KK
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom “PARODI” Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 28
Februari 2016
Hari Minggu lalu, saya
membereskan rumah beserta berkas-berkas di dalam lemari, termasuk KK alias
kartu keluarga. Saat memegang kartu itu, saya menyimak nama-nama yang tertera
di dalamnya, dan tiba-tiba ada perasaan rindu yang muncul.
"Sense of urgency"
Melihat nama-nama yang
sekarang ini telah hilang dari hidup saya menimbulkan perasaan yang sukar
diungkapkan. Ayah dan ibu meninggal dunia, sementara kakak dan adik
'menghilang' karena tinggal di belahan dunia lain. Kemudian perasaan rindu
makin menjadi-jadi dan pikiran melayang ke masa kami masih sebuah keluarga
dengan anggotanya yang utuh.
Beberapa jam setelah
acara beres-beres itu, saya menerima sebuah kiriman foto di salah satu grup
pertemanan. Foto itu menunjukkan salah seorang anggota grup pertemanan itu
yang tengah berlibur bersama ibu, adik, serta kakaknya. Entah mengapa, sambil
masih memperhatikan foto itu, tiba-tiba timbul rasa iri hati.
Iri hati itu muncul
karena dalam keluarga kami, liburan bersama setelah kami dewasa tak pernah
terjadi. Ada perasaan bahwa orangtua saya, dan saya sebagai anak, tak terlalu
peduli akan hal-hal sederhana yang justru melahirkan ikatan batin itu.
Saya ini berpikir,
kalau anak-anak sudah menjadi dewasa, itu berarti hidup dengan caranya
masing-masing, sehingga kedua belah pihak, baik orangtua maupun anak yang
juga menjelang tua, tak pernah merasa penting memupuk ikatan dalam bentuk
liburan bersama.
Harus diakui kumpul-kumpul
semacam itu sedari dulu tampaknya bukan menjadi kesenangan ayah sebagai
kepala keluarga dan penentu kebijakan, sehingga mungkin tanpa ia sadari, ia
tak pernah menumbuhkan kebiasaan itu pada anggota keluarga.
Sudah lama, lama
sekali saya tak berjumpa dengan kakak dan adik yang tinggal di negeri
seberang. Anda pikir dengan teknologi canggih, kami menjadi lebih dekat?
Tidak sama sekali. Saya sendiri jarang diserang perasaan rindu pada mereka.
Ketidakhadiran
perasaan rindu bukan karena kami tidak saling menyayangi, tetapi karena sense of urgency untuk bersilaturahim
telah dibuat nol sejak lama. Mungkin orangtua saya sejujurnya takut, kalau
ikatan itu terlalu erat, maka perasaan kehilangan, kalau hal itu terjadi di
suatu hari, akan menjadi begitu dalamnya. Mungkin.
Aku sayang kamu
"Bapakku yaaa...
ngono, Bro. Podooo.. Tapi, kan, kita sekarang jadi anak yang mandiri, kita
jadi bisa belajar jangan melakukan hal yang sama seperti bapak kita. Ya
enggak, sih?" Itu komentar teman saya saat saya curhat soal iri hati
itu.
Kemudian seperti biasa
otak mulai berpikir. Apa benar kemandirian seseorang itu terjadi karena ia
mendapat perlakuan dan pengalaman yang 'keras'? Apakah kemandirian seseorang
tak bisa diwujudkan dengan kasih sayang yang nyata?
Melakukan gerak tubuh
dan air muka yang menyenangkan saat berbicara, mengucapkan kata dengan
ekspresi hati yang benar mengasihi, menyediakan waktu hanya untuk ngobrol
ngalor-ngidul, atau memperlakukan sesamanya dengan lebih manusiawi, misalnya.
Sering saya mendengar
ucapan macam begini. "Dia itu galak, tidak romantis, kelihatan seperti
tak peduli, tapi sebetulnya dia itu sayang sama kamu. Dia itu hatinya baik
kok, hanya saja cara mengekspresikannya memang tidak lazim. Bentuk sayangnya
memang berbeda."
Benarkah demikian?
Bagaimana yang galak, yang tidak romantis, yang tak peduli, mampu
menghasilkan perilaku yang menunjukkan kasih? Bukankah katanya apa yang
dilihat oleh kasatmata, itu merupakan hasil dari kondisi hati dan jiwa
seseorang?
Sekitar dua minggu
lalu teman baik saya dihadapkan dengan kepergian tiga orang yang dekat
dengannya. Setelah kejadian itu, ia mengirimkan pesan ke grup pertemanan
kami. "I experienced three deaths
in my close circle this week. Life is impermanent. I learned that in the end
it is how much love you have for life and others that matter. Let's live and
love. I'm grateful to have all of you in my life."
Ia mengekspresikan
rasa cintanya kepada kami teman-temannya. Ia tak mau kehilangan kesempatan
untuk menyatakan perasaannya. Maka hari ini, setelah Anda membaca tulisan
ini, seperti teman saya itu, katakan dan tunjukkan kasih Anda kepada sesama.
Tak perlu merasa
gengsi dan takut jika itu Anda pikir akan membuat rasa kehilangan begitu
dalamnya kalau suatu hari itu terjadi. Tidakkah lebih baik merasakan
kehilangan yang dalam, tetapi Anda tak menyesal sudah membuat orang merasa
bahagia karena dikasihi?
Gengsi dan takut itu
adalah bentuk bara yang panas, yang membuang kesempatan untuk Anda menjadi
air dingin berupa kasih kepada orang yang mungkin Anda sendiri tak tahu,
kalau mereka sedang membutuhkan.
Gengsi, takut, tidak
peduli, kelihatan galak, itu akan menyia-nyiakan Anda menuai hasil yang indah
bila waktunya tiba. Kalau Anda masih belum mampu karena selama ini tak
terbiasa mengekspresikan kasih Anda, maka latihlah mengingatkan nama-nama
yang tertera di dalam kartu keluarga. Jadikan mereka tempat latihan Anda.
Ingat, kartu keluarga
itu bukan sembarang kartu. Ia sebuah kartu yang menghidupkan kasih bagi
sesamanya. Hari ini saya mau mengatakan kalau saya sayang Anda semua! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar