Darurat
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior
Tempo
|
KORAN TEMPO, 27
Februari 2016
Sekarang banyak hal bisa didarurat-daruratkan.
Dulu, yang paling saya takutkan adalah jika ada pesawat mendarat darurat.
Terbayang orang-orang yang panik, mungkin juga korban. Kemudian darurat
perang, lagi-lagi saya membayangkan bocah yang sedang main kelereng terkena
bom. Tapi sekarang ada darurat yang tidak begitu membuat orang panik, meski
ada korbannya. Misalnya darurat korupsi, darurat pelecehan seksual terhadap
anak, darurat narkoba--tolong tambahkan yang lain.
Kamus Besar Bahasa Indonesia pada edisi paling
akhir memang banyak menyebutkan arti kata darurat. Namun, pada awalnya, kata
darurat itu selalu dikaitkan dengan "keadaan yang tidak disangka-sangka".
Atau "keadaan yang memaksa" untuk berbuat sesuatu. Apakah korupsi,
narkoba, pelecehan seksual, dan lainnya itu tidak disangka sebelumnya? Apakah
itu ujug-ujug terjadi seperti gempa bumi? Bukankah itu sudah bisa diramalkan
sebelumnya seperti gerhana matahari?
Jero Wacik, menteri di era Susilo Bambang
Yudhoyono, divonis 4 tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena
menyelewengkan dana operasional menteri. Terlalu ringan, kata banyak orang.
Apakah ini tergolong "darurat korupsi" yang sama sekali tak disangka-sangka?
Cobalah kalau semua menteri diperiksa dana operasionalnya, apakah ada yang
bersih benar? Coba periksa dana operasional gubernur atau dana operasional
bupati. Bagaimana mungkin bupati yang gajinya kurang dari Rp 30 juta (lima
tahun jadi Rp 1,8 miliar) bisa menghabiskan uang Rp 3 miliar untuk pemilihan
kepala daerah? Uang dari neneknya?
Anggota DPR tertangkap tangan saat disuap
pengusaha. Daruratkah ini? Bukankah DPR itu membahas anggaran sebagai salah
satu tugasnya, dan usulan-usulan proyek bermuara dan disetujui di sini? Kalau
ada pengusaha yang mengincar proyek dan pengusaha sudah
"bersahabat" dengan pengelola anggaran, bukankah tinggal
"bersahabat" dengan penyetuju anggaran, yakni parlemen? Dalam otak
pengusaha sudah ada pikiran: "Suap DPR enggak apa, mutu proyek
dikurangi, gak ada yang tahu." Anggota DPR pun berpikir: "Asal
terima hati-hati, siapa yang tahu, kan banyak yang begitu." Syahdan,
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata menyadapnya, karena KPK
berasumsi "ini bukan darurat", sudah bisa disangka sebelumnya. Yang
darurat justru DPR mati-matian melemahkan KPK dengan melumpuhkan senjata
penyadapan itu.
Sesuatu yang bisa diperkirakan, atau kalau
kata pepatah "ada asap pasti ada api", seharusnya bisa diantisipasi
sejak dini sehingga tak mudah menyebutnya sebagai sesuatu yang darurat.
Banyak orang maklum pengedar dan pengguna narkoba semakin berani karena ada
"orang kuat" di belakangnya. Razia narkoba pun sering bocor. Nah,
ketika aparat TNI bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN)
menggerebek narkoba di perumahan elite Kostrad, ternyata betul ada sejumlah
tentara dan polisi dibekuk--ditambah anggota DPR. Harus dipuji pimpinan TNI
dan Polri karena berani membersihkan lembaganya. Apakah ketua DPR berani
mengatakan "silakan BNN tes urine semua anggota DPR"? Pasti tidak.
Mungkin ide itu bisa dianggap penghinaan oleh wakil ketua DPR yang
"mudah panas". Padahal cuma antisipasi.
Kita harus mulai berpikir ke arah "semua
orang bisa disangka" jika terlihat sesuatu yang tidak wajar. Teknik
pembuktian terbalik seharusnya bisa diberlakukan jika kita ingin konsisten
memberantas korupsi. Penyadapan oleh KPK harus tetap dipertahankan. BNN harus
berani merazia semua tempat yang rentan jadi sarang narkoba. Tak ada yang
darurat, semuanya harus terencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar