Tarik Ulur Deponering
Amzulian Rifai ; Ketua Ombudsman RI;
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya
(Unsri)
|
KOMPAS, 16
Februari 2016
Tuntutan publik agar
perkara Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan dikesampingkan
(deponering) menguat. Namun, Jaksa
Agung berhati-hati menyikapinya. Publik kembali menanti ketegasan dalam
perkara pelik ini.
Sudah cukup lama kita
berpolemik soal kasus Abraham Samad (AS), Bambang Widjojanto (BW), dan Novel
Baswedan (NB). Ketiga orang ini tidak terpisahkan dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). AS dan BW adalah dua
mantan pimpinan KPK, sedangkan NB adalah penyidik andal KPK. Ketiganya
mendapat simpati publik yang tinggi untuk dikesampingkan perkara yang mereka
hadapi.
AS dijerat dengan
Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen. Ia diduga membantu membuatkan KTP
dan kartu keluarga palsu untuk memudahkan pengurusan paspor orang lain.
Sementara BW disoal mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu
ketika berprofesi sebagai advokat di masa lalu. Adapun NB dituduh terlibat
penganiayaan ketika bertugas di Polda Bengkulu , hampir 12 tahun lalu alias
mendekati daluwarsa (verjaring).
Ada juga pihak yang
menghendaki agar tak menyepelekan pihak korban yang mengalami
penganiayaan. Namun, di sisi lain,
terhadap tiga kasus itu, publik juga percaya ada kejanggalan. Itu sebabnya di
saat pemerintah ingin bekerja, minus kegaduhan, ada tuntutan agar ketiga
kasus ini dikesampingkan, dideponering.
Pro dan kontra
Tarik ulur soal
penyampingan kasus hukum yang menimpa AS, BW, dan NB cukup mengemuka.
Masing-masing mengajukan argumentasinya.
Pihak yang kontra
dengan deponering karena menilai tidak ada urgensinya melakukan itu. Apalagi,
saat ini AS dan BW bukanlah pimpinan KPK lagi. Bagi mereka, deponering dalam
kasus AS, BW, dan NB ini tergolong campur tangan terhadap proses hukum yang
sedang berjalan. Tindakan ini melanggar asas persamaan dalam hukum (equality before the law) yang
seharusnya berlaku terhadap siapa saja.
Apabila keadilan yang
dikehendaki, seharusnya perkara-perkara itu dibawa ke pengadilan. Para hakim
yang nantinya memutuskan apakah dakwaan terhadap ketiga tersangka itu
mengada-ada atau benar adanya. Bukan hanya keadilan para terdakwa saja yang
dikedepankan, tetapi juga keadilan bagi korban.
Kelompok yang pro
dengan deponering meyakini bahwa sejak awal ada rekayasa dalam kasus-kasus
tersebut. Sangat kental adanya upaya
kriminalisasi terhadap AS, BW, dan NB terkait dengan kegigihan mereka
memberantas korupsi tanpa memilah-milah orang atau institusi asalnya.
Selain itu,
kriminalisasi terhadap ketiga orang itu sama artinya upaya pelemahan terhadap
KPK. Diyakini bahwa dengan status tersangka itu, apalagi jika terhukum, akan
berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pelemahan terhadap KPK
dapat mengganggu kepentingan umum yang menjadikan korupsi sebagai musuh
bersama.
Kepentingan umum
Dalam Kamus Hukum
Belanda-Indonesia, kata deponeren
diartikan sebagai mengesampingkan (perkara), mendepot, memetieskan,
mendeponir. Seponeren; mengesampingkan,
mendeponir, memetieskan. Een zaak seponeren; mengesampingkan perkara,
memetieskan perkara.
Namun, tak sembarangan
suatu perkara yang telah siap untuk disidangkan dapat dikesampingkan.
Alasannya, sesungguhnya sudah cukup bukti, hanya saja tidak dituntut di
pengadilan karena perkaranya "dikesampingkan" demi kepentingan yang
lebih luas/kepentingan umum.
Jaksa Agung memiliki
kewenangan untuk mengesampingkan suatu perkara, sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 huruf c UU 16/2004 tentang Kejaksaan. Pasal tersebut menegaskan
bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara
demi kepentingan umum.
Perdebatannya adalah
apakah batasan kepentingan umum dan apakah deponering ketiga perkara di atas
masuk kategori tersebut? Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c bahwa
"kepentingan umum" ialah kepentingan bangsa dan negara dan/atau
kepentingan masyarakat luas.
Deponering juga sebagai pelaksanaan asas oportunitas yang diberikan oleh
undang-undang kepada jaksa sebagai penuntut umum untuk mengesampingkan suatu
perkara demi kepentingan umum. Makna harfiah oportunitas adalah ketepatan,
kepantasan, menguntungkan saat yang tepat, layak/kesempatan, dan manfaat yang
baik. Asas ini bermaksud memberikan kemanfaatan, kelayakan, dan kesempatan baik,
guna kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Status terdakwa
terhadap tiga "orang KPK itu saja" sudah memunculkan kegaduhan luar
biasa. Sebagian energi dihabiskan untuk berpolemik sehingga mengganggu
tugas-tugas pemberantasan korupsi dan meninggikan tensi perseteruan
antarinstitusi. Apalagi, jika seandainya soal ini dibawa ke persidangan.
Polemik soal
deponering tidak akan pernah habis-habisnya karena masing-masing memiliki
argumentasi sendiri. Padahal, jika terkait kepentingan lebih luas atau umum,
pastilah ada sebagian kepentingan pihak lain yang dimusyawarahkan.
Diperlukan ketegasan
Jaksa Agung dengan berpedoman pada kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan. Jaksa Agung memiliki kesempatan, alasan, dan dasar hukum
yang kuat untuk mendeponering kasus AS, BW, dan NB karena dalam soal pelik
ini memang tugas dan wewenangnya untuk menuntaskan masalah itu. Saat
bersamaan, tidak seharusnya ada institusi lain yang dipermalukan karena
masing-masing lembaga telah memiliki batas dan lingkup kewenangannya sendiri.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar