Menagih Janji Kampanye Pilkada
Sumbo Tinarbuko ;
Pemerhati Budaya Visual;
Dosen Komunikasi Visual ISI
Yogyakarta
|
KOMPAS, 25
Februari 2016
Presiden Joko Widodo,
seperti dikutip media massa, meminta gubernur dan wakil gubernur yang ia lantik
konsisten memenuhi janji kampanye.
Presiden juga meminta
semua gubernur dan wakil gubernur memastikan kebutuhan dasar rakyat
terpenuhi. ”Setelah pilkada serentak
berakhir, saatnya melangkah untuk melanjutkan ujian sejarah berikutnya yang
mahaberat, mewujudkan janji-janji saudara untuk mencapai kesejahteraan
rakyat,” kata Presiden seusai melantik tujuh gubernur dan wakil gubernur
di Istana Negara, Jumat, 12 Februari 2016.
Permintaan Presiden
Joko Widodo kepada gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk melunasi janji
kampanye selaras dengan nasihat nenek moyang kepada kita, ahli waris penerus
peradaban ini. ”Janji adalah utang,” demikian nasihat leluhur kita.
Hal itu berlaku juga
pada janji politik berwujud janji kampanye yang dikumandangkan peserta
pemilihan kepala daerah serentak 2015. Artinya, janji kampanye Pilkada 2015
yang dikumandangkan bakal calon bupati, wali kota, dan gubernur dalam
perspektif kebudayaan adalah bagian dari utang moral dan utang sosial.
Sebagai bagian dari
utang, janji kampanye harus segera dilunasi sejurus mereka memenangi
perhelatan pilkada serentak. Janji kampanye wajib ditunaikan saat mereka
resmi dilantik sebagai pejabat publik: bupati, wali kota, dan gubernur.
Utang janji
Benarkah pejabat
publik yang menduduki kursi nomor satu di wilayahnya memiliki banyak utang
janji? Mengacu pada realitas sosial yang tercatat dalam media, banyak utang
janji kampanye pilkada yang belum lunas dibayarkan. Hingga hari ini masih
berserak tebaran nota-nota utang janji kampanye yang belum terbayarkan.
Hebatnya, si
pengemplang utang janji kampanye tanpa merasa berdosa memajukan diri menjadi
peserta Pilkada 2015. Bahkan, janji kampanye yang disiarkan ke ruang publik
jauh lebih dahsyat ketimbang sebelumnya.
Buku catatan realitas
sosial yang ada dalam ingatan masyarakat menyebutkan beberapa janji kampanye
yang secara paritas dijanjikan para kandidat peserta pilkada saat kampanye.
Janji kampanye yang senantiasa manis diucapkan di antaranya melayani rakyat
dengan tata kelola pemerintahan yang baik, bebas korupsi, pendidikan gratis,
layanan kesehatan gratis, sawah bebas pajak, mencetak sawah sekian juta
hektar, penguatan sistem ekonomi kerakyatan, menyediakan ribuan lapangan
pekerjaan, mengembangkan budaya lokal, meningkatkan kesetaraan jender.
Mereka, sang pembuat
janji kampanye, memosisikan diri bagaikan kakek Sinterklas yang membagikan
pundi-pundi hadiah kepada anak kecil yang menunggu kehadirannya. Sudah
menjadi perangai anak kecil, begitu mendapat hadiah dari Sinterklas, ekspresi
riang gembira membahana di wajah anak kecil tersebut.
Ketika janji kampanye
diposisikan bagaikan hadiah yang dibagikan Sinterklas, tentu sangat berbeda
tabiat dan peruntukannya. Begitu hadiah diberikan langsung dari tangan
Sinterklas, selesai sudah urusannya.
Sebaliknya, pelunasan
janji kampanye menjadi rumit urusannya karena melibatkan berbagai pihak. Saat
janji kampanye diucapkan, sang pembuat janji kampanye jarang sekali
memikirkan teknis pengejawantahan yang melibatkan dinas terkait serta
anggaran khusus untuk mewujudkan janji kampanye tersebut.
Bagi warga masyarakat,
janji kampanye yang dikumandangkan sang pengutang janji kampanye ibarat petir
di siang bolong. Terlihat mengentak. Terkesan merakyat sekaligus membumi.
Namun, dalam perspektif realitas sosial sulit diwujudkan. Apalagi
diejawantahkan. Kalaupun dapat direalisasikan, visualisasinya laksana langit
dengan bumi. Alias mustahil.
Mengapa bakal calon
bupati, wali kota, dan gubernur, gemar membuat janji kampanye? Rupanya janji
dianggap sebagai senjata ampuh untuk merebut kekuasaan serta dimitoskan
menjadi bagian dari komunikasi politik. Saat bakal calon tampil di depan
publik massa pendukung, dengan berapi-api mereka memuntahkan janji kampanye,
lewat seremonial orasi politik yang terlihat sangat meyakinkan.
Muntahan janji
kampanye tersebut juga didokumentasikanlewat paparan iklan politik yang
dipasang di koran, ditancapkan di ruang publik, dan disiarkan di media massa
elektronik. Apa yang didapatkan dari muntahan orasi berisi janji kampanye
tersebut?
Tidak perlu dituliskan
di sini. Pembaca pasti dapat memaparkan bentangan janji kampanye yang
terdengar manis di mulut, tetapi seret di tenggorokan.
Selaraskan ucapan dengan tindakan
Perhelatan pilkada
serentak sudah usai. Para pemenang secara serentak dilantik Presiden Joko
Widodo.
Sekarang menjadi tugas
kita bersama mengingatkan para bupati, wali kota, dan gubernur yang terpilih
secara demokratis agar taat asas saat menuliskan dan mengucapkan janji
kampanye sebab realitas sosial mencatat: mewujudkan janji kampanye jauh lebih
sulit daripada menuliskan dan mengucapkan janji kampanye.
Butuh energi besar dan
moralitas tinggi menyelaraskan ucapan dengan tindakan. Itu jadi penting untuk
menghindarkan diri mendapat predikat bupati, wali kota, dan gubernur yang jarkoni:
isane ujar nanging ora isa nglakoni (pinternya bicara, tetapi tak bisa
mewujudkan secara nyata atas apa yang diucapkannya).
Saat bupati, wali
kota, dan gubernur mendapat julukan jarkoni, pada titik itulah personal
branding dari pejabat publik nomor satu di kabupaten, kota, dan provinsi
tersebut menempati kasta paling bawah.
Hancurlah sudah
reputasi sosial dan intelektual yang mereka bangun puluhan tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar