Saudaraku
Jean Couteau ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 28
Februari 2016
Aku sudah berkali-kali
berpapasan dengan mangku (pinandita) dari pura desaku. Aku memang kerap
melihatnya melangkah pincang, dengan tubuh ringkih, udeng (destar) putih
melingkar di kepala, di jalan-jalan di seputar desa. Setiap berpapasan dengan
aku, senyuman halus selalu menyinari kerutan wajahnya.
Bagi dia, aku
"tamu" dari lembah desa "sana", penghuni rumah pinggir
sungai di dekat tugu si "duwe berambut panjang" yang konon
ditakut-takuti anak-anak sedesa. Jadi wajahku sudah menjadi bagian dari
dunianya-termasuk dunia pertanyaannya. Sedangkan bagiku, tampilan serba
putihnya serta perannya sebagai penyedia air suci menyiratkan kemungkinan
suatu iman yang berbeda. Berbeda, tetapi, harapanku, tetap "sama".
Aku tak dapat menutupi
keherananku ketika, pada suatu hari, aku tiba-tiba melihat Pak Mangku itu
tampil di ambang pintu rumahku, dipapah oleh dua pemuda desa. Mereka telah
membantunya turun, terpincang-pincang menuruni ke-50 tangga menuju rumah
lembahku yang rimbun itu.
"Pak Mangku ingin
berbicara dengan Bapak," kata mereka. Rada kikuk melihatnya di sini, aku
mengajak dia masuk, dan duduk. Lalu, suaranya berbaur gemerisik dedaunan
dialun angin, dia membuka hatinya. "Pak Kadek," ujarnya memanggil
dengan julukan Baliku, "Saya berharap Bapak bisa memenuhi harapan saya.
Lihatlah saya ini! Sudah reot. Saya sudah 'metirta yatra' di pura-pura
kedalaman hutan dan puncak bukit se-Bali, yang dewa dan bataranya semua saya
haturkan persembahan saya. Percuma! Bahkan saya sudah ke Banyuwangi, meminta
piwulang dari 'orang tua' bijak negeri itu. Saya mempelajari beberapa baca
ayat sucinya. Tetapi saya terus gagal, Pak Kadek. Hingga kini, saya belum
berhasil menunggalkan keempat saudara saya."
Dia terus menatapku.
Aku bingung, tidak paham. Dengan gugup aku mengajaknya menghirup tehnya.
Namun, dia terus mendesak: "Saya dengar bahwa Pak Kadek mempunyai banyak
buku lontar. Siapa tahu di antaranya terdapat rumus yang dapat membantu saya menyatukan
keempat saudara saya."
Itulah
"jeda" yang aku harapkan. Aku memohon diri dan menghilang ke tengah
ruang perpustakaanku. Dua menit kemudian aku keluar, setumpuk buku berhuruf
Bali di tangan. Dia membuka-bukanya sebentar, lalu menoleh sendu: "Saya
tahu semua itu, Pak Kadek. Bukan itu rumus yang saya nantikan." Lalu dia
melanjutkan: "Ketahuilah, Pak Kadek, ketika saya lelap tertidur, saya
kerap didatangi impian yang sama. Saya berada di pantai. Lalu datanglah
sebuah perahu layar putih penuh orang berpakaian putih pula yang mendekati
pantai di mana saya berdiri. Kapal itu merapat di darat, lalu-selalu
sama-orang-orang itu melambai-lambaikan tangan kepada diri saya. Tetapi, saya
bergeming. Setelah beberapa waktu, usai lambaian tangan terakhir, mereka kembali
menaiki kapalnya, dan saya, terpaku, memandang-mandang layar putih menjauh,
lalu menghilang-hilang di kejauhan lautan lepas. Saya tidak tahan lagi, Pak
Kadek. Saya kesepian. Tolong, bantulah saya menyatu dengan keempat saudara
saya."
Tiba-tiba, di benakku,
tebersit makna yang sebenarnya dari permohonan Pak Mangku itu. Yang
didambakannya tiada lain ialah maut itu sendiri. Yang melambai-lambainya, di
perahu layar putih yang konon selalu menjauh, ialah para leluhurnya, yang
selalu datang, dan selalu gagal pula menjemputnya. Sedangkan keempat
saudaranya-Catur Sanak di dalam bahasa Bali-adalah saudara kosmis, yang konon
telah terlahir bersamaan dengannya sebagai janin, puluhan tahun lalu, di
dalam rupa ari-arinya.
Makin gugup, saya
tidak berkata apa pun. Apakah yang dia harapkan dariku, sang "tamu dari
pinggir sungai", suatu rumus ke maut yang dinanti-nantikannya? Aku tidak
tahu. Maka aku dengan gugup menambahkan bahwa aku masih mempunyai banyak buku
lain. Kataku, bila aku menemukan "rumus" andal untuk menunggalkan
keempat saudaranya, aku pasti akan memberitahukannya. Aku janji.
Dia berdiri,
mengangguk-angguk, lalu memohon diri, dipapah kedua pemuda, siap menaiki
ke-50 anak tangga ke dunia asalnya. Aku langsung ke kamarku, lalu roboh di
tempat tidur, dikitari buku hampaku itu: "Siapa kalian, keempat
saudaraku, dan di mana kalian, di kosmos yang mana, agar aku pun dapat
menyatu dengan kalian, ketika bakal tiba 'saatku'. Lalu aku menangis
tersedu-sedu."
Kini, Pak Mangku
tiada, tetapi setiap kali aku berpapasan dengan seorang mangku yang tua, aku
berpikir tentang layar putih di lautan lepas, dan tentang Kau, Pak Mangku,
Saudaraku.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar