Selamatkan RUU Kebudayaan
Yudhistira ANM Massardi ;
Pengelola Sekolah Gratis untuk
Dhuafa,
TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi
|
KOMPAS, 27
Februari 2016
Ramainya penolakan
terhadap Rancangan Undang-Undang Kebudayaan yang sekarang tengah dalam pembahasan
pemerintah terasa menggembirakan sekaligus menyedihkan. Dikatakan
menggembirakan karena di tengah rusak dan runtuhnya etika, moral,
nilai-nilai, norma-norma, serta konvensi-konvensi yang selama ini menjadi
penyangga peradaban dan persatuan bangsa, masih ada suara-suara dan
keyakinan-keyakinan bagi pentingnya menjaga nilai-nilai luhur kebudayaan
dengan keragaman maknanya.
Disebut menyedihkan
karena argumen-argumen canggih yang "pokoknya menolak" itu,
ironisnya, justru bagaikan senandung puritanisme dari menara gading yang
seolah-olah juga menolak perubahan. Penolakan tersebut justru terasa bagaikan
sebuah sikap pembiaran terhadap seluruh kerusakan adab dan budaya yang
tingkat kekerasan dan intoleransinya sedang menghancurkan sendi-sendi
kehidupan dan peradaban bangsa sekarang ini.
RUU tersebut memang
memiliki banyak kelemahan, terutama perangkap yang bisa menjerumuskan negara
menjadi rezim totaliter, seperti rezim Mao di Tiongkok dengan Revolusi
Kebudayaan-nya yang merusak dan berdarah. Namun, di sisi lain, melihat
urgensinya, sesungguhnya RUU yang seharusnya bernama "RUU Produk
Kebudayaan" itu sangat dibutuhkan kehadirannya sekarang ini!
Kementerian Kebudayaan
Jika RUU itu bisa
segera diundangkan dengan perbaikan di sana-sini, dan sesudah itu pemerintah
bersama DPR secara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya membuat
aturan pelaksanaannya, maka akan sangat banyak hal yang bisa diwujudkan dan
diselamatkan.
Selain mengandung
hal-hal negatif sebagaimana yang terungkap dalam banyak argumen yang
disiarkan koran ini, sesungguhnya banyak juga hal positif yang ditawarkan RUU
ini, yang sejatinya sejak lama menjadi impian para pemikir dan khususnya para
pelaku seni dan budaya di negeri ini.
Pertama, jika menjadi
UU, maka inilah produk hukum yang akan memerintahkan kepada negara, siapa pun
presidennya, untuk membentuk sebuah Kementerian Kebudayaan yang otonom,
mandiri, dan membebaskan "kebudayaan" dari statusnya selama ini yang hanya
menjadi "embel- embel" dari
Kementerian Pendidikan. Padahal, kebudayaan adalah ibunda yang menjadi rahim
bagi seluruh embrio kehidupan dan peradaban. Adalah kebudayaan yang
melahirkan pendidikan, hukum, pasar, tradisi, seni dan sebagainya. Bukan
sebaliknya!
Bukankah itu yang selama ini ditangisi dan
diidamkan oleh para seniman dan budayawan? Yakni, adanya sebuah Kementerian
Kebudayaan yang memiliki kewenangan
dan anggaran yang otonom.
Ia akan menjadi sebuah
lembaga tinggi negara yang akan dihuni oleh para empu dan pakar seni dan
budaya, yang kelak- bersama masyarakat-merumuskan sebuah politik dan strategi
kebudayaan bagi peningkatan kualitas hidup, adab, dan martabat bangsa.
(Semoga rezim pemerintah yang sekarang membahasnya tidak mengebiri peluang
lahirnya Kementerian Kebudayaan ini!)
Perisai bangsa
Kedua, inilah UU yang
akan memerintahkan kepada negara agar segenap pemerintahan dari tingkat pusat
hingga daerah melakukan inventarisasi, revitalisasi, menghidupkan kembali,
memfasilitasi, mendanai, dan memanfaatkan seluruh kekayaan tradisi, seni, dan
budaya warisan nenek moyang maupun yang modern. Semua itu demi dan untuk
kemakmuran dan kejayaan bangsa.
Dengan demikian,
seluruh akar jati diri bangsa yang beribu-ribu ragamnya akan menggeliat,
bertunas, dan bertumbuh kembali dari Sabang sampai Merauke: meneguhkan
kemandirian, menghaluskan akal-budi, mengeratkan kebinekaan, mengilaukan
"zamrud khatulistiwa", dan memberikan warna otentik di aras global.
Jika itu terjadi,
bukan hanya keadiluhungan budaya dan kegairahan ekonomi (industri
kreatif/turisme) yang akan marak bergerak serempak, melainkan juga perisai
bangsa akan tegak: menahan, menangkal, dan melawan budaya asing yang negatif
dan destruktif, baik yang datang dari Barat maupun dari Timur, seperti
Talibanisme dan Wahabianisme yang menjadi penghancur artefak seni budaya
peninggalan nenek moyang. Meski demikian, semangat untuk menghidupkan kembali
jiwa Islam Nusantara, pendidikan karakter bangsa, revolusi mental,
mendapatkan fondasi yang nyata, kokoh, dan membumi.
Untuk kesejahteraan
Dalam pada itu, nasib
para pelaku seni dan budaya akan mendapatkan perlindungan dan jaminan dari
negara bagi kinerja serta eksistensinya. Artinya, inilah UU yang mewajibkan
negara memberikan fasilitas dan modal serta pasar untuk membantu para pelaku
seni dan budaya agar mereka bisa terus bekerja, berproduksi, ekshibisi,
berpromosi, meningkatkan kemampuan
untuk bisa gagah berkompetisi di pasar bebas ASEAN dan dunia. Dengan begitu,
berkat hasil cipta-karyanya yang laku dan dimuliakan, mereka bisa mencapai
kesejahteraan, dan bisa menikmati kehidupan masa tua yang layak dan
terhormat.
Jadi, sekali lagi,
setelah direvisi seperlunya, RUU Produk Kebudayaan ini harus diselamatkan dan
diundangkan. Segera sesudah itu, aturan pelaksananya harus dibuat
selekas-lekasnya. Agar industri kreatif secara keseluruhan mendapatkan payung
dan perlindungan hukum yang kuat serta dorongan penciptaan yang bergairah.
Agar akhlak dan moral bangsa yang bobrok dan koruptif bisa segera dihaluskan
dengan suara gending dan puisi. Agar nafsu dan perilaku kekerasan yang sudah
merusak jiwa orang dewasa hingga kanak-kanak bisa dihentikan dengan
kebersamaan dan harmoni. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar