Rabu, 17 Februari 2016

Tarik Ulur Deponering

Tarik Ulur Deponering

Amzulian Rifai  ;  Ketua Ombudsman RI;
 Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri)
                                                     KOMPAS, 16 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tuntutan publik agar perkara Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan dikesampingkan (deponering) menguat. Namun, Jaksa Agung berhati-hati menyikapinya. Publik kembali menanti ketegasan dalam perkara pelik ini.

Sudah cukup lama kita berpolemik soal kasus Abraham Samad (AS), Bambang Widjojanto (BW), dan Novel Baswedan (NB). Ketiga orang ini tidak terpisahkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).   AS dan BW adalah dua mantan pimpinan KPK, sedangkan NB adalah penyidik andal KPK. Ketiganya mendapat simpati publik yang tinggi untuk dikesampingkan perkara yang mereka hadapi.

AS dijerat dengan Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen. Ia diduga membantu membuatkan KTP dan kartu keluarga palsu untuk memudahkan pengurusan paspor orang lain. Sementara BW disoal mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu ketika berprofesi sebagai advokat di masa lalu. Adapun NB dituduh terlibat penganiayaan ketika bertugas di Polda Bengkulu , hampir 12 tahun lalu alias mendekati daluwarsa (verjaring).

Ada juga pihak yang menghendaki agar tak menyepelekan pihak korban yang mengalami penganiayaan.  Namun, di sisi lain, terhadap tiga kasus itu, publik juga percaya ada kejanggalan. Itu sebabnya di saat pemerintah ingin bekerja, minus kegaduhan, ada tuntutan agar ketiga kasus ini dikesampingkan, dideponering.

Pro dan kontra

Tarik ulur soal penyampingan kasus hukum yang menimpa AS, BW, dan NB cukup mengemuka. Masing-masing mengajukan argumentasinya.

Pihak yang kontra dengan deponering karena menilai tidak ada urgensinya melakukan itu. Apalagi, saat ini AS dan BW bukanlah pimpinan KPK lagi. Bagi mereka, deponering dalam kasus AS, BW, dan NB ini tergolong campur tangan terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Tindakan ini melanggar asas persamaan dalam hukum (equality before the law) yang seharusnya berlaku terhadap siapa saja.

Apabila keadilan yang dikehendaki, seharusnya perkara-perkara itu dibawa ke pengadilan. Para hakim yang nantinya memutuskan apakah dakwaan terhadap ketiga tersangka itu mengada-ada atau benar adanya. Bukan hanya keadilan para terdakwa saja yang dikedepankan, tetapi juga keadilan bagi korban.

Kelompok yang pro dengan deponering meyakini bahwa sejak awal ada rekayasa dalam kasus-kasus tersebut.  Sangat kental adanya upaya kriminalisasi terhadap AS, BW, dan NB terkait dengan kegigihan mereka memberantas korupsi tanpa memilah-milah orang atau institusi asalnya.

Selain itu, kriminalisasi terhadap ketiga orang itu sama artinya upaya pelemahan terhadap KPK. Diyakini bahwa dengan status tersangka itu, apalagi jika terhukum, akan berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pelemahan terhadap KPK dapat mengganggu kepentingan umum yang menjadikan korupsi sebagai musuh bersama.

Kepentingan umum

Dalam Kamus Hukum Belanda-Indonesia, kata deponeren diartikan sebagai mengesampingkan (perkara), mendepot, memetieskan, mendeponir. Seponeren; mengesampingkan, mendeponir, memetieskan. Een zaak seponeren; mengesampingkan perkara, memetieskan perkara.

Namun, tak sembarangan suatu perkara yang telah siap untuk disidangkan dapat dikesampingkan. Alasannya, sesungguhnya sudah cukup bukti, hanya saja tidak dituntut di pengadilan karena perkaranya "dikesampingkan" demi kepentingan yang lebih luas/kepentingan umum.

Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengesampingkan suatu perkara, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf c UU 16/2004 tentang Kejaksaan. Pasal tersebut menegaskan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Perdebatannya adalah apakah batasan kepentingan umum dan apakah deponering ketiga perkara di atas masuk kategori tersebut? Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c bahwa "kepentingan umum" ialah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Deponering juga sebagai pelaksanaan asas oportunitas yang diberikan oleh undang-undang kepada jaksa sebagai penuntut umum untuk mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum. Makna harfiah oportunitas adalah ketepatan, kepantasan, menguntungkan saat yang tepat, layak/kesempatan, dan manfaat yang baik. Asas ini bermaksud memberikan kemanfaatan, kelayakan, dan kesempatan baik, guna kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Status terdakwa terhadap tiga "orang KPK itu saja" sudah memunculkan kegaduhan luar biasa. Sebagian energi dihabiskan untuk berpolemik sehingga mengganggu tugas-tugas pemberantasan korupsi dan meninggikan tensi perseteruan antarinstitusi. Apalagi, jika seandainya soal ini dibawa ke persidangan.

Polemik soal deponering tidak akan pernah habis-habisnya karena masing-masing memiliki argumentasi sendiri. Padahal, jika terkait kepentingan lebih luas atau umum, pastilah ada sebagian kepentingan pihak lain yang dimusyawarahkan.

Diperlukan ketegasan Jaksa Agung dengan berpedoman pada kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan. Jaksa Agung memiliki kesempatan, alasan, dan dasar hukum yang kuat untuk mendeponering kasus AS, BW, dan NB karena dalam soal pelik ini memang tugas dan wewenangnya untuk menuntaskan masalah itu. Saat bersamaan, tidak seharusnya ada institusi lain yang dipermalukan karena masing-masing lembaga telah memiliki batas dan lingkup kewenangannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar