Perkawinan Sejenis Tak Berdasar
Franz Magnis-Suseno ;
Guru Besar Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara
|
KOMPAS, 23
Februari 2016
Akhir-akhir ini
kontroversi di negara kita tentang masalah homoseksualitas dan isu seputar
LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender) menghangat. Yang mengejutkan
adalah penggunaan bahasa yang keras dan ancaman tersembunyi dalam banyak
pernyataan. Amat perlu kontroversi ini disikapi sesuai dengan prinsip
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Untuk itu, sebaiknya
kita membedakan tiga hal: fakta, sikap terhadap fakta itu, dan opsi kerangka
hukum.
Homoseksualitas
dimaksud sebagai ketertarikan seksual kepada orang yang sama jenisnya dan
bukan yang lawan jenis, jadi laki-laki tertarik pada laki-laki dan bukan pada
perempuan, dan perempuan tertarik pada perempuan.
Pada 26 tahun lalu, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) sudah mencoret homoseksualitas dari daftar penyakit mental.
Kecenderungan homoseks (selanjutnya: homo),
tidak dipilih, tetapi dialami oleh yang bersangkutan. Homoseksualitas
adalah kecenderungan alami, ditemukan juga di antara binatang, dan kalau
orang-seperti penulis ini-percaya bahwa alam diciptakan, maka homoseksualitas
juga tidak di luar penciptaan. Kecuali dalam orientasi insting seksual ada
perbedaan dengan orang lain. Mereka sama baik atau buruk, sama cakap atau
tidak.
Karena itu, mau
"menyembuhkan" atau "membina" ke jalan yang benar mereka
yang berkecenderungan alami adalah tidak masuk akal.
Menyikapi fakta
Bagaimana menyikapi
fakta itu? Pertama, kita harus berhenti menstigmatisasi dan mendiskriminasi
mereka. Orientasi seksual tidak relevan dalam kebanyakan transaksi kehidupan. Sebaiknya kita ingat:
menghina orang karena kecenderungan seksualnya berarti menghina Dia yang
menciptakan kecenderungan itu.
Kedua, orang
berkecenderungan homo memiliki hak-hak kemanusiaan dan kewarganegaraan yang
sama dengan orang heteroseksual. Sebab, negara wajib melindungi segenap
tumpah darah bangsa, maka negara wajib berat melindungi mereka.
Ketiga, hak mereka untuk
bersama- sama membicarakan keprihatinan mereka harus dihormati. Hak konstitusional mereka untuk berkumpul
dan menyatakan pendapat mereka wajib dilindungi negara. Amat memalukan kalau
polisi kita bisa didikte kelompok-kelompok tertentu. Orang-orang itulah yang
menyebarkan intoleransi dan kebencian dalam masyarakat.
Keempat, tahun 1945
bangsa Indonesia memilih menjadi negara hukum, bukan negara agama dan bukan
negara adat-istiadat. Dan itu berarti otonomi seseorang dihormati selama ia
tidak melanggar hukum. Moralitas pribadi bukan wewenang aparat, suatu prinsip
yang amat penting dalam masyarakat majemuk. Apa yang dilakukan dua orang
dewasa atas kemauan mereka sendiri di kamar tidur seharusnya bukan urusan
negara.
Namun, kelima: empat
butir di atas tidak berimplikasi bahwa kecenderungan homo sama kedudukannya
dengan kecenderungan hetero. Dalam masyarakat kita-sampai 50 tahun lalu di
seluruh dunia-kecenderungan homo oleh kebanyakan warga dianggap tidak biasa.
Dan, tidak tanpa alasan.
Seksualitas berkembang
selama evolusi demi untuk menjamin keturunan, tetapi untuk mendapatkan
keturunan yang perlu bersatu (dan karena itu saling merasa tertarik) adalah
laki-laki dan perempuan. Dalam arti itu heteroseksualitas bisa disebut
normal. Homoseksualitas juga produk alam, tetapi produk sampingan.
Kerangka hukum
Pertanyaan tentang
kerangka hukum adalah pertanyaan apakah tuntutan legalisasi perkawinan antara
dua orang sejenis-seperti sudah banyak terjadi di negara-negara
Barat-sebaiknya dipenuhi.
Mari kita kesampingkan
pertimbangan atas dasar agama (yang tentu saja juga sah). Mari kita bertanya:
mengapa semua masyarakat di dunia-sampai 20 tahun lalu-tidak pernah
menyamakan kedudukan pasangan sejenis dengan kedudukan pasangan laki-laki dan
perempuan? Jawabannya jelas: evolusi
mengajarkan bahwa spesies yang tidak memberi prioritas tertinggi pada
penjaminan keturunannya akan punah. Umat manusia sejak ribuan tahun
memberikan perlindungan khusus terhadap persatuan intim laki-laki dan
perempuan karena berkepentingan vital akan keturunannya.
Tambahan pula, agar
bayi bisa menjadi orang dewasa yang utuh, dia memerlukan suatu ruang sosial
terlindung selama sekitar 20 tahun pertama hidupnya, dengan acuan baik pada
manusia laki-laki maupun pada manusia perempuan. Ruang sosial itulah
keluarga. Karena alasan yang sama,
harapan banyak pasangan homo agar diizinkan mengadopsi anak sebaiknya
tidak dipenuhi. Betapa pun pasangan homo mencintai anak angkat mereka, tetapi
menjadi besar dalam "keluarga" dua ayah atau dua ibu bisa
menyebabkan gangguan dalam perkembangan kesosialan anak tersebut.
Oleh karena itu,
masyarakat amat berkepentingan terhadap keluarga dengan ayah dan ibu, tetapi
tidak berkepentingan terhadap persatuan dua manusia sejenis. Oleh karena itu
pula, tuntutan penyamaan kedudukan legal pasangan sejenis dengan yang berbeda
jenis tidak mempunyai dasar.
Perkenankan saya
mencoba menarik beberapa kesimpulan. Yang pertama, kita mesti menyepakati
bahwa segala diskriminasi terhadap mereka yang homo harus diakhiri. Orientasi
seksual tidak relevan untuk kebanyakan bidang kehidupan. Dari seorang pejabat
tinggi dapat diharapkan bahwa ia bisa membedakan antara wawasan tingkat taman
kanak-kanak dan wawasan universitas. Justru universitaslah tempat di mana
diskursus kompeten dan terbuka terhadap implikasi perbedaan orientasi seksual
harus dibicarakan. Para rektor universitas wajib berat menjamin kebebasan
akademik.
Dari mereka yang
berorientasi homo diharapkan realisme dan kesediaan untuk menerima bahwa
perbedaan dalam orientasi seksual membuat mereka juga berbeda.
Mendesakkan penyamaan
perkawinan antar-sejenis dengan perkawinan tradisional hanya akan memperkuat
prasangka-prasangka. Dorongan untuk coming out bisa tidak kondusif. Pengakuan
sosial akan memerlukan kesabaran.
Sudah waktunya kita
menjadi dewasa secara etis dan intelektual. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar