Islam Melampaui Politik?
Ahmad Fuad Fanani ; Peneliti MAARIF Institute for Culture and
Humanity;
BPRI LPDP Awardee di the
University of Toronto, Kanada
|
KORAN SINDO, 13
Februari 2016
Jika kita memfokuskan
relasi Islam dan negara di Indonesia hanya dalam bidang politik, tampaknya
yang terdengar lebih banyak adalah cerita-cerita kekalahan umat Islam. Hal
itu tampak terlihat mulai dari era sebelum kemerdekaan hingga hari ini.
Meskipun kemerdekaan
bangsa ini diperoleh lewat kerja sama para anak bangsa yang berasal dari
berbagai agama, suku, dan daerah, posisi umat Islam sangat penting. Islam
menjadi kekuatan penentu baik secara jumlah maupun peran. Namun, umat Islam
banyak dikecewakan ketika mereka berkeinginan untuk memasukkan Piagam Jakarta,
mereka mengalami kegagalan di awal mula kelahiran bangsa ini.
Piagam Jakarta tidak
jadi dimasukkan dalam Pembukaan UUD 1945 karena dianggap bisa mengancam
persatuan bangsa ini. Juga disebabkan ada sebagian anak bangsa di Indonesia
bagian timur yang mengancam akan mendirikan negara sendiri jika umat Islam
memaksakan piagam itu. Akhirnya, umat Islam diberi hadiah dengan ada
Kementerian Agama yang dijadikan sarana untuk mengurusi persoalan agama di
Indonesia, khususnya agama Islam.
Cerita kekalahan itu
berlanjut pada Sidang Konstituante pada 1950-an ketika terjadi perdebatan
keras di parlemen untuk menentukan dasar negara Indonesia. Debat itu
dilakukan antara golongan Islam dan nasionalis. Perdebatan itu sebetulnya
berjalan secara dinamis dan sudah hampir mencapai titik temu.
Namun, karena Soekarno
tidak sabar dan dia punya keinginan yang besar untuk menjadi kepala negara
yang tidak hanya simbolis, akhirnya dia membubarkan Konstituante dan
meniadakan semua hasil perdebatan itu melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Langkah politik yang
dilakukan Soekarno selanjutnya adalah menjalankan Demokrasi Terpimpin yang
kebijakannya di antaranya membubarkan Partai Masyumi dan PSI. Pembubaran
Partai Masyumi sebagai representasi aspirasi politik umat Islam ini sangat
menimbulkan rasa kecewa dan kekalahan pada diri umat Islam.
Kekalahan Politik
Jatuhnya Soekarno pada
akhir 1960-an dan naiknya Soeharto memberikan harapan baru pada umat Islam
untuk bisa terjun kembali ke dunia politik. Namun, Soeharto tampaknya melihat
umat Islam dapat menjadi ancaman dalam politik jika diberi ruang lebih besar.
Maka itu, rehabilitasi Masyumi ditolak oleh Soeharto dan semua partai-partai
Islam termasuk Parmusi (wajah baru Masyumi) diminta untuk berfusi menjadi
satu partai, melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Tentu saja ini
memberikan kekecewaan yang sangat berarti pada umat Islam dalam bidang
politik. Kekalahan dan kekecewaan yang beruntun dalam bidang politik itu
menyebabkan munculnya gerakan perlawanan dari kalangan umat Islam. Sebagian
dari mereka menganggap bahwa rezim Soeharto tidak memberikan ruang bagi umat
Islam untuk bergerak, baik dalam bidang politik maupun ekonomi.
Kekecewaan ini dalam
beberapa hal menumbuhkan gerakan Islam radikal yang mulai muncul pada era
Soeharto seperti Komando Jihad, Gerakan Warsidi, NII, Jamaah Islam (JI), dan
sebagainya. Di sisi lain, untuk menebus kekecewaan dalam bidang politik ini,
sebagian umat Islam lebih memilih untuk menekuni bidang dakwah, pendidikan,
dan sosial- budaya.
Gerakan yang kedua ini
mendorong berbagai hal yang mengarah pada pelaksanaan substansi Islam melalui
berbagai bidang di luar politik misalnya dalam perjuangan UU Perkawinan, UU
Peradilan Agama, pendirian IAIN/perguruan tinggi Islam, pendirian bank-bank
Islam, bisnis Islam, dan sebagainya. Pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) pada masa akhir era Soeharto juga merupakan bagian dari
gerakan substansialisasi Islam ini (Bahtiar
Effendy, Islam and the State in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2001).
Jatuhnya Soeharto pada
1998 memunculkan harapan baru bagi umat Islam untuk kembali terjun ke dunia
politik secara total. Berdirinya banyak partai-partai Islam dan berdirinya
organisasi-organisasi Islam model baru menunjukkan keinginan itu. Usaha ini
memberikan hasil yang signifikan.
Meskipun perolehan
suara partai Islam kalah jauh dibandingkan suara PDI Perjuangan dan Golkar,
mereka berhasil membentuk Poros Tengah dan sukses menaikkan Abdurrahman Wahid
sebagai presiden RI, Amien Rais sebagai ketua MPR RI, dan Akbar Tanjung
sebagai ketua DPR RI. Keberhasilan ini sering disebut sebagai kemenangan
politik umat Islam dan lahirnya era santri yang berkuasa di negeri ini.
Namun, kemesraan
politik ini hanya berlangsung sebentar. Setelah itu terjadi perpecahan di
kalangan partai Islam dan umat Islam yang berujung pada diturunkannya
Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan pada 2001. Pada saat yang hampir
bersamaan, keinginan sebagian partai Islam seperti Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) untukmemasukkan Piagam Jakarta
dalam amendemen UUD 1945 juga mengalami kegagalan.
Dari rangkaian
perjalanan politik di atas, tampaknya perjalanan politik umat Islam di negeri
ini banyak mengalami kekecewaan dan kekalahan. Hingga hari ini para pemimpin
negeri banyak didominasi oleh kalangan luar Islam. Perolehan suara- suara
partai Islam pun terus mengalami kemerosotan dan kemunduran.
Ketika pada Pemilu
Legislatif 2014 kemarin partai-partai Islam mendapat kenaikan suara, upaya
untuk mempersatukan mereka pun mengalami penolakan dan kegagalan. Dan,
seperti yang diprediksi sebelumnya, partai Islam tidak ada yang mengajukan
calon sendiri pada pilpres.
Islam Indonesia Kontemporer
Ketika kita
membicarakan tentang Islam Indonesia, hendaknya kita melihat Islam secara
lebih adil. Islam tidak hanya tentang politik. Islam mencakup dan mewarnai
banyak kehidupan di negeri ini. Jika pada era Soeharto sebagian umat Islam
bergerak di luar politik, pada era Reformasi pergerakan umat Islam itu
semakin berjalan secara dinamis dan progresif.
Kita melihat semarak
orang berislam di Indonesia semakin berjalan maju dan umat Islam tidak lagi
berada dalam posisi pinggiran dan perdesaan. Kaum santri dan umat Islam yang
dulu diidentikkan dengan kaum sarungan dan umat pinggiran sekarang ini banyak
penganut Islam yang taat (pious Muslims) yang berasal dari kalangan kelas
menengah dan kelas atas. Banyak kalangan profesional yang mengkaji Islam dan
dengan bangga menggunakan atribut Islam.
Islam pun banyak
mewarnai dan memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan di negeri ini (Greg Fealy dan Sally White (editors),
Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia , Singapore: ISEAS
& RSPAS ANU, 2008). Hari ini kita melihat perkembangan semarak Islam
dalam berbagai kehidupan di negeri ini seperti munculnya ekonomi Islam
melalui bank-bank Islam, pelaku-pelaku bisnis muslim seperti (Soetrisno
Bachir, Choirul Tanjung, Aburizal Bakrie, dan sebagainya), pelaku dunia usaha
muslim, dan industri kreatif muslim.
Dalam bidang
pendidikan, kita juga melihat munculnya banyak sekolah-sekolah unggulan
muslim seperti Insan Cendekia, Al-Azhar, Al- Izhar, Madania, Lazuardi,
berkembangnya UIN/IAIN/STAIN di berbagai daerah, dan sebagainya. Pada bidang
dakwah, kita juga menyaksikan semaraknya tayangan-tayangan kajian keagamaan
yang merambah berbagai media pop, baik di televisi, radio, cetak, juga media
sosial.
Para dai-dai sekarang
tak ubahnya seperti selebritas yang digandrungi banyak orang dan diliput oleh
media ke mana pun ia pergi. Fenomena ekspresi Islam kontemporer yang
berkembang pesat itu juga tampak pada bidang kesenian, media massa, fashion,
film, kedokteran Islam, ziarah ke wali atau tempat ulama, haji dan umrah,
buku-buku dan novel islami, kaligrafi Islam, filantropi Islam, ormas-ormas
Islam, dan sebagainya.
Model-model islamisasi
ini tampaknya terus berkembang dan menumbuhkan minat yang besar di kalangan
masyarakat (M.C. Ricklefs, Islamisation and Its Opponents in Java, Singapore:
NUS Press, 2012). Perkembangan Islam selama 14 tahun terakhir pasca- Soeharto
ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam yang berkembang dan mendominasi
Indonesia bukan hanya Islam radikal, terorisme, dan Islam politik.
Namun, perkembangan
Islam di wilayah lain juga tumbuh pesat dan menawarkan banyak pilihan pada
masyarakat. Varian Islam yang berkembang itu ternyata diminati banyak
masyarakat dan tidak menimbulkan ancaman. Justru mendatangkan keuntungan baik
secara sosial, ekonomi, maupun budaya.
Dengan ragam ekspresi
Islam yang luas dan variatif itu, juga bisa menjadikan Indonesia sebagai
negara berpenduduk mayoritas Islam yang mampu mempraktikkan demokrasi dengan
damai dalam kehidupannya sehari-hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar