Rabu, 17 Februari 2016

Daftar Negatif Investasi Sektor Usaha Film

Daftar Negatif Investasi Sektor Usaha Film

Sheila Timothy  ;  Ketua Umum Asosiasi; Produser Film Indonesia
                                                     KOMPAS, 16 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah telah menempatkan ekonomi kreatif sebagai salah satu pilar dalam strategi pengembangan ekonomi nasional. Sektor perfilman sebagai bagian dari ekonomi kreatif berpotensi besar memberikan kontribusinya.

Salah satu langkah memajukan pertumbuhan perfilman Indonesia adalah pembukaan daftar negatif investasi (DNI) di sektor film dalam bidang usaha ekshibisi, distribusi, dan produksi.

 Pembahasan tentang pembukaan pasar Indonesia untuk investasi asing di bidang film telah berlangsung beberapa tahun. Namun, saat ini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia membuka pasarnya, seiring perubahan dalam tatanan industri perfilman dunia yang merujuk pada perkembangan pesat industri perfilman Asia, 5-7 tahun terakhir.

 Vietnam telah membuka pasarnya kepada investasi asing lima tahun lalu, saat ini merupakan pasar film dengan pertumbuhan tercepat di Asia. Sejak 2011, kapasitas pasar tumbuh 200 persen dan produksi film tumbuh lebih dari 100 persen.

Ekshibisi-distribusi-produksi

Di Indonesia, jumlah bioskop pada 1994 sempat mencapai 2.000 layar lebih, pada 2002 turun menjadi 250 layar. Saat ini Indonesia memiliki 1.117 layar dengan komposisi kepemilikan bioskop dan persebarannya sangat tidak merata. Riset portal filmindonesia.or.id tahun 2014 menunjukkan hanya 13 persen penduduk Indonesia punya akses ke bioskop. Ketimpangan persebaran bioskop juga terjadi: 87 persen layar terpusat di Pulau Jawa, dan 35 persen ada di DKI Jakarta.

 Penambahan jumlah layar bioskop di Indonesia sangat lambat. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir perkembangannya sangat kecil dan tidak signifikan, yaitu 13 persen. Dibandingkan dengan kota Beijing yang berpenduduk 22 juta jiwa, Indonesia memiliki jumlah layar yang hampir sama banyaknya.

Pembukaan DNI harus dilihat sebagai peluang yang besar untuk pertumbuhan jumlah layar dan pasar, di mana untuk ukuran Indonesia dibutuhkan sekitar 2.000-5.000 layar baru. Penambahan ini akan menciptakan lapangan kerja baru dan memicu pertumbuhan pasar karena naiknya kebutuhan pasokan film. Dampak langsungnya pada peningkatan jumlah produksi film nasional dan angka penonton.

Kondisi sektor peredaran film berkorelasi erat dengan realitas sektor pertunjukan film. Tata edar film di Indonesia saat ini masih merasakan elemen dominasi dan integrasi vertikal di pasar. Ketergantungan yang tinggi ini menyebabkan kondisi pasar yang tidak sehat.

 Pembukaan pasar Indonesia dapat memberikan insentif untuk mengundang pemodal dan pelaku industri baru. Dampaknya tidak hanya pada pertambahan jumlah layar dan kebutuhan akan pasokan film, juga menciptakan iklim kompetisi yang sehat berikut transparansi data pasar.

Jumlah film Indonesia yang diproduksi pada 2014 adalah 126 film dengan jumlah penonton 13,8 juta. Bandingkan dengan 260 film asing dengan jumlah penonton 50 juta. Dalam lima tahun terakhir, penonton film Indonesia justru mengalami penurunan sebesar 32 persen.  Salah satu penyebabnya karena pertambahan jumlah produksi film yang tidak sebanding dengan pertumbuhan layar, serta diperburuk oleh menurunnya kualitas film nasional. Saat ini film Indonesia hanya mendapat 20-30 persen jam tayang di bioskop.

 Kendala lain terdapat di sisi hulu, yaitu rendahnya jumlah pekerja film dengan keterampilan tinggi untuk membangun sebuah industri yang kuat. Perkembangan produksi film di Korea Selatan didukung adanya 300 sekolah dan program pendidikan film, Indonesia hanya memiliki lima sekolah dan fakultas film. Realitas sektor pembuatan film Indonesia saat ini merujuk pada kebutuhan yang sangat mendesak akan pendidikan tenaga kerja film, infrastruktur pembiayaan, ketersediaan teknologi, dan keseriusan dalam perlindungan hak cipta.

Terbukanya sektor produksi bagi investasi asing memberikan kesempatan mendapatkan akses pembiayaan, teknologi, dan kesempatan ekspansi ke pasar luar negeri. Dengan demikian, standar dan kapasitas film Indonesia akan dapat ditingkatkan melalui alih pengetahuan dan teknologi. 

Kebijakan pendukung

Untuk membantu kebijakan pembukaan pasar lebih efektif dan menyiapkan pengusaha lokal dalam membangun kapasitasnya, pemerintah perlu menyiapkan beberapa kebijakan pendukung.  Pertama, insentif bagi investor asing sehingga pembangunan bioskop dapat diarahkan ke daerah yang belum memiliki bioskop. Memberikan insentif kepada beberapa bioskop independen perintis yang sudah berjalan.

Kedua, mengatur penerapan sistem box office yang terintegrasi untuk pengawasan pasar, yang dapat diakses dengan transparan secara harian dan diterapkan untuk film lokal dan asing. Hal ini akan menyelesaikan banyak masalah, seperti kemudahan perpajakan, analisis angka, dan tren penonton, data pembagian layar dan jam tayang tiap film.

 Ketiga, kuota 60 persen jam tayang untuk film lokal, seperti yang tercantum pada UU Film Nomor 33 Tahun 2009 diterapkan secara bertahap dan bersyarat, sejalan dengan realitas dinamika pasar dan perbaikan kualitas produk film nasional.

Keempat, paket ekonomi yang mendukung sektor hulu industri film, di mana sebagian besar perusahaan film di Indonesia secara volume masih merupakan usaha kecil menengah. Terakhir, menyiapkan pembangunan infrastruktur pendidikan film.

Pembukaan pasar ini datang pada waktu yang tepat di mana investasi asing yang masuk dapat difokuskan untuk berpartisipasi dalam produksi film lokal dan mendanai pengembangan bakat kreatif lokal. Perkembangan ini juga dapat memberikan akses film Indonesia di pasar internasional dan berguna bagi promosi budaya Indonesia untuk semakin dikenal dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar