Menyembuhkan atau Mengintegrasikan
Orientasi Seksual?
Kristi Poerwandari ; Penulis Kolom “PSIKOLOGI’ Kompas Minggu
|
KOMPAS, 14
Februari 2016
Jika kita ingin
mendalami topik di atas, telah cukup banyak penelitian yang dilakukan dengan temuan
beragam tentang faktor yang berperan terhadap perbedaan identitas jender dan
orientasi seksual.
Sejak tahun 1973,
homoseksualitas dihilangkan dari Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan
Jiwa (DSM, dikeluarkan Asosiasi Psikiatri Amerika), yang diacu di banyak
negara. Untuk acuan Indonesia, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan (1993) juga tidak
menggolongkan homoseksualitas sebagai gangguan jiwa.
Bagaimanapun, hingga
kini persoalan orientasi seksual dan identitas jender—sekarang yang berlaku
akronim LGBTI (lesbian, gay, biseksual, transeksual, dan interseks)—kerap
dilihat banyak kelompok masyarakat sebagai suatu gangguan yang perlu
”disembuhkan”.
Orangtua merasa sangat
cemas dan khawatir anaknya ketularan. Yang jatuh cinta kepada teman sejenis
dianggap membuat malu keluarga dan mungkin dipaksa menjalani terapi dan
diminta menikah. Individu transjender atau transeksual (waria) dapat
mengalami banyak hambatan untuk memberdayakan diri karena ditolak keluarga,
diolok-olok lingkungan, dan bingung harus bekerja di mana yang dapat menerima
mereka dengan terbuka.
Dari luar, individu
mengalami banyak tantangan, dipersalahkan karena dianggap berperilaku tidak
sesuai dengan kaidah moral dan harus disembuhkan. Dari dalam, kondisi diri
yang berbeda membuatnya merasa bingung dan tidak nyaman. Perlakuan dari
lingkungan dapat membuat diri makin cemas, menginternalisasi stigma diri
negatif, dan menjadi depresif. Dalam kasus interseks, persoalannya menjadi
lebih kompleks karena jelas terkait juga dengan aspek biologi.
Terapi konversi
Karena terbatas ruang,
tulisan ini sementara hanya membahas ringkas terapi konversi atau intervensi
reparatif yang dimaksudkan untuk menyembuhkan individu dengan orientasi
seksual non-heteroseksual.
Spitzer (2003)
melakukan penelitian di Amerika Serikat melalui wawancara telepon mengenai
sejauh mana intervensi psikologis dapat mengubah minat dan perilaku seksual
individu menjadi heteroseksual. Partisipan harus memiliki kecondongan homoseksual
untuk jangka waktu lama sebelum intervensi, setidaknya menilai diri di titik
60 dari skala ketertarikan seksual (0 = eksklusif heteroseksual; 100 =
eksklusif homoseksual) serta memenuhi beberapa kriteria lain.
Dari 200 orang yang
memenuhi kriteria, 143 adalah laki-laki dan 57 perempuan. Jika dibandingkan,
ketertarikan seksual sebelum intervensi adalah condong/predominan homoseksual
dan setelahnya menjadi predominan heteroseksual. Dari berbagai ukuran
(misalnya perilaku seksual, fantasi seksual, kedekatan emosi, rasa terganggu
karena masih adanya ketertarikan homoseksual, kepuasan seksual, dan
lain-lain), perubahan menyeluruh menjadi heteroseksual dilaporkan oleh 11
persen laki-laki dan 37 persen perempuan.
Hadelman (2002)
merangkum berbagai penelitian mengenai terapi konversi yang menampilkan hasil
berbeda-beda. Ada partisipan yang tidak menunjukkan efek perubahan hingga
yang tertinggi, yang menunjukkan perubahan pada separuh dari 19 partisipan,
4,5 tahun setelah menjalani terapi. Partisipan yang umumnya dapat berubah
adalah yang sebelumnya mengidentifikasi diri sebagai biseksual.
Dengan penelitian yang
umumnya berbentuk laporan/pengakuan diri, Hadelman mengingatkan kemungkinan
adanya desirability bias. Maksudnya, dalam masyarakat yang memberikan stigma
negatif pada kelompok non-heteroseksual, orang mungkin takut untuk jujur
sehingga memilih menjawab sesuai tuntutan masyarakat.
Kompleks
Sesungguhnya
seksualitas manusia itu hal yang sangat kompleks. Identitas jender serta
penghayatan seksual itu sangat sulit dipisahkan dari identitas diri. Studi
mengenai seksualitas membedakan banyak dimensi, antara lain ketertarikan
seksual, perilaku seksual riil, fantasi seksual, kedekatan afeksi, perasaan
romantis, kelompok orientasi (maksudnya, dengan siapa individu lebih banyak
bergaul), hingga gaya hidup.
Perilaku seksual dan
gaya hidup mungkin dapat dikondisikan. Akan tetapi, orientasi seksual tidak
sama dengan perilaku seksual dan bukan berarti orientasi seksual dapat
ditularkan. Juga, gaya hidup hanya menjadi satu bagian kecil dari orientasi
seksual, bahkan kadang tidak berkaitan. Sayangnya, soal seksualitas dibahas
dengan penuh ketakutan. Dalam media sosial, orientasi seksual dikacaukan
dengan persoalan gaya hidup, ramai dikaitkan dengan kejahatan seksual,
perselingkuhan suami dengan ”pria lain”, dan kasus pembunuhan yang jadi topik
populer saat ini.
Pelekatan stigma
negatif justru dapat membuat orang ketakutan, bersikap tidak jujur, dan tidak
bertanggung jawab. Misalnya, menikah sekadar untuk menyelamatkan diri, tak
peduli harus menipu dan membuat pasangan hidup menderita. Atau lebih parah
lagi, mengalami masalah kejiwaan serius atau jatuh sebagai pelaku kejahatan
seksual.
Intervensi konversi
atau reparatif seyogianya dilakukan atas kehendak individu itu sendiri, bukan
dipaksakan oleh pihak lain. Pihak luar juga tidak boleh menghalangi jika
individu merasa perlu mengubah orientasi seksualnya, entah karena dihantui
rasa berdosa, tidak mampu menerima diri, atau sungguh ingin membangun
keluarga.
Horner (2010)
mendokumentasi beberapa efek negatif pada kelompok individu yang ikut terapi,
tetapi gagal mengalami perubahan. Individu dapat menjadi kacau, menunjukkan
gejala stres pasca trauma, dan mengalami krisis spiritual. Oleh karena itu,
jika akan dilakukan terapi, perlu menggunakan pendekatan yang tidak koersif,
normatif, atau menyalahkan.
Untuk yang telah
merasa nyaman dengan dirinya sendiri, memaksakan suatu ”penyembuhan”
tampaknya menjadi tindakan yang tidak manusiawi. Perlu pula dipahami, jika
individu memerlukan konseling, persoalannya belum tentu tentang konversi,
tetapi mengenai bagaimana mengelola tekanan hidup yang dialami akibat stigma
negatif dari masyarakat.
Biarlah individu yang
memilih dan mengambil tanggung jawab, akan melakukan konversi atau
mengintegrasikan seksualitasnya dalam jati dirinya yang utuh, dalam berbagai
keterbatasan diri ataupun lingkungan. Pada akhirnya, spiritualitas, perjalanan
menemukan kebenaran dan kebaikan, serta kerinduan kepada Tuhan itu milik
semua orang. Dan, Tuhan itu pertama-tama bukanlah sosok penghukum, melainkan
sosok maha mengetahui dan maha penyayang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar