Seputar Stigma
Agustine Dwiputri ;
Penulis Kolom “PSIKOLOGI”
Kompas Minggu
|
KOMPAS, 28
Februari 2016
Akhir-akhir ini,
apabila kita perhatikan, banyak sekali beredar stigma di media sosial yang
menimbulkan ketidaknyamanan. Sungguh suatu kondisi tidak sehat bagi kehidupan
bermasyarakat yang mendambakan kedamaian, produktivitas, dan pengembangan
diri yang lebih baik.
Kristalyn
Salters-Pedneault (2016) mengatakan bahwa stigma (noda, cacat) adalah suatu
ide atau stereotip yang telah terbentuk di dalam pikiran dan ditampilkan
keluar berupa ucapan ataupun perbuatan, yang membuat seseorang mendevaluasi
atau memandang rendah orang yang diberi stigma. Orang cenderung menjauhkan
diri dari individu yang diberi stigma, menyalahkan untuk berbagai tindakan
negatif dan mendiskriminasinya.
Psikolog sosial Susan
Fiske (1993) mengemukakan, stereotip mengontrol orang lain. Kelompok berkuasa
melakukan stereotip kepada kelompok yang kurang berkuasa. Umumnya, orang yang
kurang berkuasa lebih memperhatikan orang berkuasa daripada sebaliknya. Oleh
karena itu, orang yang kurang berkuasa memiliki informasi lebih banyak
tentang orang yang berkuasa dan cenderung kurang melakukan stereotip.
Goffman (1963)
mengidentifikasi tiga jenis stigma, yaitu stigma pada ciri-ciri karakter,
stigma fisik, dan stigma identitas kelompok. Stigma ciri-ciri karakter
menunjukkan adanya cacat karakter individu yang dianggap lemah keinginannya,
mendominasi, adanya nafsu yang tidak wajar, keyakinannya berbahaya dan kaku,
atau tidak jujur. Tercatat di sini adalah kelompok dengan gangguan mental,
atau yang berada di lembaga pemasyarakatan, mengalami adiksi zat,
alkoholisme, homoseksualitas, pengangguran, melakukan percobaan bunuh diri,
dan perilaku politik yang radikal.
Stigma fisik mengacu kelainan
fisik tubuh, seperti pada penyandang tunanetra atau penyandang lepra. Adapun
stigma identitas kelompok adalah stigma yang berasal dari menjadi ras,
bangsa, agama tertentu, dan lainnya. Stigma ini ditularkan melalui garis
keturunan dan mencemari seluruh anggota keluarga.
Menurut survei World Psychiatry, karena penggambaran
tentang suatu masalah mental tertentu di media komunikasi, seseorang dapat
menstigma mereka dalam tiga cara. Pertama, rasa takut, yakni percaya bahwa
orang yang diberi stigma merupakan bahaya bagi orang-orang sekitar dan rentan
terhadap episode kekerasan.
Kedua, tidak
bertanggung jawab, yaitu percaya bahwa orang yang diberi stigma manja, malas,
dan bisa menularkan masalahnya. Ketiga, tidak berdaya, yakni percaya orang
yang diberi stigma seperti anak kecil dan membutuhkan bantuan, tidak mampu
membuat pilihan sendiri.
Goffman membahas
sejumlah respons tersebut. Misalnya, penerima stigma berusaha menjalani
operasi plastik, tetapi tetap masih berisiko terkena stigma. Mereka juga
dapat berupaya khusus mengimbangi stigma mereka, seperti menarik perhatian ke
area lain dari tubuh, misalnya seorang penyandang polio belajar berenang
dengan sangat baik.
Mereka juga acap kali
menggunakan stigma sebagai alasan berkurangnya keberhasilan, mereka pun dapat
berespons dengan mengkritik orang-orang yang dipandang "normal".
Bersembunyi acap kali terjadi yang dapat menyebabkan isolasi lebih lanjut,
depresi, dan kecemasan.
Individu juga dapat
beralih ke orang lain yang juga mendapat stigma atau pada mereka yang
bersimpati untuk memperoleh dukungan dan penanganan. Mereka dapat membentuk
atau bergabung dalam kelompok swadaya (self-help), klub, asosiasi nasional
untuk memperoleh adanya rasa saling memiliki.
Dampak stigma
Stigma bisa
mempersulit untuk menjalani penanganan, menemukan pekerjaan yang stabil,
tempat tinggal yang aman dan hidup secara normal. Mereka selalu dicurigai
telah melakukan kesalahan, kecerobohan, atau marah dan mengalami kesulitan
menjalankan rutinitas hidup.
Karena beban berat
dari stigma, banyak orang dengan kesulitan kejiwaan berusaha menyembunyikan
kondisi mereka, menolak untuk mengakui pada orang lain, atau bahkan pada diri
mereka sendiri bahwa ada sesuatu yang perlu dibantu. Orang lain akan
mengabaikan penanganan pada mereka, atau mereka menjadi tidak konsisten
menjalani terapi dan minum obat-obatan. Hal ini menyebabkan kesulitan besar
dan keterlambatan dalam terapi mereka sehingga justru menimbulkan kemunduran
yang signifikan.
Meskipun kita mungkin
tidak dapat mengubah cara orang lain memandang, kita dapat mengubah cara
berpikir tentang diri dan cara bereaksi terhadap cara orang lain
memperlakukan kita. Deborah Leader (2014) mengusulkan beberapa hal untuk
membantu seseorang mengatasi stigma sosial yang mengenai dirinya, di antaranya:
1. Temukan pribadi
Anda.
Jika Anda pernah
menjadi pelari maraton, tetapi sekarang merasa sulit untuk berjalan di
sekitar ruangan, penting untuk menemukan kembali diri Anda sesuai dengan
perubahan keadaan. Jika Anda tidak lagi dapat berjalan jauh, gunakan
treadmill di rumah atau berjalan di sekitar kompleks rumah selama sepuluh
menit. Semakin aktif dan terlibat dalam kehidupan, kian baik Anda akan merasa
tentang diri Anda.
2. Bersiap membuka
diri
Berada di depan umum
dapat membingungkan, misalnya ketika gejala fisik memburuk karena masalah
HIV/AIDS yang disandang. Jika ada hal-hal yang membuat Anda tidak nyaman,
persiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya, misal bekerja di pagi hari
ketika Anda memiliki energi paling kuat. Membuka diri kepada seseorang yang
dapat berempati dan Anda percayai akan sangat meringankan. Ada seseorang yang
tahu dan paham dengan kondisi Anda. Tak perlu terburu-buru, tetapi persiapkan
diri untuk memberi tahu mengenai kesulitan Anda.
3. Jangan biarkan
perlakuan buruk orang lain.
Anda perlu bersiap
untuk memaafkan diri sendiri. Ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
Jangan biarkan orang lain mengkritik atau membuat Anda merasa buruk tentang
diri Anda. Hal terpenting ialah apa yang dapat Anda lakukan sekarang untuk
merawat diri lebih baik. Pelajari cara baru untuk menghadapi berbagai
komentar yang tidak sensitif sehingga Anda dapat bertahan ketika memperoleh
serangan verbal.
4. Kelompok dukungan.
Seiring dengan
terjadinya isolasi sosial pada mereka yang terkena stigma juga muncul
kesepian dan perasaan terpisah dari Tuhan. Anda tidak harus melakukan hal ini
sendirian. Tidak ada yang lebih memahami masalah Anda kecuali mereka yang
telah memahami sudut pandang Anda. Temuilah teman-teman baru yang telah
sejalan dengan bergabung dalam suatu kelompok pendukung.
Dari uraian di atas,
semoga dapat diterima bahwa memberikan stigma kepada siapa pun yang berbeda
dari kita bukanlah perbuatan terpuji yang akan menguntungkan kedua belah
pihak. Lebih baik kita saling menghargai sebagai sesama manusia. Salam damai.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar