Daftar Negatif Investasi Sektor Usaha Film
Sheila Timothy ; Ketua Umum Asosiasi; Produser Film
Indonesia
|
KOMPAS, 16
Februari 2016
Pemerintah telah
menempatkan ekonomi kreatif sebagai salah satu pilar dalam strategi
pengembangan ekonomi nasional. Sektor perfilman sebagai bagian dari ekonomi
kreatif berpotensi besar memberikan kontribusinya.
Salah satu langkah
memajukan pertumbuhan perfilman Indonesia adalah pembukaan daftar negatif
investasi (DNI) di sektor film dalam bidang usaha ekshibisi, distribusi, dan
produksi.
Pembahasan tentang pembukaan pasar Indonesia
untuk investasi asing di bidang film telah berlangsung beberapa tahun. Namun,
saat ini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia membuka pasarnya, seiring
perubahan dalam tatanan industri perfilman dunia yang merujuk pada
perkembangan pesat industri perfilman Asia, 5-7 tahun terakhir.
Vietnam telah membuka pasarnya kepada
investasi asing lima tahun lalu, saat ini merupakan pasar film dengan
pertumbuhan tercepat di Asia. Sejak 2011, kapasitas pasar tumbuh 200 persen
dan produksi film tumbuh lebih dari 100 persen.
Ekshibisi-distribusi-produksi
Di Indonesia, jumlah
bioskop pada 1994 sempat mencapai 2.000 layar lebih, pada 2002 turun menjadi
250 layar. Saat ini Indonesia memiliki 1.117 layar dengan komposisi
kepemilikan bioskop dan persebarannya sangat tidak merata. Riset portal
filmindonesia.or.id tahun 2014 menunjukkan hanya 13 persen penduduk Indonesia
punya akses ke bioskop. Ketimpangan persebaran bioskop juga terjadi: 87
persen layar terpusat di Pulau Jawa, dan 35 persen ada di DKI Jakarta.
Penambahan jumlah layar bioskop di Indonesia
sangat lambat. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir perkembangannya sangat
kecil dan tidak signifikan, yaitu 13 persen. Dibandingkan dengan kota Beijing
yang berpenduduk 22 juta jiwa, Indonesia memiliki jumlah layar yang hampir
sama banyaknya.
Pembukaan DNI harus
dilihat sebagai peluang yang besar untuk pertumbuhan jumlah layar dan pasar,
di mana untuk ukuran Indonesia dibutuhkan sekitar 2.000-5.000 layar baru.
Penambahan ini akan menciptakan lapangan kerja baru dan memicu pertumbuhan
pasar karena naiknya kebutuhan pasokan film. Dampak langsungnya pada
peningkatan jumlah produksi film nasional dan angka penonton.
Kondisi sektor
peredaran film berkorelasi erat dengan realitas sektor pertunjukan film. Tata
edar film di Indonesia saat ini masih merasakan elemen dominasi dan integrasi
vertikal di pasar. Ketergantungan yang tinggi ini menyebabkan kondisi pasar
yang tidak sehat.
Pembukaan pasar Indonesia dapat memberikan
insentif untuk mengundang pemodal dan pelaku industri baru. Dampaknya tidak
hanya pada pertambahan jumlah layar dan kebutuhan akan pasokan film, juga
menciptakan iklim kompetisi yang sehat berikut transparansi data pasar.
Jumlah film Indonesia
yang diproduksi pada 2014 adalah 126 film dengan jumlah penonton 13,8 juta.
Bandingkan dengan 260 film asing dengan jumlah penonton 50 juta. Dalam lima
tahun terakhir, penonton film Indonesia justru mengalami penurunan sebesar 32
persen. Salah satu penyebabnya karena
pertambahan jumlah produksi film yang tidak sebanding dengan pertumbuhan
layar, serta diperburuk oleh menurunnya kualitas film nasional. Saat ini film
Indonesia hanya mendapat 20-30 persen jam tayang di bioskop.
Kendala lain terdapat di sisi hulu, yaitu
rendahnya jumlah pekerja film dengan keterampilan tinggi untuk membangun
sebuah industri yang kuat. Perkembangan produksi film di Korea Selatan
didukung adanya 300 sekolah dan program pendidikan film, Indonesia hanya
memiliki lima sekolah dan fakultas film. Realitas sektor pembuatan film
Indonesia saat ini merujuk pada kebutuhan yang sangat mendesak akan
pendidikan tenaga kerja film, infrastruktur pembiayaan, ketersediaan
teknologi, dan keseriusan dalam perlindungan hak cipta.
Terbukanya sektor
produksi bagi investasi asing memberikan kesempatan mendapatkan akses
pembiayaan, teknologi, dan kesempatan ekspansi ke pasar luar negeri. Dengan
demikian, standar dan kapasitas film Indonesia akan dapat ditingkatkan
melalui alih pengetahuan dan teknologi.
Kebijakan pendukung
Untuk membantu
kebijakan pembukaan pasar lebih efektif dan menyiapkan pengusaha lokal dalam
membangun kapasitasnya, pemerintah perlu menyiapkan beberapa kebijakan
pendukung. Pertama, insentif bagi
investor asing sehingga pembangunan bioskop dapat diarahkan ke daerah yang
belum memiliki bioskop. Memberikan insentif kepada beberapa bioskop
independen perintis yang sudah berjalan.
Kedua, mengatur
penerapan sistem box office yang terintegrasi untuk pengawasan pasar, yang
dapat diakses dengan transparan secara harian dan diterapkan untuk film lokal
dan asing. Hal ini akan menyelesaikan banyak masalah, seperti kemudahan
perpajakan, analisis angka, dan tren penonton, data pembagian layar dan jam
tayang tiap film.
Ketiga, kuota 60 persen jam tayang untuk
film lokal, seperti yang tercantum pada UU Film Nomor 33 Tahun 2009
diterapkan secara bertahap dan bersyarat, sejalan dengan realitas dinamika
pasar dan perbaikan kualitas produk film nasional.
Keempat, paket ekonomi
yang mendukung sektor hulu industri film, di mana sebagian besar perusahaan
film di Indonesia secara volume masih merupakan usaha kecil menengah.
Terakhir, menyiapkan pembangunan infrastruktur pendidikan film.
Pembukaan pasar ini
datang pada waktu yang tepat di mana investasi asing yang masuk dapat
difokuskan untuk berpartisipasi dalam produksi film lokal dan mendanai
pengembangan bakat kreatif lokal. Perkembangan ini juga dapat memberikan
akses film Indonesia di pasar internasional dan berguna bagi promosi budaya
Indonesia untuk semakin dikenal dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar