Populisme
Budiarto Shambazy ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 20
Februari 2016
Dua bakal calon
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump (Republik) dan Bernie Sanders
(Demokrat), populer di mata publik karena branding sebagai tokoh yang anti
kemapanan politik di Washington DC. Mereka memakai metode contrasting memisahkan diri dari capres-capres
lain yang menyandang predikat dan beban sebagai "politisi mapan".
Cara ini cukup
berhasil karena sebagian publik kecewa terhadap pemerintahan Presiden Barack
Obama yang dianggap lemah dalam kepemimpinan global, menjalankan big government, membuat ekonomi
terpuruk, dan seterusnya. Menurut survei Gallup, job approval Obama sepanjang Januari-Februari 2016 berkisar hanya
46 persen sampai 49 persen.
Kekecewaan itu
dimanfaatkan dan juga dimanipulasi oleh Trump, miliarder yang tak memiliki
latar belakang politik. Ironisnya, Republik justru mulai khawatir dengan
slogan-slogan kampanye Trump yang populis, yang menyimpang dari konservatisme
partai.
Sedangkan Sanders
lebih dipandang sebagai politisi independen yang meminjam tiket dari
Demokrat. Mirip seperti Trump, Sanders juga membuat partai agak panik karena
dalam kampanye kerap tampil sebagai tokoh kiri, sosialis, dan progresif.
Sanders senator yang
pernah menjadi wali kota, sementara Trump belum pernah menjadi pejabat
publik. Trump dan Sanders membangkitkan animo publik memilih presiden yang
populis dibandingkan calon-calon yang "dia-dia lagi" seperti Jeb
Bush yang adalah adik George HW Bush, atau Hillary Clinton.
Populisme lebih kurang
bermakna berpihak kepada kepentingan publik, bukan elite politik atau
pemerintah. Itulah yang diperlihatkan Trump yang memenangi pemilihan awal di
New Hampshire atau Sanders yang "bermain imbang" melawan Clinton di
Kaukus Iowa.
Trump berjanji akan
mengusir imigran gelap asal Meksiko sekaligus membangun tembok di perbatasan
AS-Meksiko. Sebagai seorang sosialis, Sanders bertekad menggelontorkan dana
gratis, seperti untuk jaminan kesehatan dan uang kuliah untuk rakyat tidak
mampu.
Sanders bangga dengan
dana kampanye yang berasal dari urunan pendukung yang mencapai 27 dollar AS
per orang, sementara Trump merogoh koceknya sendiri untuk dana kampanye.
Trump mengancam akan membuat takluk Tiongkok dan Jepang dalam persaingan
ekonomi global, Sanders mengutip Swedia sebagai "negara
kesejahteraan" yang layak ditiru.
Kampanye "politik
eceran" (retail politics) yang
pro rakyat, terinci, dan radikal inilah yang rupanya mulai diminati publik.
Bukan soal siapa yang akan memenangi Pilpres AS, tetapi populisme menjadi
gejala menarik dalam kampanye kali ini.
Kita sendiri sedikit
banyak telah menyaksikan kelahiran populisme ketika Jokowi memenangi Pilpres
2014. Ternyata kampanye blusukan langsung ke kantong-kantong persoalan di
kalangan rakyat lebih diminati publik ketimbang mewacanakan tentang ideologi,
NKRI, dan hal-hal yang berbau "empat pilar".
Seperti Trump di
Washington DC, Jokowi seorang outsider
yang kurang dikenal elite Jakarta. Untuk kasus kita di Indonesia, magnet
Jokowi telah memicu kebangkitan pemimpin-pemimpin baru dari daerah yang bakal
mengguncang panggung nasional seperti Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama,
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini atau Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Dan, suka atau tidak,
publik kita mulai gemar kepada pemimpin-pemimpin baru yang kurang terafiliasi
dengan partai. Mulai tampak gejala "deparpolisasi alamiah" akibat
akumulasi kekecewaan publik terhadap partai yang dianggap "begitu-begitu
saja".
Dengan kata lain, para
pemimpin baru dan publik akan menjauh dari partai. Dan, sesungguhnya ini
bukanlah sesuatu yang baru terjadi pada era Reformasi ini.
Pada dekade 1950,
bahkan seorang Presiden Soekarno menegaskan akan "mengubur
hidup-hidup" partai. Pada awal Orde Baru, sebagian dari
jenderal-jenderal pendukung Presiden Soeharto sempat mewacanakan sistem
dwipartai untuk membatasi peranan partai.
Dan, kita tahu
Presiden Soeharto akhirnya "membonsai partai" lewat fusi pada awal
1970-an dengan mengurangi jumlah partai menjadi Golkar, PDI, dan PPP. Mungkin
era Jokowi ini bisa menjadi penanda terulangnya sejarah kedengkian publik
terhadap partai?
Kini tinggal
partai-partai sendiri yang berhak menentukan masa depan mereka. Dalam
kenyataannya dua partai yang berdiri sejak Orde Baru, yaitu Golkar dan PPP,
masih dirundung perpecahan yang belum selesai.
Sedangkan partai
terbesar pendukung duet Jokowi, PDI-P, terkadang malah kelihatan beroposisi
terhadap pemerintahan. Pada kubu lain, keberadaan Koalisi Merah Putih (KMP)
semakin mengundang tanda tanya setelah partai anggotanya satu per satu secara
bergiliran menyatakan dukungan terhadap pemerintah.
Sekadar mengingatkan,
popularitas Jokowi menurut survei harian ini mencapai sekitar 84 persen.
Semoga saja ini bukan petunjuk arah bagi partai-partai bahwa mereka menuju ke
jurang yang curam dan dalam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar