Wanita Cantik Bernama Umberto Eco
Bre Redana ;
Penulis Kolom “CATATAN MINGGU” Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 28
Februari 2016
Dengan meninggalnya
Umberto Eco (1932-2016), yang saya bayangkan adalah nasib era perbukuan.
Selain filosof, ahli semiotik, novelis, siapa lagikah pencinta sekaligus
kolektor buku sekaliber almarhum? Mudah-mudahan, bagi yang menempatkan
"buku sebagai agama", seperti diungkapkan Jean-Philippe de Tonnac
dalam percakapannya dengan Jean-Claude Carriere dan Umberto Eco: This is Not the End of the Book.
Pada buku yang terbit
pertama tahun 2009 itu, De Tonnac melakukan wawancara luas dan mendalam
dengan subyek khusus buku terhadap keduanya, yang merupakan kolektor
buku-buku langka dan dianggap punya pengalaman khusus terhadap buku. Melalui
keduanya hendak diungkap kodrat buku sejak ditemukannya manuskrip pertama
pada sekitar abad ke-11 SM atau jauh sebelumnya lagi, sejak ditemukannya
gulungan papirus.
Khusus menyangkut Eco,
ia adalah kolektor buku amat langka, terutama buku-buku yang berhubungan
dengan kekeliruan manusia, kesalahan, kepalsuan, keanehan, serta ilmu-ilmu
supranatural. Melalui kekeliruan dan kedunguan manusia itulah ia coba
menciptakan teori tentang kebenaran alias truth.
"Saya terpesona dengan kekeliruan (error), kesyirikan (bad
faith), dan kesintingan (idiocy)," ungkap Eco.
Koleksinya termasuk "incunabula"-sebutan untuk
buku-buku yang lahir pada seputar ditemukannya mesin cetak sekitar abad
ke-15. Eco menceritakan rumahnya di Milan. Ia bertetangga dengan orang yang
seperti dirinya, memiliki perpustakaan buku-buku langka. Mereka pernah saling
mencocokkan untuk memperlihatkan kelangkaan koleksi masing-masing. Ternyata
keduanya sama-sama memiliki buku sangat langka dan dianggap terindah di
dunia, Hypnerotomachia Poliphili.
Kopi ketiga buku itu dimiliki perpustakaan terkenal di Italia, Castello
Sforzesco, yang kebetulan letaknya di sudut jalan dekat rumah Eco.
"Kami tertawa," kata Eco. "Ternyata
kawasan kecil tempat kami tinggal merupakan konsentrasi tertinggi
Hypnerotomachia di jagat."
Hubungan Eco dengan
dunia buku tecermin dalam seluruh karyanya, baik berupa esai, artikel, maupun
novel. Semuanya sangat ensiklopedik. Ingat novel The Name of the Rose, yang disebut para pemikir sebagai bagian
dari gagrag anyar post-modernisme. Sejarah buku dihidupkan di situ, sampai
kemudian bagaimana sivilisasi terbentuk.
Atau The Island of the Day Before, yang diakui
Eco mendapatkan inspirasinya dari diabaikannya puisi-puisi Barok pada paruh
pertama abad ke-20 dalam kurikulum pendidikan di Italia. Begitupun The Limits of Interpretation. Buku ini
berhubungan dengan kegandrungan Eco terhadap dunia gadungan dan kepalsuan.
Belum lagi kalau kita simak On Beauty,
On Ugliness, On Literature, dan lain-lain. Mustahil buku-buku tersebut
lahir tanpa dukungan perpustakaan raksasa.
Keluasan referensi
dalam seluruh karya Eco, termasuk masuknya mitologi-mitologi, kadang membuat
novel-novel Eco tidak gampang diikuti. Untuk hal ini, Eco mengaku pernah
ditanya seorang pembaca, bagaimana novel-novelnya yang sulit dimengerti bisa
menjadi buku laris di dunia dan dicintai banyak orang. Pertanyaan ini
membuatnya kesal. Ia menyebut, itu sama saja pertanyaan terhadap wanita
cantik, mengapa semua lelaki jatuh cinta klepek-klepek terhadapnya.
Saya sendiri pernah
berbincang dengan konsul Italia yang riang di Bali mengenai karya-karya Eco.
Saya katakan kepadanya, terus terang saya sering kesulitan mengikuti novel
Eco. Sambil tertawa, sang konsul memberi tips: Jangan terlalu serius.
Ikutilah seperti Anda mendengar legenda atau ketika Anda nonton wayang.
Seketika saya tersadar
pada tradisi yang menghidupi berbagai kelompok kebudayaan. Ya, saya sering
mendengar siaran wayang kulit semalam suntuk, sembari terkantuk-kantuk,
timbul tenggelam antara tidur dan jaga.
Begitulah saya
menikmati karya-karya Eco sekarang. Buku-bukunya saya baca berulang-ulang,
seperti menikmati wayang. Sebagaimana wanita cantik, ditengok berulang kali,
selalu muncul sudut-sudutnya yang memesona. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar