Rabu, 17 Februari 2016

Kepala Daerah dan Visi Kemakmuran

Kepala Daerah dan Visi Kemakmuran

Diah Pitaloka  ;  Anggota Komisi  II DPR dari Fraksi PDI-P
                                                     KOMPAS, 15 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Satu tahapan dalam tangga demokrasi telah kita lalui. Pemilihan kepala daerah serentak di 261 daerah pada 9 Desember 2015 telah usai. Meski kegaduhan dan beberapa gugatan masih menyertainya, hal tersebut tidak mengurangi substansi keberhasilan pelaksanaan pilkada.

Pada Februari ini, menurut rencana, sekitar 201 kepala daerah akan dilantik oleh Kementerian Dalam Negeri. Di luar persoalan seremoni pelantikan, dan mungkin juga "perayaan", ada satu persoalan besar dan mendasar yang sesungguhnya menjadi pekerjaan rumah para kepala daerah baru tersebut, yakni mewujudkan kemakmuran sosial.    

Persoalan kemakmuran sosial ini harus digarisbawahi karena ia jadi muara dari seluruh proses demokrasi yang berlangsung. Kita mengakui pilkada serentak merupakan pencapaian konstruktif dalam garis filosofis praktik politik desentralisasi. Namun, satu prinsip utama yang tak boleh dilupakan: desentralisasi tidak hanya sebatas diskusi tentang kompetisi politik lokal.

Lebih dari itu, desentralisasi adalah ruang partisipasi dan negosiasi dari semua aktor demokrasi di level lokal. Rancang bangun utama yang  harus dimunculkan adalah menjadikan kemakmuran sosial sebagai pengalaman konkret publik dan tujuan utama yang hendak dicapai. Di sinilah seorang kepala daerah yang inovatif dan transformatif memegang peran kunci.

Pilkada hanya titik awal dan pembuka jalan. Selebihnya, seorang kepala daerah harus mampu menjadikan makna desentralisasi politik dalam semua pilihan kebijakan publik di daerahnya. Argumentasi ini penting untuk menegaskan bahwa pemerintahan daerah yang dihasilkan oleh pilkada selain mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis juga yang paling utama adalah menciptakan pemerataan ekonomi dan membawa warganya dari impitan kemiskinan.

Karena itu, setelah pelantikan, para kepala daerah baru tidak boleh terjebak pada logika bahwa ia semata-mata hanya mesin yang dijalankan untuk menciptakan distribusi kekuasaan birokratik dan kekuatan politik dari pusat ke tingkat lokal.

Mengawal demokrasi lokal

Saat ini, revisi RUU tentang Pemerintahan Daerah dan RUU tentang Politik juga sedang dipersiapkan DPR. Narasi besar yang ingin dibangun di dalamnya tidak hanya soal efisiensi dan akuntabilitas pemerintah daerah, meminimalkan politik uang, memaksimalkan fungsi parpol, dan lain-lain. Lebih utama dari itu semua adalah menghadirkan dengan lebih cepat dan dekat kedalaman makna demokrasi dan menjadikannya sebagai instrumen penting untuk menggerakkan akselerasi pembangunan di tingkat lokal.

Karena itu, para kepala daerah baru yang akan segera dilantik diharapkan mampu mewujudkan tidak hanya good governance, tetapi juga mampu menciptakan apa yang disebut dengan dynamic governance (Boo Siong, dkk, 2015).

Dalam dynamic governance, peran kepemimpinan yang visioner merupakan faktor penting dalam menentukan hasil, perubahan, tingkat inisiatif reformasi institusi pemerintah, serta percepatan pelayanan dan kemakmuran daerah. Kapabilitas untuk membangun sebuah daerah dalam lingkungan yang berubah dengan cepat amat memegang peranan kunci. 

Dari semua itu, maka menjadi penting mengawal pelaksanaan demokrasi lokal. Mengawal dalam pengertian memastikan bahwa hasil pilkada dalam wujud kepala pemerintahan yang baru harus mampu menghasilkan mekanisme pengelolaan kekuasaan di level lokal serta menyusun variabel-variabel pencapaian pembangunan yang berbasiskan kesejahteraan sosial dan kemakmuran publik.

Karena itu pula, menjadi penting-mengutip Amartya Sen (2000)-bahwa demokrasi haruslah berkorelasi positif dengan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Pada titik inilah, maka dalam beberapa RUU yang kini tengah digodok di DPR menjadi penting membuat sistem yang memungkinkan terciptanya sebuah demokrasi substansial yang mampu menghasilkan kepala daerah yang mampu menciptakan pemerataan ekonomi rakyatnya.

Prinsip sederhana yang bisa diambil: demokrasi juga harus berkaitan dengan alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi secara adil. Ia harus pula berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan kesejahteraan. Demokrasi bukan sekadar pemberian kesempatan yang sama, demokrasi (lokal) juga harus melahirkan daerah-daerah dengan perencanaan pembangunan yang matang.

Pemimpin transformatif

Pilkada serentak yang memunculkan para pemimpin baru di daerah diharapkan mampu memberi garansi dan harapan baru bagi masyarakat menuju perubahan yang lebih baik. Peningkatan anggaran pembangunan, penyediaan pelayanan publik yang berkualitas pada kebutuhan-kebutuhan asasi masyarakat, penghapusan berbagai kemacetan prosedural, serta peningkatan kemampuan untuk mengelola biaya pembangunan dengan baik adalah harapan-harapan yang ditunggu publik di atas pundak kepala daerah baru.

Selama ini, ada kekeliruan mendasar dalam melihat keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Ukuran-ukuran dalam melihat keberhasilan otonomi daerah tampaknya terlalu sederhana ketika parameter yang digunakan sebatas tertib prosedural, apalagi hanya artifisial dari elemen-elemen yang harus ada dalam kriteria desentralisasi berdasarkan sisi konsep, kebijakan, ataupun implementasi.

Lahirnya pemimpin-pemimpin transformatif serta mempunyai inovasi dan kreativitas tinggi dalam membangun daerah itulah makna keberhasilan otonomi daerah. Yang dibutuhkan untuk menjadi daerah maju adalah pemimpin yang mampu menjebol kebuntuan-kebuntuan yang menghambat pembangunan dan daya kreativitas masyarakat. Pada titik inilah proses mengawal demokrasi lokal dalam makna yang substantif menemukan titik urgensinya.

Butir ini penting ditegaskan. Selama ini, pilkada beserta pemimpin yang dilahirkan sering kali jauh dari harapan publik. Selain nihilnya aspek kesejahteraan sebagai parameter dan keluaran final portofolio desentralisasi, maraknya kasus korupsi, banyaknya perda yang tidak kondusif bagi iklim investasi, pemerintah daerah yang cenderung menggunakan segala cara untuk menggenjot pendapatan asli daerah, perubahan pelayanan publik yang tak signifikan, suburnya oligarki elite politik di tingkat lokal, serta rendahnya komitmen elite daerah dalam mewujudkan kesejahteraan jelas menunjukkan melencengnya arah desentralisasi.

Dalam keyakinan ini, desentralisasi politik harus mampu menyediakan infrastruktur sosial politik yang mampu menjadi basis yang kuat untuk pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal. Secara lebih spesifik, desentralisasi politik yang mengejawantah, salah satunya lewat pilkada, harus diletakkan pada jalur utama memperkuat konsensus negara kesejahteraan.

Akhirnya, kita berharap para kepala daerah yang akan dilantik ini adalah pemimpin-pemimpin daerah yang bisa menjelaskan dan menjalankan tahap-tahap pencapaian kesejahteraan sosial dengan jelas melalui variabel-variabel yang beragam dan terukur, serta berada dalam jangkauan publik. Desentralisasi politik dan desentralisasi pembangunan dengan segala produknya mesti bekerja dalam ranah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar