komitmen
dalam mendorong profesionalisme intelijen juga perlu datang dari pengguna
informasi intelijen dan Komisi Pengawasan Intelijen DPR. Tanpa dukungan
pihak-pihak ini, tak jarang intelijen pun dapat terjatuh ke dalam pusaran
politik praktis dan berakhir tidak maksimal dalam menjalankan tugas
mengidentifikasi ancaman keamanan.
Frase ”berhasil tidak
dipuji, gagal dicaci maki, dan hilang tidak dicari” sering digunakan mendeskripsikan
intelijen. Meski tak dipuji, dimaki, bahkan tak dicari, bukan berarti peran
mereka tak signifikan terhadap negara ini. Oleh karena itu, penguatan
intelijen merupakan suatu keniscayaan, tetapi perlu dilakukan secara tepat:
perkuat kemampuan, bukan kewenangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar