Jakarta Beijing Nan Bak Bandung Tianjin
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 15 Februari
2016
BENARKAH proyek kereta
cepat Jakarta–Bandung terinspirasi kereta cepat Beijing ke Tianjin?
Presiden Jokowi memang
naik kereta cepat dari Beijing ke Tianjin. Saat kunjungan kenegaraan ke
Tiongkok tahun lalu. Konon, Bapak Presiden mendapat laporan yang istimewa:
Tianjin maju pesat setelah ada kereta cepat itu.
Tapi, saya belum
pernah mendengar sendiri bahwa perjalanan itulah yang membuat presiden ngotot
membangun kereta cepat Jakarta–Bandung. Saya hanya membacanya di berita
online. Belum tentu benar.
Tapi, apakah
Jakarta–Bandung mirip Beijing–Tianjin?
Saya sudah puluhan
kali ke Tianjin. Bahkan pernah tinggal di sana. Hampir dua tahun. Sudah
seperti kampung sendiri.
Hati yang ada di dada
saya ini misalnya. Adalah hati anak muda Tianjin yang tiba-tiba meninggal
dunia. Lalu diberikan kepada saya.
Tapi, saya sudah
sering ke Tianjin jauh sebelum itu. Sejak kota industri itu masih kumuh.
Berdebu. Berbau. Belum ada jalan tol.
Beijing–Tianjin saya
tempuh dengan naik bus lima jam. Mau naik kereta, tidak berani. Berjejal.
Pengap. Berdesakan.
Tianjin masih dikenal
sebagai kota buruh. Miskin –pakai sekali. Asap hitam di mana-mana. Cerobong
pabrik seperti berlomba melukai langit.
Di halaman rumah sakit
pun ada tumpukan batu bara. Di depan hotel juga. Berserakan. Untuk memasak
air.
Ketika kota-kota lain
mulai berbenah, Tianjin masih ketinggalan. Ketika kota lain sudah mulai
cantik, Tianjin masih kumuh. Orang tidak perlu bertanya di mana toilet. Dari
jauh pun sudah tahu. Baunya dari arah mana.
Lalu, ada jalan tol
dari Beijing ke Tianjin. Sejauh 140 km. Langsung padat. Dibangun lagi jalan
tol yang lain. Masih tidak cukup. Kini ada empat jalan tol dari Beijing (18
juta jiwa) ke Tianjin (14 juta jiwa).
Lalu, dibangun pula
jalur kereta cepat. Jarak 140 km itu hanya ditempuh dalam 29 menit. Setelah
ada kereta cepat, saya hampir selalu naik ini. Keretanya banyak banget. Tiap
15 menit, ada pemberangkatan. Pada jam sibuk tiap 10 menit. Hampir selalu
penuh.
Apakah ekonomi Tianjin
maju karena kereta cepat?
Saya belum pernah baca
publikasi tentang itu. Mungkin saja. Salah satunya. Tapi, rasanya, jalan
tol-lah pemegang peran pertama dan utama.
Lalu, ada pelabuhan.
Pelabuhan Tianjin luar biasa besarnya. Bisa melayani kapal terbesar sepanjang
waktu. Lautnya tidak pernah beku. Pada musim es sekalipun. Beijing tidak
punya pelabuhan. Tianjin-lah pintu Beijing.
Lalu, ada jalan tol ke
arah Shanghai (selatan). Jalan tol lagi ke arah Shenyang (utara). Jalan tol
lagi ke arah Jinan (barat laut). Dan banyak lagi. Ke segala arah.
Kereta cepat memegang
peran kesekian.
Tapi, orang Tianjin
suka berseloroh begini: Tianjin maju bukan karena semua itu. Tianjin maju
sejak Wen Jiabao menjadi perdana menteri.
Maksudnya: Sejak
itulah banyak kebijakan pusat yang pro-Tianjin. Mungkin itu seloroh orang
iri. Wen memang putra daerah Tianjin. Alumnus Nankai University, ”Unpad”-nya
Tiongkok. Kebetulan, sejak saat itu saya melihat Tianjin berubah total.
Modern, bersih, kinclong.
Apakah Bandung mirip
Tianjin dan Jakarta mirip Beijing? Silakan berpendapat sendiri-sendiri.
Hanya, bagi yang berpendapat proyek Jakarta–Bandung itu tidak layak,
janganlah mempersoalkan teknologi dan pengalaman.
Tiongkok memang
relatif muda di teknologi itu. Tapi, yang muda belum tentu kalah.
Harus diakui: Kereta
tercepat di dunia saat ini ada di Tiongkok. Kereta cepat terpanjang di dunia
saat ini di Tiongkok. Produksi kereta cepat terbanyak saat ini: Tiongkok.
Tiongkok sudah
membayar sangat mahal sebelum mencapai tahap ini. Yakni, ketika memilih
membangun kereta maglev. Teknologi Jerman. Kecepatan 415 km per jam. Rodanya
tidak menempel di rel.
Itulah kereta tercepat
di dunia. Di Shanghai. Untuk melayani penumpang yang menuju bandara.
Proyek itu berhenti di
situ. Di Shanghai. Tidak jadi dikembangkan.
Tiongkok lantas
menoleh ke Kanada. Ke Bombardier. Yang juga pemilik teknologi pesawat terbang
Bombardier. Maka, kereta cepat Tiongkok itu pada dasarnya adalah teknologi
Kanada.
Itulah yang akhirnya
dikembangkan. Seperti halilintar. Menyambar segala jurusan. Kini sudah ada
kereta cepat Beijing–Guangzhou. Delapan jam. Jaraknya hampir sama dengan dari
Jakarta ke Bangkok. Ada jalur Shanghai–Kunming. Ada lagi Beijing–Shanghai.
Atau Shanghai–Shenzhen.
Ke mana pun di
Tiongkok, kini ada kereta cepat: 300 km per jam. Bahkan, awal-awalnya dulu
Beijing–Tianjin atau Shanghai–Hangzhou dijalankan 319 km per jam. Saya suka
memotret display digital di gerbongnya. Saat perjalanan menunjukkan angka
319.
Bagi yang tidak setuju
proyek Jakarta–Bandung, sebaiknya cari alasan lain. Misalnya, apakah itu
prioritas kita saat ini.
Misalnya lagi, apakah
angka Rp 77 triliun itu tidak lebih baik untuk yang lain. Mungkin bisa untuk
proyek lain yang lebih prioritas. Misalnya membuat KA Jakarta–Surabaya yang
berkecepatan 200 km per jam. Jakarta–Surabaya 4 jam. Daripada hanya 70 km per
jam saat ini.
Atau ditambah sedikit
bisa untuk membangun jembatan Selat Sunda. Atau untuk membangun jalan tol
seluruh Sumatera.
Atau membangun tol
atas laut Jakarta–Surabaya. Atau. Atau. Atau. Atau tetap untuk
Jakarta–Bandung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar