Senin, 22 Februari 2016

Judes

Judes

Samuel Mulia ;   Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 21 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahukah Anda siapa Ohood Al Roumi? Wanita cantik ini baru saja dilantik sebagai menteri urusan kebahagiaan untuk United Arab Emirates. Saya sungguh tertegun membacanya karena untuk pertama kali ada menteri untuk mengurus hal yang buat saya sungguh penting.

Keder

Penting, karena buat saya kesuksesan hidup itu dimulai dengan kebahagiaan lahir dan batin, bukan karena kepandaian otak manusianya. Pandai itu bisa melenceng ke mana-mana. Dari yang baik bisa jadi tidak baik. Kebahagiaan itu hanya menghasilkan satu hal, damai sejahtera buat dirinya dan orang lain.

Beberapa hari lalu, sebelum saya membaca berita di atas, di sebuah media sosial seseorang bertanya tentang sesuatu. Pertanyaannya dijawab oleh dua anak manusia dengan dua cara menjawab yang berbeda.

Yang satu dengan bijak langsung memberi tahu jawaban atas pertanyaan itu tanpa embel apa-apa, dan yang satu lagi menjawab begini, ”Ngapain lewat situ, langsung ajaklik ini.” Kemudian jawaban itu diakhiri dengan emoticon tertawa.

Saya tak tahu apakah saya ini kelewat sensitif atau terlalu negatif, tetapi membaca jawaban dan emoticon itu, saya merasa ia tak hanya membantu memberikan jawaban yang tepat, tetapi ia tak lupa menyisipkan sebuah penghinaan dalam taraf yang ringan. Seolah berbicara: ”Gitu aja nggak tahu.”

Nah, kalau benar perasaan saya bahwa orang kedua tadi menyisipkan sedikit unsur penghinaan, saya kemudian jadi bertanya: ”La wong orang mau bertanya,kok, malah dihina? La wong memang enggak tahu, kok, makanya bertanya. Ya, enggak?” Apakah mungkin peribahasa macam ”malu bertanya sesat di jalan” itu sejujurnya bukan karena malu, tetapi keder karena takut dihina dan ditertawai kalau bertanya?

Setelah pertanyaan itu, muncul lagi sebuah pertanyaan lain. ”Mengapa orang menghina saat orang lain membutuhkan sebuah jawaban yang tidak diketahuinya?” Apakah mereka merasa di atas angin karena mengetahui jawabannya? Atau memang dasarnya tukang menghina dan menghina adalah sebuah hobi yang menyenangkan?

Papan dart

Satu minggu yang lalu di sebuah rumah makan, saya dilayani oleh pelayan pria yang mukanya sungguh tidak bersahabat. Ia telah menunjukkan wajah tak menyenangkan itu dari sejak saya datang. Meski demikian, ia tetap melayani saya, semua pesanan dicatat dengan baik dan pesanannya pun datang sesuai pesanan.

Beberapa saat setelah itu, saya mau memesan sesuatu, tetapi ada perasaan takut untuk memanggilnya. Saya utarakan perasaan takut itu ke teman saya yang makan bersama. Ia pun mengomentari hal yang sama. Alhasil, saya memanggil pelayan lainnya yang kebetulan sikapnya sangat berbeda dan curhat mengenai ketakutan saya dan ketidakramahan rekan kerjanya itu.

Anehnya pelayan pria itu tertawa saat berbicara dengan rekan kerjanya, tetapi berubah tidak ramah ketika berhadapan dengan saya. Saya sungguh tak tahu mengapa yang berlaku seperti itu. Sampai saya berpikir apakah keberadaan saya itu sungguh mengganggunya?
Kejadian semacam di rumah makan itu sudah sering saya jumpai juga kalau sedang menghadap beberapa klien. Kalau tidak penerima tamunya, ya satpamnya, ya sekretarisnya, ya anak buahnya, yaa... kliennya sendiri.

Pertanyaan kemudian timbul di dalam hati. Mengapa orang melayani dengan tabiat yang seperti itu? Mengapa beberapa orang merasa terganggu dengan keberadaan orang lain? Apakah tabiat semacam itu membuat mereka merasa lebih superior dari orang lain?

Bukankah dengan tabiat seperti itu mereka sesungguhnya sedang memperlihatkan ketidakbahagiaannya sebagai manusia? Sedang mempertontonkan sebuah keadaan manusia yang jauh dari rasa damai?

Sebab, menurut IQ saya yang jongkok ini, orang itu kalau berbahagia dan memiliki damai sejahtera yaa... hasilnya tidaklah demikian. Buah yang busuk itu, menurut saya, tidak pernah dihasilkan dari pohon yang baik. Itu pendapat saya. Saya tidak tahu kalau pendapat orang yang judes dan menghina.

Justru hal yang ingin saya ketahui, di mana letak pentingnya seseorang menjadi judes, bermuka masam, ketus, dan menghina? Kalau dengan semua itu mereka menjadi lebih berwibawa dan lebih percaya diri, meski sampai harus membuat orang lain sengsara seperti papan tempat sasaran anak panah dalam permainan dart, tidakkah itu sungguh menyedihkan?

Saya ini ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengajak Anda untuk menjadi menteri untuk kebahagiaan di mana pun Anda berada. Bumi ini sudah semakin ”panas”, marilah kita mendinginkan dengan kebahagiaan manusianya dimulai dari diri kita sendiri.

Menurut saya, loh, ini adalah cara mendinginkan yang tokcer dan bagi mereka yang masih judes dan senangnya menghina sampai tulisan ini dicetak, ini juga sebuah cara jitu untuk menaikkan kepercayaan diri dan wibawa.

Saya hanya mau membagi pengalaman, janganlah pernah percaya bahwa judes, menghina, dan sarkastis itu akan membuat orang lain akan naik kelas dan belajar sesuatu. Ups…. Maaf salah. Mereka naik kelas dan belajar sesuatu. Itu so pasti. Tetapi, mereka naik kelas dalam kejudesan, penghinaan, dan bukan soal damai sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar