Perang Diplomasi Dagang di Pasifik
Bayu Krisnamurthi ; Dosen IPB; Wakil Menteri Perdagangan RI
2011-2014
|
KOMPAS, 17
Februari 2016
Dalam setiap kisah
yang menceritakan peperangan-misal pertempuran di Kurusetra dalam kisah
Baratayudha atau pertempuran di Middle
Earth karya Tolkien-selalu digambarkan pertempuran adalah kebaikan
melawan kejahatan.
Maka, di semua kisah
itu kebaikan selalu menang. Namun, dunia nyata diplomasi perdagangan tidaklah
demikian.
Diplomasi dagang
memang suatu "peperangan" karena setiap negara ingin-dan
harus-memperjuangkan kepentingannya. Hanya saja, peperangan itu bukan antara
yang baik dan jahat, tetapi antara yang baik dan yang baik dilihat dari
kepentingan masing-masing. Akibatnya, "perang" diplomasi dagang
menjadi jauh lebih kompleks karena pihak yang "berperang" tidak
lagi hanya satu lawan satu yang mudah membedakan siapa lawan dan siapa
sekutu. Perang diplomasi sering tak
berwujud dan beberapa pihak yang terlibat lebur dalam satu peperangan besar.
Semua lawan sekaligus kawan.
Itulah yang bisa
dibayangkan dengan Trans Pasific
Partnership (TPP) yang baru saja ditandatangani 4 Februari 2016 di
Auckland, Selandia Baru. Dua belas negara bersama-sama lebur dalam satu ajang
perang diplomasi dagang. Maka, ketika mencapai kesepakatan, mereka
menyebutnya kemenangan bersama.
Keberadaan TPP jelas
akan sangat memengaruhi sistem perdagangan di kawasan, bahkan akan memengaruhi
perdagangan dunia. TPP dianggap sebagai kesepakatan dagang terbesar setelah
kesepakatan GATT/WTO.
Indonesia di TPP
Indonesia dikabarkan
bersiap-siap bergabung dalam TPP. Apa yang kiranya akan dihadapi Indonesia
dalam perang diplomasi dagang di Pasifik itu?
Pertama, Indonesia
menjadi pendatang baru di tengah kesepakatan yang sudah ditandatangani.
Artinya, Indonesia harus menerima kesepakatan yang ada sebagai awal landasan
runding dengan negara-negara yang sudah lebih dulu masuk. Indonesia harus benar-benar
mencermati 6.000 halaman lebih dokumen kesepakatan untuk melihat apakah
kata-kata dan kalimat-kalimat yang digunakan masih memungkinkan Indonesia
membawa kepentingannya atau harus "ikut" dengan apa yang sudah
tertulis (yang mungkin juga sesuai keinginan kita).
Kedua, Indonesia perlu
mencermati bagaimana perimbangan kekuatan di antara peserta TPP dan bagaimana
hubungan dagang negara-negara itu dengan Indonesia. Ada AS yang ekonominya
jauh lebih besar dari anggota TPP lainnya, salah satu negara mitra dagang
Indonesia terbesar. Ada Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Brunei yang sudah
bersama-sama Indonesia di ASEAN. Ada Jepang, Australia, dan Selandia Baru
yang sudah bersepakat dagang dengan Indonesia ataupun ASEAN. Ada Kanada,
Meksiko, Cile, dan Peru yang masing-masing juga memiliki berbagai bentuk
kerja sama dagang dengan Indonesia.
Ketiga, dalam proses
perundingan dan dokumen TPP sangat terlihat kepemimpinan AS. Dapat
dimengerti, AS adalah ekonomi terbesar di TPP dan dunia dengan PDB sekitar
17,5 triliun dollar AS. Jika ekonomi 11 negara TPP lain dijumlahkan pun,
masih lebih kecil dari AS. Oleh sebab itu, banyak yang menyebut TPP sangat
"terasa" aroma AS-nya.
Misal, sejak dulu AS
selalu mendorong pengadaan pemerintah (government
procurement) dilaksanakan dengan mekanisme pasar, tidak boleh ada
keistimewaan bagi BUMN. Namun, di sisi lain, AS selalu menolak jika subsidi
pertanian dihapuskan, seperti pada kasus subsidi kapas. AS juga selalu
bertahan dengan hak paten obat-obatan, padahal di WTO diakui ramuan obat
dapat dijadikan produk generik. Contoh-contoh itu terlihat jelas pada hasil
kesepakatan TPP.
Kuatnya pengaruh AS di
TPP tidak selalu berarti buruk karena banyak posisi runding dan konsep AS
yang cukup logis dan sesuai prinsip universal. Namun, kita harus sadar,
memperjuangkan kepentingan Indonesia di TPP artinya harus melalui proses
meyakinkan dan dapat persetujuan AS.
Keempat, meski sudah
ditandatangani di Selandia Baru, TPP baru akan berlaku jika telah
diratifikasi melalui proses perundang-undangan di 12 negara anggotanya. Hal
ini masih penuh ketidakpastian, termasuk di AS. Calon-calon presiden AS-baik
dari Demokrat maupun Republik-mengisyaratkan tentangan yang kuat atas
kebijakan Presiden Obama dengan TPP. Belum lagi masalah di Kongres dan Senat
serta tentangan publik AS. Joseph Stiglitz-peraih hadiah Nobel Ekonomi dari
AS-menulis di The Guardian
(10/1/2016) tentang harapannya untuk kesepakatan dagang yang lebih baik dan
matinya TPP. Proses politik di
negara-negara anggota TPP lain juga belum tentu lancar.
TPP vs RCEP
Kelima, selain mulai
berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN-dengan empat negara ASEAN sudah masuk
TPP-Indonesia juga tengah berunding dan menjadi koordinator dalam Regional Comprehensive Economic
Partnership (RCEP). Ada tujuh negara TPP yang ikut berunding di RCEP.
Lalu ada perundingan APEC dan beberapa proses perundingan bilateral yang juga
tengah diikuti Indonesia.
Belum lagi
kepemimpinan Indonesia di G33 dan implikasi politiknya yang bisa mendukung
kepentingan Indonesia di forum global. Semua itu harus dikelola
sebaik-baiknya dengan kejelasan arah dan kepemimpinan konsisten agar sinkron
satu sama lain.
Perang diplomasi
dagang yang besar memang sedang berlangsung di Pasifik. Indonesia sudah ada
dalam peperangan itu. TPP merupakan
front baru dalam peperangan besar itu. Ikut atau tidak ikut TPP akan membawa
risiko yang tidak ringan bagi Indonesia, selain membuka peluang dan manfaat.
Namun, dalam situasi perang diplomasi dagang seperti saat ini, yang paling
buruk dan tak ada manfaat justru jika kita tidak berbuat apa-apa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar