Bentuk Negara, Bangun Jiwa
Daoed Joesoef ; Alumnus Universitas Pludiscploinaires
Pantheon-Sorbanne
|
KOMPAS, 16
Februari 2016
Pada awal 2016, kita,
Indonesia, disuguhi dua peristiwa yang sekaligus mengejutkan, mengerikan, dan
menjengkelkan. Peristiwa tersebut berupa aksi teror yang dilakukan oleh
kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah dan aksi rukun yang
digerakkan simpatisan Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara).
Dari wajah dan postur
para pencetus peristiwa, kelihatan sekali bahwa mereka adalah orang-orang
Indonesia.
Ketika jalannya
peradaban menyimpang di luar dugaan, kata A Hayek (1945), ketika alih-alih
progres berkelanjutan yang diharapkan tampil pengadang berwajah barbar. Kita
marahi semua, kita kecam siapa saja, kecuali diri sendiri. Padahal, kalau
jauh sebelumnya kita cukup atentif pada masalah sosio-ekonomiko-politik,
sebenarnya kedua peristiwa yang memang pantas dikecam itu sudah memberikan
aneka sinyal agar kita eling lan waspada. Lalu siapakah "kita" yang
lalai dan serba santai selama ini?
Kita adalah "polity". Kedua peristiwa
naas tadi merupakan masalah yang menugaskan kita untuk memecahkannya secara
nasional. Maka, tugas mahapenting yang menantang kita, Negara-Bangsa
Indonesia, merupakan bagian dari tugas filosofi politik, mengenai polity yang menarasikan jauh lebih
luas daripada sekadar lembaga-lembaga pemerintahan. Ia mencakup semua
lembaga, disposisi, kebiasaan, etika, ide, dan lain-lain norma yang menjadi
pegangan pemerintah, etika, ide, dan lain-lain norma yang menjadi pegangan
pemerintah, dan karena itu perlu ia usahakan agar punya pengaruh
pembinaan/pembentukan.
Negara-Bangsa beda
dengan klaster apartemen atau hotel yang adalah lokalitas fisik, permukiman
yang berpenghuni, berpenduduk. Negara-Bangsa bukan merupakan lokalitas fisik,
permukiman yang berpenghuni, berpenduduk, Negara-Bangsa bukan merupakan
lokalitas fisik. Demi eksistensinya, ia (seharusnya) punya warga negara (citizens), bukan sekadar penduduk,
yaitu orang-orang yang tidak hanya melibatkan diri secara kondisional, tetapi
lebih-lebih berkomitmen. Maka, pemerintah dari Negara-Bangsa yang demokratis
perlu menjadi sekaligus pelayan (servant) dan pembimbing (tutor) sebab kewarganegaraan (citizenship) adalah suatu alam pikiran
(mindset).
Selama ini, Pemerintah
NKRI mengabaikan kedua tugas pokok yang diniscayakan itu. Tugas itu,
sebaliknya, dipenuhi pihak lain begitu rupa hingga ada rakyat Indonesia yang
membelakangkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pancasila) dan berakibat pada
tafsiran Islam yang justru melakukan apa yang dilarang Allah seperti, antara
lain, bunuh diri dengan bom. Ada pula rakyat Indonesia yang akhirnya mencari
sendiri lahan bercocok tanam, menetapkan sendiri fajar ranah harapan di
wilayah penduduk lain berhubung pemerintah melupakan begitu saja usaha
transmigrasi yang sudah dimulai sejak zaman kolonial, membentuk
"pemerintahannya" sendiri di situ dan mengembangkan ajaran
keislamannya sendiri.
Kesejahteraan adalah
milik rakyat, kata Cicero (106-43 BC). Rakyat bukanlah orang-orang yang
bergerombol begitu saja asal-asalan, tetapi sekumpulan makhluk human yang
berasosiasi berdasar persepakatan tentang keadilan dan kemitraan demi
kebaikan bersama. Sebab, pertama dari asosiasi seperti itu bukanlah kelemahan
individual, tetapi sejenis spirit sosial yang ditanamkan oleh alam dalam diri
sendiri manusia. Apakah memang dapat dibenarkan pengabdian formal terhadap
hak-hak komunitas adat? Apakah memang dianggap wajar bila penduduk di sekitar
satu lokasi tambang atau pembabatan hutan dibiarkan menjadi penonton saja?
Apakah memang dirasa lumrah kalau pemerintah membiarkan saja tanah yang
merupakan obyek strategis menjadi komoditas liberal? (Kompas, 29/1) Apakah
memang pantas bila rakyat sulit mendapatkan lahan untuk sumber penghidupan
dasar, sedangkan korporasi jauh lebih mudah dan lebih luas memperolehnya
dengan difasilitasi pemerintah?
Jangan heran dan
terkejut bila sejumlah penduduk lalu berasosiasi mencari sendiri ranah yang
dijanjikan oleh kemerdekaan nasional, membentuk "indonesianya
sendiri" di wilayah NKRI. Maka, walaupun sudah terlambat, Pemerintah
NKRI perlu memenuhi tugas pelayanan dan pembimbingnya. Eksistensi
Negara-Bangsa menjadi taruhan karena menyangkut keberadaan warga negara (alam
pikiran).
Membangun jiwa
Jiwa menarasikan
keseluruhan kehidupan batin manusia (inner
life of men). Kehidupan ini ternyata tidak mendapat perhatian pemerintah
sebanyak dan secukup seperti yang dicurahkannya pada pembangunan dunia fisik.
Selama lebih dari setengah abad pembangunan fisik ini, rakyat Indonesia
terutama dikerahkan ke arah produktivitas. Namun, kesibukan nasional dalam
pembangunan fisik (baca ekonomi) berarti pengabdian dunia jiwa. Dengan
pemenuhan pembangunan jiwa yang jauh dari memadai, kita berisiko kehilangan
yang terpenting dari semua revolusi, yaitu revolusi dalam sentimen, spirit,
sikap, dan opini moral.
Ada yang berpendapat
semua unsur yang hilang itu bukan berupa urusan pemerintah. Semua itu adalah
urusan pribadi, bukan legitimate concern dari lembaga-lembaga publik. Dengan
kata lain, pemerintah tak seharusnya, tak dapat melegislasi moralitas. Namun,
nyatanya pemerintah ada kalanya melakukan hal itu. Legislasi moralitas ini
mencakup penegakan hukum dan penerapan kebijakan yang menetapkan, memberi
wewenang, mengatur atau mendukung perilaku yang diperkirakan bakal
memengaruhi atau mengubah kebiasaan, disposisi, dan nilai-nilai yang
diadatkan secara luas. Maka, pemerintah seharusnya lebih sering berbuat
begitu dan secara lebih terbuka mengingat signifikasi dampaknya.
Pemerintah tak dapat
mengelak melakukan apa yang mustahil dielakkannya. Tindakan pemerintah akan
lebih baik bila ia membenarkan saja apa yang dilakukannya selama bertujuan
keadilan dan kemitraan yang mungkin akan terwujud jika ia menyadari dan paham
bahwa membentuk Negara-Bangsa adalah membangun jiwa. George F Will, Guru
Besar Filosofi Politik Amerika, menulis buku Stratecraft As Soulcraft (1983) yang isinya khusus ditujukan
kepada politikus dan negarawan bangsanya. Jauh sebelum ini, lagu perjuangan
kemerdekaan kita (1928) yang kemudian dinobatkan menjadi lagu kebangsaan
Indonesia Merdeka (1945) sudah mengingatkan keniscayaan membangun jiwa itu.
Setelah memersonifikasi Tanah-Air sebagai Ibu dan kita bertugas memandunya,
lagu kebangsaan kita menarasikan "hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku
semuanya", ia menyatakan "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
untuk Indonesia Raya".
Jadi kita harus
membangun jiwa Indonesia lebih dahulu, baru kemudian badannya. Dengan
membangun jiwa Negara-Bangsa secara serius dan sistematis berarti pemerintah
mengakui fungsi-fungsi mulia dari pemerintahan nasional. Berarti ia berani
melawan doktrin liberal yang menyatakan bahwa bila mengenai "kehidupan
batin", yaitu satu dimensi penting dari kehidupan, pemerintah seharusnya
bersikap netral, semakin lama semakin mengurangi campur tangannya, bahkan
jauh berkurang daripada yang telah digariskan UUD 45 Pasal 33 Ayat 3:
"Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Pembangunan nasional
Dahulu orang mengira
bahwa untuk merasa tergolong pada suatu polity
rakyat cukup puas dengan turut menikmati perlindungan dan kemakmurannya. Maka
itu, pembangunan sebagai usaha mengisi kemerdekaannya diwujudkan berupa
pembangunan ekonomi bersendikan ajaran ekonomika yang sarat dengan ide
self-interestedness dan dan laissezfaire
individualism. Dengan kata lain, the
art of politics is a mere excecise in economics by homo economicus. Di
zaman "modern" sekarang, ide "ketergolongan" meliputi
dimensi tambahan dari partisipasi dalam pemerintahan, yaitu intinya adalah
turut mengambil keputusan.
Maka, ide pemerintah
sebagai pembimbing, tidak hanya sekadar pelayan, menjadi krusial, labih-lebih
di saat demokrasi tidak lagi bisa dibuat langsung. Suatu polity yang paham
bahwa membentuk negara adalah membangun jiwa bukanlah suatu polity dengan
sebuah cabang khas di birokrasinya, tidak pula memiliki jaringan
institusional khas, tetapi punya suatu kerangka berpikir khas.
Kerja kolektif maha
besar Negara-Bangsa Indonesia masih tetap pembangunan, tetapi bukan lagi
pembangunan ekonomi, melainkan pembangunan nasional. Pembangunan ekonomi yang
mengandalkan homo economicus tetap perlu tapi sebagai bagian dari pembangunan
nasional, pembangunan dari dan oleh warga negara yang bermartabat.
Pembangunan ini bukan dalam term pendapatan (GNP, GDP, average income) tapi dalam term "ruang sosial" yang
keberhasilannya diukur oleh sekaligus "memiliki lebih banyak" (to have more) dan lebih
diwongke/dihargai/bermartabat (to be
more). Ruang sosial ini bukan substansi abstrak, tetapi ruang hidup
manusia yang konkret, diciptakan dalam konteks (pembangunan) suatu komunitas
tertentu.
Rakyat merasa lebih
bermartabat, kalaupun bukan diakui sebagai "pemilik republik"
karena dalam sistem dan natur pembangunan dalam term ruang sosial ini dia
sendiri diminta turut membicarakan setiap proyek pembangunan (pusat atau
daerah) yang berlokasi di wilayah permukimannya. Dia sendiri harus hadir, tak
boleh mewakilkan atau diwakilkan, terlepas dari pertimbangan pendidikan,
profesi dan kedudukan sosial, turut bermusyawarah, turut bermufakat
memutuskan. Jika kita pikir penduduk lokal bersangkutan tak cukup
tercerahkan, obatnya bukanlah membatalkan hak berpartisipasi itu, tetapi
mencerdaskannya melalui bimbingan. Semua bimbingan pada dasarnya pendidikan
moral karena pembelajaran membimbing, memandu, serta mengondisikan pikiran
dan perbuatan rakyat dalam suasana penting dan luas dari kehidupan.
Tradisi merupakan
energi yang mengusung suatu sistem moral. Tradisi musyawarah/mufakat
(Pancasila) dipreservasi tidak melalui hafalan atau seremoni formal Menko
Pembangunan Manusia, melainkan dengan metode tertentu transmisi. Maka, ia
adalah suatu keterampilan, sebentuk penguasaan. Kita selaku Negara-Bangsa
berpeluang abadi bila masuk membentuk warga terbaik dan yang terbaik dalam
diri warga negara melalui kultivasi terbaik dunia fisik di bawah dan di
sekitar kita dan dunia intelektual serta moral dalam diri kita.
Sistem dan natur
pembangunan nasional dalam term ruang sosial meniscayakan pembinaan alam
pikiran warga negara dengan jalan partisipasi dalam jalannya pemerintahan,
bukan melalui indoktrinasi. Ia memungkinkan pula pelaksanaan "demokrasi
kontinu" di level akar rumput di tengah-tengah penerapan demokrasi-tak-langsung
di level nasional. Berhubung pembangunan ini sudah berkali-kali saya paparkan
dalam konteks yang berbeda di harian ini dan dalam buku Studi Strategi (Penerbit Kompas 2014), saya pikir tak
perlu lagi diuraikan terperinci. Bila diterapkan secara konsekuen, ia kiranya
sejalan dengan revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.
Tradisi politik kita
tak berawal di Athena, apalagi di Konferensi Meja Bundar Den Haag, tetapi ia
ruang Sumpah Pemuda (1928), tempat lantunan himne "Indonesia Raya" ditentukan sebagai agenda rapat.
Renungan mengenai tradisi itu mengingatkan kita bahwa membentuk Negara-Bangsa
adalah membangun jiwa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar