Senjakala Budaya
Bre Redana ; Penulis Kolom “UDAR RASA’ Kompas Minggu
|
KOMPAS, 14
Februari 2016
Mengunjungi, mampir,
atau nongkrong di taman budaya, balai budaya, gelanggang budaya belakangan
ini rasanya semata-mata mendapati sesuatu yang arkaik, usang, telantar,
pudar. Balai Budaya di kawasan paling elite Jakarta, Menteng, mewakili
gambaran umum dari tempat yang memakai nama budaya atau setidaknya
berasosiasi dengan kegiatan budaya: kumuh di tengah kehidupan urban yang kian
gemebyar. Gambaran serupa terjadi pada Sriwedari: merana di jantung Kota
Solo, Jawa Tengah. Anda bisa menunjukkan contoh lebih banyak lagi, siapa tahu
ada di dekat Anda.
Senjakala budaya? Mengada-adakah pertanyaan ini?
Jangan-jangan yang
dalam proses deteriorisasi memang bukan hanya bangunannya, melainkan—dari
telaah hermeneutik, memakai istilah Neil Postman dalam bukunya Technopoly:
barang baru melahirkan kata baru. Selain itu, juga terjadi perubahan makna
kosa kata-kosa kata lama, menjadi tak seperti sebelumnya lagi.
Dalam lingkungan
kehidupan baru kita sekarang terdapat istilah-istilah baru, seperti hape,
daring, gawai (oleh teman di Yogya dipelesetkan menjadi nyambut gawai), dan
lain-lain. Kalau ditanya punya WA atau tidak dan Anda bengong tidak paham,
Anda akan jadi bahan tertawaan. Hare genee... anak Jakarta bilang.
Lalu kata lama yang
berubah maknanya taruhlah budaya tadi. Sesuatu yang luas, kalau zaman
mahasiswa untuk mengartikannya perlu membuka buku Koentjaraningrat, kini
artinya tak lebih mengacu pada sesuatu yang agaknya bakal segera tenggelam
ditelan zaman. Sama seperti nasib mereka yang ditahbiskan menjadi budayawan.
Belum tentu mereka lebih didengar dibanding komedian.
Perubahan makna kata,
yang berarti juga perubahan makna hidup, jelas ada hubungannya dengan
teknologi. Postman menambahi judul bukunya dengan subjudul: The Surrender of Culture to Technology.
Takluknya kebudayaan atas teknologi.
Ia membuka dengan
cerita tentang bagaimana raja Thamus dari Mesir bercakap-cakap dengan Theuth,
dewa penemu berbagai hal seperti angka, geometri, astronomi, dan tulisan.
Seperti dituturkan
Socrates, terjadi percakapan panjang antara Thamus dan Theuth menyangkut ada
guna atau tidaknya masing-masing temuan. Giliran sampai tulisan, Theuth
berujar: Ini dia paduka raja, temuan yang akan meningkatkan baik
kebijaksanaan maupun memori rakyat Mesir. Saya telah temukan resep bagi
memori dan kebijaksanaan.
Untuk itu, setelah
berpikir sejenak Thamus menjawab: Theuth penemu agung, menurut hemat saya
yang Anda temukan resep untuk mengingat (recollection),
bukan memori. Siapa saja yang menggunakannya nanti akan berhenti melakukan
krida memori dan menjadi pelupa. Mereka akan bergantung pada tulisan sebagai
tanda-tanda eksternal untuk mengingat, bukan pada sumber daya internal diri sendiri.
Sedangkan tentang kebijaksanaan, mereka bakal dipenuhi pengertian-pengertian
yang membuat mereka menyangka diri telah bijaksana, padahal sejatinya mereka
sangat tak peduli. Itu bukan kebijaksanaan sejati.
Yang hendak ia
tunjukkan, kalau memakai kacamata modern, agaknya Thamus sudah sadar
konsekuensi teknologi. Penggunaan teknologi ditentukan oleh struktur
teknologi itu sendiri. Fungsi mengikuti bentuk, bukan sebaliknya, seperti
banyak diduga orang. Kalau dalam teknologi media, sejajar dengan maxim sangat
populer: the medium is the message.
Televisi, misalnya,
tadinya diangankan menjadi jendela dunia. Ternyata struktur medium menentukan
sebaliknya: banyak orang menonton televisi tidak ingin melihat jendela dunia,
tetapi berangan-angan, kapan dirinya masuk televisi. Maka larislah reality
show. Idealisasi keluasan dunia berubah menjadi program konyol-konyolan, yang
penting, dalam pikiran pembuatnya, enteng dan menghibur.
Kebudayaan? Benarkah
yang dikatakan Postman, kebudayaan telah ditaklukkan teknologi?
Silakan buktikan
sendiri. Mana lebih tampak makmur dan kinclong, dunia televisi atau yang
memakai label budaya.
Saya sendiri suka
nonton yang kinyis-kinyis.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar