Akhir Sejarah
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “KREDENSIAL’ Kompas Minggu
|
KOMPAS, 14
Februari 2016
Dahulu kala, pada suatu masa, sekitar tahun
2004 SM, Kekaisaran Neo-Sumeria yang diperintah oleh Dinasti Ketiga Ur,
jatuh. Kerajaan itu runtuh oleh invasi, pemberontakan, dan kelaparan. Kota Ur
yang berdiri di tepi Sungai Efrat, Mesopotamia Selatan, sekarang daerah Irak
Selatan, itu tinggal cerita. Sungai Efrat terus mengalir ke selatan dan
bertemu dengan Sungai Tigris. Keduanya bersatu masuk ke Teluk Parsi,
melupakan Ur.
Ketika itu yang berkuasa adalah Ibbi-Sin. Ia
raja yang lemah. Karena itu, ketika salah seorang pemimpin militernya,
Ishbi-Erra, memberontak, Ibbi-Sin tak berdaya. Runtuhlah Kekaisaran
Neo-Sumeria. Dan, berakhirlah kekuasaan orang Sumeria, digantikan orang
keturunan Semit, Ishbi-Erra (Susan Wise Bauer, Sejarah Dunia Kuno, dari
Cerita-cerita Tertua sampai Jatuhnya Roma, 2010).
Kejatuhan Ur diratapi. Tidak hanya keluarga
kerajaan, rakyat, tetapi juga para seniman, artis, dan para penggerak budaya
pada masa itu yang meratapi kejatuhan Ur. Kejatuhan Ur tidak hanya berarti
kejatuhan sebuah kota, tetapi juga kejatuhan suatu kebudayaan. Kepedihan akan
kejatuhan Ur itu antara lain terungkap dalam puisi-puisi:
Mayat-mayat ditumpuk
di gerbang-gerbang kota yang megah,
di jalan-jalan tempat
dahulu pesta-pesta diselenggarakan berserakan kepala-kepala,
di tempat dahulu
tari-tarian ditampilkan, mayat-mayat bertimbun-timbun...
Di sungai, debu telah
menggunung,
tidak ada lagi air
yang mengalir disalurkan ke kota
dataran yang tertutup
rumput telah retak-retak seperti tungku pembakaran.
Tragedi yang menimpa Ur, lebih dari 3.000
tahun itu, seperti berulang. Dan yang menjadi korbannya adalah Baghdad, kota
megah yang ketika itu menjadi pusat Kekhalifahan Abbasiyah. Baghdad ada di
wilayah Irak bagian tengah dan sekarang menjadi ibu kota Irak.
Kala itu, tanggal 12 Muharam 656 atau 19
Januari 1258. Sebanyak 200.000 tentara berkuda Mongol mengepung Baghdad yang
hanya dijaga 10.000 tentara berkuda. Di bawah pimpinan Hulagu, pasukan Mongol
mendirikan tenda di sekeliling tembok kota.
Semula Khalifah Al-Mu’tashim dari Bani
Abbasiyah, penguasa Baghdad, bersama rakyatnya bertekad akan menghadapi
pasukan Mongol. Namun, akhirnya menyadari bahwa kekuatan mereka tidak
seimbang. Daripada darah orang-orang tak berdosa membasahi bumi Baghdad,
Al-Mu’tashim dan dua putranya disertai para pembesar istana memutuskan
menemui Hulagu.
Apa yang terjadi ketika Khalifah dan
rombongannya bertemu Hulagu? Mereka dibunuh. Niat baik dibalas dengan
kekejaman luar biasa. Al-Mu’tashim dipenggal kepalanya.
Hulagu lantas memimpin pasukannya masuk
Baghdad. Mereka membunuh 800.000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang
tinggal di Baghdad. Jenazah mereka dibiarkan bergelimpangan di mana-mana,
selama 40 hari. Darah mengalir bagaikan sungai dan bergerak mengalir masuk
Sungai Tigris. Itulah tragedi yang digambarkan dalam The Fall of Baghdad (Trias
Kuncahyono, dari Damaskus ke Baghdad, 2004).
Sejarah seperti selalu berulang, l 'histoire se répète. Philip Guedalla
(1889-1944), seorang pop kultur asal Inggris, mengatakan, ”Sejarah berulang
dengan sendirinya. Sejarawan saling mengulang satu sama lain.” Sebelumnya,
Karl Max (1818-1883) pernah mengatakan, ”Sejarah mengulang dirinya sendiri,
pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.”
Namun, yang terjadi di Baghdad pada tahun 1258
tentu bukan lelucon, melainkan tragedi. Tragedi umat manusia. Bagaimana orang
dengan mudah membunuh sesama. Pembunuhan dengan keganasan seperti itu selalu
terjadi pada setiap zaman, dengan cara yang berbeda-beda. Khmer Rouge (Khmer
Merah), selama empat tahun berkuasa di Kamboja, 1975-1979, menghancurkan
Kamboja secara lengkap, baik ekonomi, politik, maupun demografi. Mereka
membunuh 2,5-3 juta orang. Hitler dengan pasukan Schutzstaffe atau SS
membunuh sekitar enam juta orang Yahudi, baik laki-laki maupun perempuan
dengan cara dipaksa menghirup gas beracun, ditembak, dipukuli, disiksa, dan
juga dijadikan eksperimen ”ilmiah” serta dibiarkan kelaparan. Masih banyak
lagi contoh lainnya.
Perang di Suriah sekarang ini juga merupakan
tragedi kemanusiaan yang tak terkira. Sejak pecah pergolakan 15 Maret 2011,
sudah lebih dari 250.000 orang tewas, 4 juta orang mengungsi, dan 7 juta
orang lainnya tercerai-berai mencari selamat. Situasi di Suriah dan juga Irak
bertambah buruk setelah lahirnya kelompok bersenjata yang menyebut dirinya
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ ISIS). Sepak terjang mereka menggilas
nilai-nilai kemanusiaan, merontokkan harkat kemanusiaan. Mereka membunuh siapa
saja yang tidak sejalan dengan ideologi dan garis hidup mereka.
Suriah menjadi medan laga, medan perang dari
berbagai pihak—pasukan pemerintah melawan oposisi bersenjata, melawan NIIS;
oposisi dan NIIS berebut wilayah. Situasi bertambah rumit karena terlibatnya
kekuatan luar: AS, Rusia, negara-negara Arab, Iran, dan Turki. Rusia yang
mendukung rezim Bashar al-Assad, misalnya, setiap hari dengan mesin perangnya
menebar kematian. Prospek perdamaian di negeri itu semakin suram. Sementara
NIIS hingga kini belum bisa diredam bahkan menebar teror dan kematian keluar
dari Suriah dan Irak. Mereka masuk ke Libya, Eropa, bahkan sampai ke
Indonesia.
Apakah Suriah akan memasuki tahap, mengutip
istilah yang digunakan oleh Francis Fukuyama (1989) the end of history? Suriah
akan berakhir dan muncul negara-negara baru di bekas negara itu? Pertanyaan
yang sama juga bisa diajukan pada Libya, yang hingga kini masih didera perang
saudara. Nasib yang sama juga menimpa Yaman, demikian pula Irak. Apabila
pihak-pihak yang berseteru di Suriah juga di negara-negara lain tidak mau
berkompromi dan bersepakat, ”akhir sejarah” itu tidak mungkin dihindarkan.
Dahulu, orang-orang Ur menunjuk dewa bulan,
Nanna, dan dewa-dewa pelindung lainnya tak berdaya melindungi kota itu.
Mereka pun berkeluh kesah:
Bapa Nana
nyanyianmu telah berubah menjadi tangisan,
kotamu menangis di hadapanmu, seperti seorang
anak hilang di jalan
rumahmu menjulurkan tangan kepadamu
sambail berteriak, ”Di manakah kamu?”
Berapa lamakah engkau akan menjauh dari
kotamu?
Tetapi, kepada siapakah rakyat Suriah, Irak,
Yaman, dan Libya akan berkeluh kesah? Tidak ada lagi dewa-dewa di sana.
Bahkan, tidak ada lagi homo homini socius (manusia menjadi sahabat bagi
sesamanya), tetapi yang ada hanyalah homo
homini lupus (manusia sebagai serigala bagi sesamanya). Manusia
benar-benar telah kehilangan kemanusiaannya. Buta terhadap manusia lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar