Kepala Daerah dan Visi Kemakmuran
Diah Pitaloka ; Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P
|
KOMPAS, 15
Februari 2016
Satu tahapan dalam
tangga demokrasi telah kita lalui. Pemilihan kepala daerah serentak di 261
daerah pada 9 Desember 2015 telah usai. Meski kegaduhan dan beberapa gugatan
masih menyertainya, hal tersebut tidak mengurangi substansi keberhasilan
pelaksanaan pilkada.
Pada Februari ini,
menurut rencana, sekitar 201 kepala daerah akan dilantik oleh Kementerian
Dalam Negeri. Di luar persoalan seremoni pelantikan, dan mungkin juga
"perayaan", ada satu persoalan besar dan mendasar yang sesungguhnya
menjadi pekerjaan rumah para kepala daerah baru tersebut, yakni mewujudkan
kemakmuran sosial.
Persoalan kemakmuran
sosial ini harus digarisbawahi karena ia jadi muara dari seluruh proses
demokrasi yang berlangsung. Kita mengakui pilkada serentak merupakan
pencapaian konstruktif dalam garis filosofis praktik politik desentralisasi.
Namun, satu prinsip utama yang tak boleh dilupakan: desentralisasi tidak
hanya sebatas diskusi tentang kompetisi politik lokal.
Lebih dari itu,
desentralisasi adalah ruang partisipasi dan negosiasi dari semua aktor
demokrasi di level lokal. Rancang bangun utama yang harus dimunculkan adalah menjadikan kemakmuran
sosial sebagai pengalaman konkret publik dan tujuan utama yang hendak
dicapai. Di sinilah seorang kepala daerah yang inovatif dan transformatif
memegang peran kunci.
Pilkada hanya titik
awal dan pembuka jalan. Selebihnya, seorang kepala daerah harus mampu
menjadikan makna desentralisasi politik dalam semua pilihan kebijakan publik
di daerahnya. Argumentasi ini penting untuk menegaskan bahwa pemerintahan
daerah yang dihasilkan oleh pilkada selain mampu menghasilkan pemerintahan
yang demokratis juga yang paling utama adalah menciptakan pemerataan ekonomi
dan membawa warganya dari impitan kemiskinan.
Karena itu, setelah
pelantikan, para kepala daerah baru tidak boleh terjebak pada logika bahwa ia
semata-mata hanya mesin yang dijalankan untuk menciptakan distribusi
kekuasaan birokratik dan kekuatan politik dari pusat ke tingkat lokal.
Mengawal demokrasi lokal
Saat ini, revisi RUU
tentang Pemerintahan Daerah dan RUU tentang Politik juga sedang dipersiapkan
DPR. Narasi besar yang ingin dibangun di dalamnya tidak hanya soal efisiensi
dan akuntabilitas pemerintah daerah, meminimalkan politik uang, memaksimalkan
fungsi parpol, dan lain-lain. Lebih utama dari itu semua adalah menghadirkan
dengan lebih cepat dan dekat kedalaman makna demokrasi dan menjadikannya
sebagai instrumen penting untuk menggerakkan akselerasi pembangunan di
tingkat lokal.
Karena itu, para
kepala daerah baru yang akan segera dilantik diharapkan mampu mewujudkan
tidak hanya good governance, tetapi
juga mampu menciptakan apa yang disebut dengan dynamic governance (Boo
Siong, dkk, 2015).
Dalam dynamic governance, peran kepemimpinan
yang visioner merupakan faktor penting dalam menentukan hasil, perubahan,
tingkat inisiatif reformasi institusi pemerintah, serta percepatan pelayanan
dan kemakmuran daerah. Kapabilitas untuk membangun sebuah daerah dalam
lingkungan yang berubah dengan cepat amat memegang peranan kunci.
Dari semua itu, maka
menjadi penting mengawal pelaksanaan demokrasi lokal. Mengawal dalam
pengertian memastikan bahwa hasil pilkada dalam wujud kepala pemerintahan
yang baru harus mampu menghasilkan mekanisme pengelolaan kekuasaan di level
lokal serta menyusun variabel-variabel pencapaian pembangunan yang
berbasiskan kesejahteraan sosial dan kemakmuran publik.
Karena itu pula, menjadi
penting-mengutip Amartya Sen (2000)-bahwa demokrasi haruslah berkorelasi
positif dengan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Pada titik inilah, maka
dalam beberapa RUU yang kini tengah digodok di DPR menjadi penting membuat
sistem yang memungkinkan terciptanya sebuah demokrasi substansial yang mampu
menghasilkan kepala daerah yang mampu menciptakan pemerataan ekonomi
rakyatnya.
Prinsip sederhana yang
bisa diambil: demokrasi juga harus berkaitan dengan alokasi dan distribusi
sumber-sumber ekonomi secara adil. Ia harus pula berkorelasi dengan
pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan kesejahteraan. Demokrasi bukan sekadar
pemberian kesempatan yang sama, demokrasi (lokal) juga harus melahirkan
daerah-daerah dengan perencanaan pembangunan yang matang.
Pemimpin transformatif
Pilkada serentak yang
memunculkan para pemimpin baru di daerah diharapkan mampu memberi garansi dan
harapan baru bagi masyarakat menuju perubahan yang lebih baik. Peningkatan
anggaran pembangunan, penyediaan pelayanan publik yang berkualitas pada
kebutuhan-kebutuhan asasi masyarakat, penghapusan berbagai kemacetan
prosedural, serta peningkatan kemampuan untuk mengelola biaya pembangunan
dengan baik adalah harapan-harapan yang ditunggu publik di atas pundak kepala
daerah baru.
Selama ini, ada
kekeliruan mendasar dalam melihat keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Ukuran-ukuran dalam melihat keberhasilan otonomi daerah tampaknya terlalu
sederhana ketika parameter yang digunakan sebatas tertib prosedural, apalagi
hanya artifisial dari elemen-elemen yang harus ada dalam kriteria
desentralisasi berdasarkan sisi konsep, kebijakan, ataupun implementasi.
Lahirnya
pemimpin-pemimpin transformatif serta mempunyai inovasi dan kreativitas
tinggi dalam membangun daerah itulah makna keberhasilan otonomi daerah. Yang
dibutuhkan untuk menjadi daerah maju adalah pemimpin yang mampu menjebol
kebuntuan-kebuntuan yang menghambat pembangunan dan daya kreativitas
masyarakat. Pada titik inilah proses mengawal demokrasi lokal dalam makna
yang substantif menemukan titik urgensinya.
Butir ini penting
ditegaskan. Selama ini, pilkada beserta pemimpin yang dilahirkan sering kali
jauh dari harapan publik. Selain nihilnya aspek kesejahteraan sebagai
parameter dan keluaran final portofolio desentralisasi, maraknya kasus
korupsi, banyaknya perda yang tidak kondusif bagi iklim investasi, pemerintah
daerah yang cenderung menggunakan segala cara untuk menggenjot pendapatan
asli daerah, perubahan pelayanan publik yang tak signifikan, suburnya
oligarki elite politik di tingkat lokal, serta rendahnya komitmen elite
daerah dalam mewujudkan kesejahteraan jelas menunjukkan melencengnya arah
desentralisasi.
Dalam keyakinan ini,
desentralisasi politik harus mampu menyediakan infrastruktur sosial politik
yang mampu menjadi basis yang kuat untuk pembangunan berkelanjutan di tingkat
lokal. Secara lebih spesifik, desentralisasi politik yang mengejawantah,
salah satunya lewat pilkada, harus diletakkan pada jalur utama memperkuat
konsensus negara kesejahteraan.
Akhirnya, kita
berharap para kepala daerah yang akan dilantik ini adalah pemimpin-pemimpin
daerah yang bisa menjelaskan dan menjalankan tahap-tahap pencapaian
kesejahteraan sosial dengan jelas melalui variabel-variabel yang beragam dan
terukur, serta berada dalam jangkauan publik. Desentralisasi politik dan
desentralisasi pembangunan dengan segala produknya mesti bekerja dalam ranah
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar