Oposisi dalam Demokrasi Kita
Kacung Marijan ;
Guru Besar FISIP Universitas
Airlangga
|
KOMPAS, 25
Februari 2016
Bergabung atau
bersamanya Partai Amanat Nasional dan Partai Golkar ke pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla memunculkan pertanyaan tentang masa depan kelembagaan
oposisi di Indonesia. Apakah oposisi itu sebenarnya relevan di dalam
demokrasi kita?
Adanya kelompok yang
beroposisi dalam suatu pemerintahan acap kali dijadikan sebagai rujukan untuk
menilai apakah suatu pemerintahan itu demokratis atau tidak. Pemerintahan
yang memungkinkan ada dan berperannya kelompok oposisi dipandang demokratis.
Sementara itu, pemerintahan yang tak membuka ruang bagi kelompok oposisi
dipandang tidak demokratis.
Kelembagaan oposisi
Meskipun demikian, bagaimana
posisi terlembagakan dan beroperasi bisa diperdebatkan. Sistem pemerintahan
dan sistem kepartaian yang dianut suatu negara, misalnya, ternyata
berpengaruh terhadap kelembagaan oposisi.
Bagi negara yang
menganut sistem pemerintahan parlementer, kelembagaan oposisi mudah
dilakukan. Di sini, dalam menjalankan perannya, oposisi terus berusaha
mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Ketika menemukan kesalahan yang
dibuat pemerintah, oposisi akan berusaha ”menggoreng”-nya dan pada akhirnya
menjatuhkannya di tengah jalan melalui mosi tidak percaya, misalnya.
Model kelembagaan
semacam itu tidak berlaku pada sistem pemerintahan presidensial. Di dalam
sistem ini, jangka waktu pemerintahan sangat jelas, misalnya ada yang empat
tahun, lima tahun, dan enam tahun. Konsekuensinya, kerja oposisi tidak bisa
berakhir di tengah perjalanan. Pihak oposisi hanya memiliki kesempatan untuk
mengganti pemerintahan dalam suatu pemilihan ketika masa jabatan presiden
sudah berakhir.
Sistem kepartaian yang
dianut juga berpengaruh. Sistem ”dwipartai” memungkinkan kelembagaan oposisi
lebih mudah dilakukan dan berjalan, baik di dalam sistem parlementer maupun
sistem presidensial. Sementara pada sistem ”banyak partai”, oposisi lebih
mudah beroperasi di dalam sistem parlementer dan tidak dalam sistem
presidensial.
Di Indonesia,
tantangan adanya oposisi itu menjadi lebih rumit karena di satu sisi
Indonesia menganut sistem ”banyak partai” dan sistem presidensial, di sisi
lain praktik berpolitik yang terjadi sangat cair, kalau tidak disebut sangat
pragmatis.
Selama pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono, PDI-P berusaha konsisten di luar pemerintahan.
PDI-P juga berusaha kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat
pemerintah. Namun, ketika itu PDI-P tidak bisa sekonyong-konyong disebut
berposisi oposisi. Dalam hal tertentu, ketika mengkritisi kebijakan-kebijakan
pemerintah, politisi PDI-P kalah garang dengan sejumlah politisi yang
partainya bergabung di pemerintahan, yaitu Golkar dan PKS.
Selain itu,
pelembagaan oposisi semacam itu tidak berbanding lurus dengan apa yang
terjadi di daerah. Pada masa pemerintahan SBY, misalnya, Partai Demokrat bisa
bergandengan dengan PDI-P di dalam membentuk suatu pemerintahan di daerah.
Dengan kata lain, jalinan antara ”kawan” dan ”lawan” sangat cair, bergantung
pada situasi dan kepentingan.
Upayamembangun
kelembagaan dan tradisi oposisi tampak kuat pada masa dan pasca Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden 2014. Terdapat dua pasang calon yang didukung dua
koalisi besar, yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung
Jokowi-Kalla dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengusung Prabowo-Hatta.
Ketika Jokowi-Kalla terpilih, KMP langsung mendeklarasikan diri ada di luar
pemerintahan alias beroposisi.
Upaya melembagakan
oposisi itu ternyata tidak bertahan lama. Jauh hari sebelum Partai Amanat
Nasional (PAN) dan Golkar menyatakan bergabung dan bersama pemerintahan
Jokowi-Kalla, upaya itu telah mengalami pelemahan.
Pelemahan itu terlihat
pada kegagalan di dalam membangun pola KIH-KMP dalam pemilihan kepala daerah
(pilkada) serentak 2015. Seperti terjadi sebelumnya, pembentukan koalisi
untuk pencalonan di dalam pilkada dilakukan melalui perhitungan-perhitungan
pragmatis. Konsekuensinya, pola koalisi berlangsung cair dan tidak mengacu
pada pola KIH-KMP yang ada di pemerintahan pusat.
Selain itu, fenomena
yang terjadi di dalam pemerintahan SBY juga terjadi pada pemerintahan
Jokowi-Kalla. Yang melakukan kritik tajam bukan hanya dari kelompok yang
mengambil peran oposisi, melainkan juga yang ada di dalam pemerintahan.
Sejumlah politisi PDI-P tidak kalah garang dibandingkan politisi KMP dalam
mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi-Kalla.
Kompetitif-kritis
Berangkat dari
realitas semacam itu, pelembagaan oposisi di dalam demokrasi kita sepertinya
tak mudah dilakukan. Selain tak didukung desain kelembagaan politik yang ada,
juga oleh praktik politik sehari-hari, bahkan termasuk budaya politik kita.
Baik sebelum maupun
sesudah reformasi tidak jarang terdapat pandangan bahwa oposisi itu bukanlah
bagian dari budaya politik kita. Di antara argumentasi yang dibangun adalah
bahwa demokrasi kita tidak lepas dari nilai-nilai yang telah lama mengakar di
dalam masyarakat, seperti nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan, serta
yang bermuara pada adanya kerja sama, dan bukan nilai-nilai yang
mengedepankan nilai-nilai individualisme yang bermuara pada persaingan.
Apakah dengan demikian
praktik demokrasi yang kita miliki lalu sulit diberi penilaian sebagai
”demokratis”? Kalau kita merujuk pada apa yang dikatakan Robert Dahl, dua
dimensi penting dari demokrasi adalah adanya public contestations dan
the right to participate. Yang pertama terkait adanya persaingan di dalam
memperebutkan jabatan-jabatan publik melalui pemilu yang demokratis.
Sementara yang kedua terkait dengan keterlibatan publik di dalam menentukan
pejabat publik yang akan dipilih, dan di dalam memengaruhi
kebijakan-kebijakan itu.
Dalam konteks semacam
itu, ada tidaknya kelembagaan oposisi bukanlah suatu keharusan di dalam
demokrasi. Di dalam demokrasi, kata Robert Dahl (1971), yang terpenting
adalah adanya ”the continuing
responsiveness of the government to the preferences of its citizens,
considered as political equals”. Pemerintahan yang dimaksud adalah
pemerintahan yang terpilih secara demokratis melalui kompetisi yang sehat.
Sementara itu, setiap warga negara dipandang secara sama dan memiliki hak di
dalam memengaruhi kebijakan-kebijakan publik.
Meski demikian,
kemunculan pemerintahan yang responsif itu tidaklah taken for granted, tidak semata-mata dapat dipasrahkan begitu
saja karena berasumsi bahwa pemerintah itu memiliki niat dan itikad yang baik
dan mulia untuk menyejahterakan rakyatnya.
Pemerintahan yang
responsif membutuhkan pengawalan-pengawalan, baik yang berfungsi untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan maupun yang berfungsi sebagai pengingat agar
pemerintahan itu terus berjalan baik. Adanya orang atau kelompok yang
terus-menerus menjadi pengingat, dengan demikian, sangat dibutuhkan di dalam
demokrasi.
Orang atau kelompok
itu bisa datang dari partai (-partai) yang kalah di dalam pemilu ataupun dari
internal pemerintahan sendiri. Di sini, yang penting adalah kekritisan itu
dimaksudkan agar pemerintahan yang terbangun dari hasil pemilu diarahkan
untuk mencapai kebaikan dan kesejahteraan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar