Senin, 29 Februari 2016

Darurat

Darurat

Putu Setia ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                              KORAN TEMPO, 27 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sekarang banyak hal bisa didarurat-daruratkan. Dulu, yang paling saya takutkan adalah jika ada pesawat mendarat darurat. Terbayang orang-orang yang panik, mungkin juga korban. Kemudian darurat perang, lagi-lagi saya membayangkan bocah yang sedang main kelereng terkena bom. Tapi sekarang ada darurat yang tidak begitu membuat orang panik, meski ada korbannya. Misalnya darurat korupsi, darurat pelecehan seksual terhadap anak, darurat narkoba--tolong tambahkan yang lain.

Kamus Besar Bahasa Indonesia pada edisi paling akhir memang banyak menyebutkan arti kata darurat. Namun, pada awalnya, kata darurat itu selalu dikaitkan dengan "keadaan yang tidak disangka-sangka". Atau "keadaan yang memaksa" untuk berbuat sesuatu. Apakah korupsi, narkoba, pelecehan seksual, dan lainnya itu tidak disangka sebelumnya? Apakah itu ujug-ujug terjadi seperti gempa bumi? Bukankah itu sudah bisa diramalkan sebelumnya seperti gerhana matahari?

Jero Wacik, menteri di era Susilo Bambang Yudhoyono, divonis 4 tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena menyelewengkan dana operasional menteri. Terlalu ringan, kata banyak orang. Apakah ini tergolong "darurat korupsi" yang sama sekali tak disangka-sangka? Cobalah kalau semua menteri diperiksa dana operasionalnya, apakah ada yang bersih benar? Coba periksa dana operasional gubernur atau dana operasional bupati. Bagaimana mungkin bupati yang gajinya kurang dari Rp 30 juta (lima tahun jadi Rp 1,8 miliar) bisa menghabiskan uang Rp 3 miliar untuk pemilihan kepala daerah? Uang dari neneknya?

Anggota DPR tertangkap tangan saat disuap pengusaha. Daruratkah ini? Bukankah DPR itu membahas anggaran sebagai salah satu tugasnya, dan usulan-usulan proyek bermuara dan disetujui di sini? Kalau ada pengusaha yang mengincar proyek dan pengusaha sudah "bersahabat" dengan pengelola anggaran, bukankah tinggal "bersahabat" dengan penyetuju anggaran, yakni parlemen? Dalam otak pengusaha sudah ada pikiran: "Suap DPR enggak apa, mutu proyek dikurangi, gak ada yang tahu." Anggota DPR pun berpikir: "Asal terima hati-hati, siapa yang tahu, kan banyak yang begitu." Syahdan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata menyadapnya, karena KPK berasumsi "ini bukan darurat", sudah bisa disangka sebelumnya. Yang darurat justru DPR mati-matian melemahkan KPK dengan melumpuhkan senjata penyadapan itu.

Sesuatu yang bisa diperkirakan, atau kalau kata pepatah "ada asap pasti ada api", seharusnya bisa diantisipasi sejak dini sehingga tak mudah menyebutnya sebagai sesuatu yang darurat. Banyak orang maklum pengedar dan pengguna narkoba semakin berani karena ada "orang kuat" di belakangnya. Razia narkoba pun sering bocor. Nah, ketika aparat TNI bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) menggerebek narkoba di perumahan elite Kostrad, ternyata betul ada sejumlah tentara dan polisi dibekuk--ditambah anggota DPR. Harus dipuji pimpinan TNI dan Polri karena berani membersihkan lembaganya. Apakah ketua DPR berani mengatakan "silakan BNN tes urine semua anggota DPR"? Pasti tidak. Mungkin ide itu bisa dianggap penghinaan oleh wakil ketua DPR yang "mudah panas". Padahal cuma antisipasi.

Kita harus mulai berpikir ke arah "semua orang bisa disangka" jika terlihat sesuatu yang tidak wajar. Teknik pembuktian terbalik seharusnya bisa diberlakukan jika kita ingin konsisten memberantas korupsi. Penyadapan oleh KPK harus tetap dipertahankan. BNN harus berani merazia semua tempat yang rentan jadi sarang narkoba. Tak ada yang darurat, semuanya harus terencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar