DLP, Sebuah Simplifikasi
Ario Djatmiko ;
Dewan Pakar PB IDI
|
KOMPAS, 24
Februari 2016
Keputusan Mahkamah
Konstitusi, 7 Desember 2015, menolak seluruh gugatan Persatuan Dokter Umum
Indonesia. Penggugat kalah dan Undang-Undang Nomor 20 tentang Pendidikan
Kedokteran Tahun 2013 segera diberlakukan. Artinya, program pendidikan Dokter
Layanan Primer harus dijalankan.
Di akhir putusan,
Hakim Konstitusi membacakan Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945: setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik, sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan,” Peringatan yang cukup keras, siapa pun yang menolak DLP berarti
melanggar hak hidup rakyat. Hukum adalah bentuk kekerasan Negara yang sah,
yang ”dikatakan” demi kepentingan umum. Negara berhak menjatuhkan sanksi pada
pelanggar hukum. Tidak ada lagi ruang dialog, sanksi hukum menjamin semua
berjalan sesuai aturan.
Pada kenyataannya,
sistem kesehatan adalah wahana untuk memperbaiki kehidupan manusia. Begitu
kata Sir Michael Marmot, Presiden World Medical Association 2015-2016. Hanya
kendaraan yang berjalan baik, berbahan bakar cukup, yang mampu membawa
masyarakat ke-kehidupan lebih baik.
WHO menyebut kesehatan
sebagai kebutuhan dasar manusia. Tanpa kesehatan optimal, kehidupan akan
menjadi sulit bagi setiap orang, produktivitas menurun, dan berarti kerugian
bagi negara. Kerangka kendaraan harus kokoh dan proporsional agar mampu
membawa rakyat sampai ke tujuan. Kerangka dasar sistem kesehatan adalah
sistem rujukan. Tanpa sistem rujukan yang kokoh, apa pun upaya kesehatan yang
dilakukan hanya menjadi timbunan kegiatan tanpa bentuk dan pemborosan tanpa
tujuan dan tanpa hasil.
Simpul sistem rujukan
Sistem adalah kumpulan
simpul kegiatan yang bekerja secara interaktif dan terintegrasi untuk
mewujudkan tujuan bersama. Sistem optimal bila setiap simpul menjalankan
peran sebaik-baiknya. Dalam sistem rujukan, simpulnya adalah layanan primer,
layanan sekunder, dan tersier. Jika ketiga simpul layanan tadi membangun
kerja sama sinergis, tujuan tercapai.
Komponen inti
simpul-simpul dalam sistem rujukan adalah kinerja manusia: makhluk hidup yang
berperasaan, butuh dihargai, dan perlu pemahaman. Bicara sinergisme, kerja
interaktif, terpadu dan koordinatif, berarti juga bicara tentang manusia.
Ibarat simfoni, akan
terdengar indah apabila semua pemain memahami isi partitur. Harmoni tidak
mungkin terjadi apabila lagu dimainkan tanpa spirit. Maka, perlu ruang dialog
untuk saling memahami. Di sinilah letak perbedaan manusia dan mesin. Namun,
keputusan hukum telah hadir, ruang dialog sudah ditutup. Masih mungkinkah
simfoni indah terbangun?
Ibarat simfoni, sektor
kesehatan adalah hal teramat kompleks. Begitu banyak faktor luar yang ikut
berpengaruh, terutama di level primer. Dibutuhkan strategi yang tepat dan
inovatif untuk mencapai hasil terbaik. Jelas, sebelum membuat kebijakan,
perlu data dasar yang detail, sahih, serta analisis yang saksama.
Kerja sama yang kokoh
antar-instansi pengambil kebijakan dari berbagai sektor—ekonomi, pendidikan,
sosial, lingkungan, dan lain-lain—wajib dibangun agar persoalan yang terjadi
di masyarakat dapat diatasi secara holistik. Membaca putusan MK dan
pernyataan saksi ahli tergugat, terkesan kompetensi Dokter Layanan Primer
(DLP) adalah faktor determinant dalam penguatan layanan primer.
Benarkah demikian?
Apakah angka kejadian, DB, TBC, kurang gizi, kematian bayi, kematian ibu
melahirkan, HIV/AIDS, dan lain-lain akan menurun seiring meningkatnya
kompetensi DLP?
Jelas tidak! Sekompeten
apa pun dokter layanan primer, apabila faktor-faktor kausalnya tidak
diselesaikan secara holistik, lingkaran setan akan terus berjalan. Ibarat
mencoba menutup asap tanpa membunuh apinya, semua akan berakhir sia-sia.
Identik, DLP di lini
terdepan akhirnya menjadi martir sia-sia. Simplifikasi sungguh sikap yang
amat berbahaya dalam membangun kerja besar yang menyangkut nasib rakyat
banyak.
Pertimbangkan ulang
Multitafsir tidak
mungkin dihindari. Benarkah program DLP bertujuan membangun manusia Indonesia
seutuhnya? Atau hanya sekadar upaya menekan cost? Atau, jangan-jangan sekadar membangun citra: seolah-olah
pemerintah peduli rakyat.
Pemerintah menilai
sistem biaya kapitasi akan efektif dalam menurunkan cost dan meningkatkan derajat kesehatan rakyat. Sebab, perolehan
dokter akan berbasis evaluasi kinerja dan berbagi risiko. Makin banyak yang
sakit, makin kecil perolehan dokter. Maka, dokter harus mati-matian menekan
angka kesakitan agar masih tersisa uang untuk hidup. Kalau angka kesakitan
tinggi, dia tekor dan entah dia mau makan apa.
Maka, membicarakan
nasib dokter itu seperti zero sum game,
seperti perebutan yang paling kejam. Apalagi, rebutan terjadi antara sang
penolong dan yang harus ditolong dengan taruhan hidup-mati.
Dalam sistem kapitasi,
pembayar (baca: dalam hal ini pemerintah) tidak berada dalam satu barisan
dengan dokter. Mereka saling berhadapan diametrikal melakukan transaksi
jual-beli dan ”kesakitan rakyat” menjadi komoditasnya.
Perlahan tetapi pasti,
rasa kebangsaan para dokter akan hancur. Sebab, dokter hanya bisa merasakan
kejamnya transaksi zero sum game.
Transaksi yang disodorkan sang penguasa tanpa dialog. Take it or leave it!
Sakit tidak datang
tiba-tiba. Amburadulnya sanitasi, kurangnya pasokan air bersih, tingginya
kemiskinan, dan pendidikan yang tertinggal, membuat risiko sakit menjadi
berlipat. Maka, mengacu rumus dasar asuransi: makin besar risiko, makin
tinggi premi yang harus dibayar.
Jelas di sini bahwa
besaran biaya kapitasi adalah cermin kesungguhan pemerintah dalam membangun
bangsanya. Sudah pantaskah biaya kapitasi yang diterima DLP? Pertanyaan ini
harus dijawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar