MEA dan Tantangannya
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional UI
|
KOMPAS, 13
Februari 2016
Sejak 1 Januari 2016,
negara-negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura,
Thailand, Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam, telah memasuki era
baru dengan berlakunya ASEAN Economic
Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Bila ASEAN benar-benar
terintegrasi melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka ini akan
menjadikannya kekuatan baru dunia. Gabungan PDB ASEAN sebesar 2,4 triliun
dollar AS tahun 2013 menjadikan MEA ekonomi ketujuh terbesar di dunia. Dari
segi pasar pun sangat menjanjikan karena gabungan penduduk ASEAN berjumlah
lebih dari 600 juta. Ketiga setelah Tiongkok dan India.
Namun, gembar-gembor
MEA bisa saja tidak terjadi. Ada empat alasan untuk ini.
Pertama, meski
sejumlah negara ASEAN menyatakan bahwa mereka telah memenuhi berbagai langkah
dalam cetak biru 2007 hingga di atas 90 persen, kenyataannya antara dipenuhi
dan tidak terpenuhi tidak terasa.
Kedua, di era MEA
sejumlah negara ASEAN masih bersaing untuk mendatangkan investor dari luar
ASEAN.
Ketiga, dari kacamata pelaku
usaha di luar ASEAN mereka masih merasakan berbagai kebijakan yang berkaitan
dengan ekonomi masih di tingkat negara, bukan lembaga yang lebih tinggi dari
negara-negara ASEAN.
Terakhir, di
kebanyakan negara ASEAN, termasuk Indonesia, sering terdapat jurang antara
rencana dan kenyataan.
Pada akhirnya ada atau
tidak ada MEA, negara-negara ASEAN menjalankan pemerintahan secara business
as usual. Dalam pemahaman seperti ini, keberadaan MEA tidak akan menjadi
kekuatan baru dunia.
Dalam integrasi
ekonomi, kegiatan sejumlah negara yang berkaitan dengan pasar dan tempat
berproduksi menjadi tunggal. Menjadi tunggal karena adanya lembaga
supranasional di atas negara-negara yang menerbitkan berbagai kebijakan dari
waktu ke waktu. Setiap kebijakan di tingkat lembaga supranasional harus
dijalankan di tingkat negara.
Integrasi ekonomi
tidak mungkin terjadi bila tidak ada penyerahan kedaulatan secara parsial
atau penuh dari negara-negara yang terlibat.
Dalam konteks MEA,
meski kedaulatan ada di setiap negara, secara pasar dan tempat berproduksi
negara-negara ASEAN adalah "provinsi" yang harus menaati arahan
"pemerintah pusat".
Yang dimaksud
pemerintah pusat-sebagai lembaga supranasional Piagam ASEAN-adalah ASEAN
Summit, ASEAN Coordinating Council, ASEAN Community Councils, ASEAN Sectoral
Ministerial Bodies.
Tantangan
Ada sejumlah tantangan
yang menghadang Indonesia dengan berlakunya MEA.
Tantangan pertama
adalah apakah Indonesia dapat memberi warna dalam pembuatan kebijakan lembaga
supranasional?
Bila Indonesia tidak
mampu memberi warna, maka kepentingan nasional Indonesia akan menjadi korban.
Di sinilah dibutuhkan para pejabat untuk bersuara dan tegas bertindak.
Sayangnya, kebanyakan
birokrat Indonesia belum seperti yang diharapkan. Mereka sungkan menunjukkan
ketegasan, enggan masuk dalam perdebatan, tidak memiliki kemampuan bahasa
Inggris yang memadai, tidak memiliki data yang valid tentang industri di
Indonesia, bahkan kurang memahami apa yang menjadi kepentingan nasional.
Akibatnya, negara
dengan pasar kecil, tetapi berkekuatan ekonomi besar, yang akan mendominasi
perumusan kebijakan.
Menjadi pertanyaan
apakah Indonesia bersedia bila pasarnya yang besar dan tempat untuk
berproduksinya di-"atur" oleh negara yang lebih kecil?
Tantangan kedua
terkait dengan barang dan jasa yang masuk ke suatu negara wajib diterima oleh
negara lain yang menjadi anggota dari integrasi ekonomi.
Dalam MEA bisa jadi
pelaku usaha mancanegara memasukkan barang atau jasa, bahkan membuat pabrik
di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, tetapi tujuan pasarnya
Indonesia. Bisa jadi karena aturan dan iklim investasi di negara-negara itu
dianggap lebih kondusif daripada Indonesia.
Ini yang berlangsung
di era ASEAN Kawasan Perdagangan Bebas: pelaku usaha mancanegara memanfaatkan
Common Effective Preferential Tariff (CEPT).
CEPT adalah skema di
mana barang yang dibuat di negara ASEAN bila masuk ke negara ASEAN lain
diberlakukan tarif istimewa dibandingkan negara- negara di luar ASEAN.
Pengenaan tarif istimewa ini pada kisaran 0-5 persen. Tujuannya baik, agar
terjadi perdagangan antarpelaku asal negara ASEAN (intra-ASEAN trade). CEPT
telah dimanfaatkan oleh pelaku usaha mancanegara karena lebih menguntungkan
daripada harus membangun pabrik di Indonesia.
Bagi mereka pengenaan
tarif paling tinggi 5 persen jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan biaya
yang harus ditanggung dalam menghadapi pungutan liar, kelambanan birokrasi,
seringnya buruh berdemonstrasi, dan ketidakpastian hukum yang kerap
diasosiasikan dengan Indonesia. Akibatnya, pasar Indonesia besar, tetapi
tidak berkorelasi dengan pembukaan lapangan kerja.
Saat ini sudah banyak
perusahaan besar mancanegara yang merealokasikan pabriknya ke negara-negara
ASEAN di luar Indonesia meski barang yang dihasilkan dijual ke Indonesia.
Tantangan ketiga,
integrasi ekonomi mensyaratkan adanya kesetaraan. Kesetaraan ini yang membuat
antarnegara anggota dalam integrasi ekonomi memiliki standar tertentu atas
kualitas barang, jasa, dan pencari kerja.
Kualitas barang dan
jasa bisa sama bila ada standardisasi. Demikian pula dengan para tenaga kerja
lewat sertifikasi. Maka, Indonesia tidak boleh menolak pencari kerja dari
ASEAN, bahkan di luar ASEAN sepanjang mereka telah bersertifikasi.
Tentu ini bukan
merupakan ancaman bagi tenaga kerja Indonesia bila kualitas mereka sama
dengan kualitas tenaga kerja dari negara-negara ASEAN bahkan dari luar ASEAN.
Sayangnya, angkatan
kerja Indonesia yang berjumlah 114 juta orang belum dipersiapkan untuk
menghadapi persaingan, baik di Indonesia maupun mancanegara. Menurut Menteri
Ketenagakerjaan, 67 persen dari angkatan kerja Indonesia masih berpendidikan
SD atau SMP.
Tantangan keempat,
dalam integrasi ekonomi, pemerintah dari negara-negara anggota tidak boleh
memiliki keberpihakan kepada pelaku usahanya sendiri.
Padahal, di Indonesia
masih banyak pelaku usaha yang masih harus mendapat keberpihakan dari
pemerintah karena mereka masih banyak kelemahannya.
Hal paling krusial
adalah kecukupan modal untuk ekspansi dan biaya promosi yang sangat minim.
Padahal, dalam persaingan perdagangan internasional dewasa ini modal dan
promosi merupakan komponen penting.
Tindak lanjut
Tantangan kelima
adalah bagaimana menindaklanjuti apa yang telah diputuskan di tingkat
supranasional ke tingkat nasional. Di Indonesia hal ini merupakan tantangan
tersendiri. Tantangan karena di Indonesia belum tentu pemerintah daerah patuh
dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat.
Tantangan terakhir
adalah ketika ada komponen masyarakat di Indonesia yang mengajukan uji materi
atas peraturan perundang-undangan yang merupakan tindak lanjut dari kebijakan
di tingkat supranasional ASEAN.
Bila keberatan
dikabulkan oleh lembaga peradilan, apakah ini berarti Indonesia tidak dapat
menjalankan kebijakan tingkat supranasional ASEAN?
Dalam hukum
internasional, putusan pengadilan nasional yang menyatakan ketidaksahan suatu
perjanjian internasional pada prinsipnya tidak bisa dijadikan alasan untuk
menghindar dari kewajiban yang termaktub dalam perjanjian internasional yang
telah diikuti.
Situasi ini yang akan
memposisikan pemerintah dalam keadaan yang dilematis.
Oleh karena itu,
jawaban pemerintah dalam menghadapi tantangan di atas tentu tidak bisa semata
bertumpu pada aturan- aturan dalam hukum perdagangan internasional.
Pemerintah, pelaku
usaha, dan masyarakat mau tidak mau harus mengubah cara berpikir dan menjadi
lebih cerdas di era MEA.
Tanpa mengubah cara
berpikir dan lebih cerdas, sudah dapat dipastikan Indonesia bukannya mendapat
keuntungan dari MEA, tetapi justru akan mendapat kerugian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar