Paradoks pada Industri Pertahanan
Evan A Laksmana ; Peneliti CSIS, Jakarta
|
KOMPAS, 17
Februari 2016
Pada Januari 2016
industri pertahanan nasional seperti mendapat angin segar. Dalam kunjungan ke
PT Pindad, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan kembali komitmen politik
pemerintah memperkuat-dan mendukung pembelian produk-industri dalam negeri.
Berikutnya, Markas
Besar TNI menandatangani 389 kontrak pengadaan barang dan jasa militer
(meliputi tiga angkatan) serentak senilai Rp 5,9 triliun. Masih di bulan sama, Kementerian
BUMN mengumumkan target konsolidasi beberapa BUMN pertahanan, antara lain PT
LEN, PT DI, dan PT Pindad ke dalam satu perseroan induk yang diharap berdiri
akhir tahun ini.
Berbagai perkembangan
ini patut dihargai sebagai upaya pemerintah menjalankan mandat UU Nomor 16
Tahun 2002 tentang Industri Pertahanan dan doktrin Nawacita. Namun, untuk
menjaga kesehatan jangka panjang industri pertahanan, pemerintah perlu
mengkaji setidaknya tiga paradoks kebijakan yang masih ujung pangkal berbagai
masalah.
Pertama, paradoks
antara kebutuhan konsumen utama produk industri pertahanan (dalam hal ini
TNI) dengan sasaran atau harapan BUMN pertahanan. Di satu sisi, terlepas dari
komitmen institusional TNI turut memperkuat industri pertahanan, sejarah
tuntutan operasi dan kegiatan keseharian militer sejak kemerdekaan lebih
condong ke arah keamanan dalam negeri. Data berbagai publikasi Pusat Sejarah
TNI mencatat bahwa dari 249 operasi ABRI/TNI (1945-2004), sekitar 67 persen
dilaksanakan menghadapi musuh atau tantangan dalam negeri.
Masalahnya, operasi
militer dalam negeri, seperti kontrainsurgensi atau pembinaan kewilayahan,
lebih banyak menggunakan alat peralatan pertahanan dan keamanan (APPK)
berteknologi sederhana atau menengah, seperti panser atau senjata ringan.
Alat utama sistem persenjataan (AUSP) udara dan laut lebih banyak digunakan
sebagai pendukung-bukan ujung tombak-berbagai operasi darat.
Di sisi lain industri
pertahanan kita cenderung butuh permin- taan produksi APPK berteknologi
tinggi untuk meningkatkan kualitas sumber daya dan kapa- bilitas riset,
menaikkan kapasitas produksi, dan mempertahankan daya saing di pasar regional
dan global. Selain itu, sebagaimana diharap Presiden BJ Habibie dulu, produk
berteknologi tinggi hasil industri strategis nasional berpotensi menjadi
gerbong pengembangan teknologi nasional.
Tuntutan serius
Pengalaman Taiwan,
Tiongkok, dan Jepang, seperti dibahas dalam The Information Revolution in Military Affairs in Asia (2004),
menunjukkan bahwa kebangkitan industri strategis mengembangkan dan menguasai
sistem APPK berteknologi tinggi (sekarang dikenal sebagai revolusi krida
yudha) berangkat dari arahan dan tuntutan militer yang serius ingin
menghadapi tantangan luar negeri.
Kedua, paradoks antara
strategi penguatan BUMN pertahanan yang cenderung mengendarai gelombang
teknonasionalisme (disokong penuh dan dimotori aktor negara) dan menguatnya
gelombang teknoglobalisme kawasan (bergesernya pasar APPK global ke
Indo-Pasifik dan dimotori aktor nirnegara, seperti Lockheed Martin).
Di satu sisi,
teknonasionalisme ingin mencapai kemandirian teknologi militer penuh demi
kemandirian strategis negara, keamanan nasional, dan peningkatan status
global, seperti digambarkan Richard Samuels dalam Rich Nation, Strong Army (1994) untuk kasus industri pertahanan
Jepang.
Masalahnya, menurut
Richard Bitzinger dalam Defense
Industries in Asia and the Technonationalist Impulse (2015), proses
"meminjam" teknologi asing yang jadi titik tolak model
teknonasionalisme dapat kebablasan jika tak ada strategi dan konsistensi
komitmen melampaui tahapan mempelajari dan meniru dan beralih ke tahapan
inovasi mandiri lokal berdasar kepemilikan penuh dan pengembangan
berkelanjutan.
Di sisi lain, strategi
mencapai inovasi mandiri lokal cenderung bergantung kepada kemampuan
pemerintah memetik keuntungan teknoglobalisme dengan memperkuat daya saing
produk dan meningkatkan berbagai kerja sama dengan perusahaan militer
regional dan global. Langkah ini penting mengingat status Indonesia sebagai
negara produsen pertahanan tingkat dua: berada di antara negara papan atas
yang berbasis inovasi teknologi dan kapasitas produksi ekspor tinggi dengan
negara papan bawah yang hanya mengandalkan impor.
Sayangnya, UU 16/2012
dapat disalahartikan sebagai insentif struktural mempertahankan ketertutupan
pengelolaan manajemen dan keuangan BUMN sebagai aset strategis negara dan
meningkatkan "subsidi dan jaminan" pemerintah terkait pengadaan
APPK. Padahal, sejauh mana kita dapat mengeksploitasi teknoglobalisme melalui
dua langkah di atas tergantung pada tingkat transparansi, kepemilikan saham
publik, dan profesionalisme manajemen BUMN.
Terakhir, paradoks
antara peningkatan anggaran pertahanan berlipat ganda pasca Orde Baru dan
menurunnya performa berbagai BUMN pertahanan, termasuk pailitnya PT DI tahun
2007. Meski banyak kalangan menyalahkan politik anggaran pertahanan yang
selalu berkisar kurang 1 persen dari PDB, soal justru terletak pada strategi
pengalokasian anggaran itu. Lebih dari satu dekade terakhir mayoritas
pembelanjaan (60-70 persen) cenderung berada di sektor personel dengan
sisanya dialokasikan kepada belanja AUSP.
Namun, dalam konteks
kesinambungan industri pertahanan menuju tahap inovasi lokal mandiri, alokasi
anggaran penelitian, pengembangan, pelatihan, dan evaluasi (RDT&E) lebih
penting daripada sekadar pembelian AUSP; apalagi jika sebagian besar adalah
kontrak dengan industri luar negeri. Sayangnya, menurut data IHS Jane's, dari
2012 hingga 2019, anggaran RDT&E militer Indonesia diperkirakan berkisar
1,4-2,3 persen dari total anggaran pertahanan (atau 1,7-8,9 persen dari
anggaran pembelian AUSP). Seberapa besar porsi anggaran ini yang langsung
mendukung pengembangan produk BUMN pertahanan masih pertanyaan.
Ketiga paradoks
ini-sejarah operasi militer, teknonasionalisme, dan anggaran
inovasi-menunjukkan pentingnya visi strategis yang mengintegrasikan sistem
ekonomi dan riset pertahanan dengan sistem ekonomi dan riset nasional (sipil
dan komersial). Dalam hal ini, pemerintah perlu memperkuat wewenang politik
Komite Kebijakan Industri Pertahanan merumuskan strategi jangka panjang
penguatan industri pertahanan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar