Badui
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 15
Februari 2016
Ada sebuah cerita tentang seorang Badui yang
hidup jauh dari Damaskus, jauh di pedalaman Suriah, yang kecewa ketika ia
naik kereta api buat pertama kalinya. "Aku tak puas," ia mengeluh
kepada temannya. "Karcisnya mahal, padahal perjalanan berakhir terlalu
cepat."
Ia mungkin terdengar bodoh, seperti umumnya
cerita orang kota yang mengolok-olok orang udik, tapi sebenarnya si Badui
mengingatkan orang-orang modern satu hal: mencapai sesuatu dengan
"cepat", yang bagi kebanyakan kita merupakan formula keberhasilan
di zaman ini, bisa tak sepadan dengan nilai pengalaman. Kecepatan memang bisa
menghasilkan, tapi pada saat yang sama menepis sesuatu yang lain.
Mengutamakan "cepat" hanyalah cara
memandang waktu secara tertentu: waktu sebagai terowongan. "Cepat"
berarti terowongan itu pendek. Menganggap itu hal terpenting berarti tak
menganggap ukuran yang lain perlu—bahkan tak melihat kemungkinan lain di luar
terowongan itu.
Si Badui, misalnya. Ia tak memandang waktu
sebagai sesuatu yang tertutup. Mungkin ia membayangkannya sama dengan gurun
pasir yang utuh yang nyaris tanpa tepi. Berhari-hari ia biasa mengarunginya.
Di atas untanya yang setia, ia menuju suatu titik, tapi ia praktis seperti
seseorang yang menjelajah. Ia mengikuti jadwalnya sendiri yang tak dituliskan
dengan tegas—dengan kemungkinan yang belum pasti.
Contoh lain orang yang berada dalam waktu yang
tak sebagai berada dalam terowongan adalah seorang penyair ketika menulis
sebuah sajak. Ia bukan seorang wartawan yang menulis dengan deadline. Ia bisa
mulai menulis kapan saja, dan di saat itu ia sama sekali tak tahu kapan ia
merasa pas dengan kalimat yang akan ditulisnya dan apa pula yang akan diungkapnya
sebagai kata akhir. Tak ada kepastian. Tapi prosesnya intens, dan
pengalamannya kaya. Ia seakan-akan berada di antara yang kekal dan tak kekal.
Seperti Amir Hamzah:
Lalu waktu bukan
giliranku
Mati hari — bukan
kawanku...
"Kadang-kadang bepergian sedikit lebih
baik ketimbang tiba." Sometimes
it's a little better to travel than to arrive.
Kalimat itu diucapkan sang narator dalam Zen
and the Art of Motorcycle Maintenance. Dan dengan itu, sang narator, mungkin
sang pengarang sendiri, Robert M. Pirsig, berangkat dari Minnesota ke
Carolina Utara di atas sepeda motornya. Ia berdua dengan anaknya, Chris, yang
baru berumur 12 tahun.
Dari sinilah Pirsig menulis. Tapi seperti
dikemukakannya, buku nonfiksi ini (yang kemudian laku terjual sebanyak lima
juta eksemplar) bukan tentang Buddhisme Zen dan bukan pula tentang perawatan
motor.
Pirsig sibuk dengan yang lain. Sepanjang
perjalanan 17 hari itu pikirannya penuh dengan dialog, kenangan, cerita
tentang Phaedrus, si filosof yang tak diakui yang sebenarnya dirinya sendiri
di masa lalu, yang ingin membahas satu nilai kehidupan yang disebut
"Quality".
Demikianlah ia berjalan. Tak penting agaknya
ke mana dan kapan ia akan tiba. Seperti sang Badui, ia memilih berada dalam
waktu sebagai ruang terbuka. Seperti halnya ia memilih sepeda motor, bukan
mobil.
Dalam mobil kita selalu dalam sebuah
kompartemen, dan karena kita sudah terbiasa dengan itu kita tak menyadari
bahwa melalui jendela mobil semua yang kita lihat hanya ibarat TV. Kita jadi
pengamat yang pasif dan semua bergerak di depanmu dengan membosankan di dalam
satu bingkai.
Di atas sepeda motor, bingkai itu lenyap. Kita
sepenuhnya dalam kontak dengan semua, tak cuma mengamati....
Dalam kontak dengan semua itu,
"cepat" tak merupakan soal yang penting. Yang penting liyan, orang
lain, dunia tempat kita ada: anak, sahabat, lanskap musim panas, itik-itik
liar, burung hitam, pegunungan, badai, mimpi.... Bahkan juga benda yang
selama ini hanya alat, seperti sepeda motor Pirsig itu, misalnya, yang ia
rawat dengan telaten dan mesra.
Ada sesuatu yang seperti si Badui di tengah
padang pasir yang membuat kita, juga Pirsig, bisa merasa betah dengan itu
semua.
Kita tak menaklukkan gunung dengan yang
disebut Pirsig sebagai ego-climbing. Orang yang membawa egonya akan sampai di
puncak namun tetap tak berbahagia. Ia merasa tak menemukan sesuatu yang
ajaib. Ia tak menemukan sesuatu yang ajaib karena keajaiban itu, yang berada
di sekitarnya sejak awal, dalam benda-benda sehari-hari, tubuh dan perasaan
hatinya sendiri, tak pernah ditengoknya, dan tak pernah mempesonanya. Ia
seperti rabun dalam terowongan waktu.
Kita lebih kagum kepada sang Badui, yang
melepaskan diri dari terowongan itu. Di padang pasir yang tak terukur ia
memungut segenggam pasir. Segenggam pasir itu—dan berjuta-juta isi dan
bentuknya yang beraneka tak tepermanai—baginya sebuah dunia. Antara kekal dan
tak kekal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar