Revolusi Rakyat
Trias Kuncahyono ;
Penulis Kolom “KREDENSIAL”
Kompas Minggu
|
KOMPAS, 28
Februari 2016
Tahun 1986. Sebagai
wartawan muda, memperoleh kesempatan meliput pemilu di Filipina yang ternyata
berujung pada revolusi rakyat sungguh sebuah kemewahan. Apalagi inilah
pengalaman pertama pergi ke luar negeri, yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Tidak hanya sebuah
kemewahan—meliput pemilu presiden di Filipina itu— tetapi juga kehormatan.
Siapa sangka bahwa pemilu itu berujung revolusi. Revolusi sering diartikan
sebagai perubahan radikal, transformatif. Sebagai sebuah proses sejarah,
”revolusi” menunjuk pada sebuah gerakan, sering kali dengan kekerasan,
menyingkirkan rezim lama dan berakibat terjadi perubahan menyeluruh dalam
institusi fundamental masyarakat (Laura Neitzel).
Setelah Revolusi
Perancis pada abad ke-18, yang mendongkel monarki dan berusaha mengubah lagi
masyarakat dari atas ke bawah, revolusi menjadi searti dengan perubahan
radikal terhadap masa lalu. Modernitas, banyak yang meyakini, hanya dapat
dicapai melalui transformasi dengan kekerasan dan total.
Banyak revolusi yang
terjadi sepanjang abad ke-20, terinspirasi oleh Revolusi Rusia (1917) yang
dipimpin Vladimir Lenin. Yang dilakukan Lenin didasarkan pada buah pikiran
kaum Marxis yang melihat revolusi sebagai produk kekuatan sejarah yang tidak
dapat ditahan, yang berpuncak pada pertarungan antara kaum borjuis dan
proletar. Menurut Crane Brinton (1952), revolusi di Perancis dan Rusia
diikuti perubahan politik, sosial, dan ekonomi.
Apa yang terjadi di
Rusia itu menginspirasi gerakan anti kolonial dan revolusi kaum nasionalis,
seperti yang dilakukan Sun Yat-sen di Tiongkok dan Ho Chi Minh di Vietnam.
Revolusi Iran (1979)
menyodorkan model lain lagi. Revolusi Islam ini berusaha melakukan
transformasi radikal terhadap negara dan masyarakat yang telah dicemari oleh
budaya dan nilai-nilai Barat serta kehidupan sekuler. Revolusi Iran
menempatkan kaum nasionalis dan nilai-nilai Islam di pusat pemerintahan dan
masyarakat.
Sampai di sini terbaca
ada beberapa tipe revolusi. Samuel Huntington mengklarifikasi ada empat
kategori revolusi: perang internal, kudeta revolusioner, kudeta perbaikan,
dan revolusi istana. Menurut Huntington, revolusi Kemal Ataturk di Turki bisa
disebut sebagai kudeta revolusioner; sementara kudeta di Argentina (1955)
digolongkan sebagai kudeta perbaikan
Di Turki, ”Young Turk”
melakukan revisi komplet terhadap otoritas politik yang mengarah pada
penumbangan Kekhalifahan Ottoman dan menggantikannya dengan mendirikan sebuah
republik. Sementara itu, di Argentina, revolusi terhadap Peron bertujuan
untuk mereformasi kesalahurusan Peron terhadap ekonomi dan ketidakpuasan
kekuatan politik utama, yang berujung pada perlawanan terhadap eksekutif
politik yang opresif.
Yang terjadi di
Filipina, 30 tahun silam, rasanya berbeda lagi. Revolusi EDSA—begitu biasa
disebut karena penumpukan massa terjadi di Epifanio de los Santos Avenue,
jalan di Quezon City, Metro Manila—adalah revolusi rakyat. Revolusi rakyat
dukungan Gereja dan militer. Revolusi tak berdarah yang mengubah wajah
Filipina. Revolusi yang menumbangkan seorang diktator yang selama lebih dari
dua puluh tahun menjadi penguasa tunggal di Filipina, Ferdinand Marcos, yang
menjabat sebagai presiden sejak 30 Desember 1965 hingga 25 Februari 1986.
Revolusi itu dimulai
22 Februari hingga 25 Februari 1986, Revolusi Filipina 1986, atau Revolusi
Kuning (menunjuk pada warna kuning dari kaus, baju, dan rompi, juga topi yang
digunakan para penentang Presiden Ferdinand Marcos). Aksi damai selama empat
hari yang dilakukan oleh jutaan rakyat Filipina di Metro Manila berakhir
dengan tumbangnya Presiden Ferdinand Marcos dan tampilnya Ny Corazon Aquino
sebagai Presiden Filipina.
Inilah yang kemudian
disebut sebagai Revolusi Kekuatan Rakyat (People
Power Revolution). Kekuatan Rakyat adalah sebuah bentuk kesadaran.
Kekuatan Rakyat adalah sebuah eufemisme untuk kekuasaan rakyat banyak atau
lebih persisnya hukum rimba (mob rule). Kekuatan Rakyat adalah tentang
perbaikan ”institusi moralitas yang tak kelihatan” (Peter Ackerman dan Jack
Duvall). Dan istilah tersebut—Kekuatan Rakyat—diciptakan di Filipina untuk
menggambarkan tumpahnya ke jalan-jalan rakyat yang melawan Ferdinand Marcos.
Jadi benar yang
dikatakan oleh Mahatma Gandhi, bahwa rakyat bisa mengubah jalan negara
mereka. ”Bahkan, orang yang sangat kuat sekali pun tidak dapat memerintah
tanpa kerja sama dengan yang diperintah (rakyat),” kata Mahatma Gandhi.
Banyak contoh tentang
hal itu. Pada tahun 1980, Gerakan Solidaritas (kaum buruh) di Polandia
melakukan pemogokan untuk memaksa agar rezim komunis yang berkuasa
mengizinkan berdirinya serikat buruh bebas. Ditekan oleh puluhan juta buruh,
akhirnya Presiden Wojciech Jaruzelski takluk. Solidaritas menang.
Dari tahun 1985 hingga
1990, Front Demokratik Bersatu di Afrika Selatan memboikot dan mogok untuk
menghancurkan bisnis yang mendukung apartheid. Gerakan mereka berhasil. Rezim
apartheid tumbang. Sepanjang tahun 1989 hingga 1990, di Praha, Berlin Timur,
Sofia, Ulan Bator, dan ibu-ibu kota negara yang ada di bawah pengaruh Uni
Soviet terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan rakyat. Mereka
menduduki tempat-tempat umum dan memaksa pemerintah menggelar pemilu.
Tujuannya adalah melepaskan diri dari rezim otoritarian. Di Serbia terjadi
hal yang sama. Yang terakhir, revolusi rakyat menerjang sejumlah negara di
Timur Tengah.
Semua itu adalah moment of truth. Tiga puluh tahun
silam, rakyat Filipina sudah bosan, muak terhadap korupsi dan ketamakan
pemimpin otoritarian, Marcos. Filipina ibarat orang yang sakit: korupsi
merajalela, kemiskinan menyebar, yang kaya makin kaya yang miskin semakin
terkubur dalam kemiskinan, polarisasi masyarakat, instabilitas politik, dan
kekecewaan di mana-mana. Ketika pemilu Marcos curang, rakyat bergerak
didukung Gereja dan tentara. Saat itulah ”kebenaran” menang. Marcos tumbang.
Di sini, 30 tahun
kemudian setelah Revolusi Kekuatan Rakyat di Filipina, diteriakkan ”Revolusi
Mental”. Tidak tahu, sampai mana.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar