Mengelola Aliran Keagamaan ”Sempalan”
Ahmad Sahidah ; Dosen Senior Filsafat dan Etika
Universitas Utara Malaysia
|
KORAN SINDO, 13
Februari 2016
Sebagai sebuah negara
yang terbentuk dari sejarah panjang tentang aliran, kepercayaan, dan
ideologi, negeri ini tentu telah memanggul pelbagai pandangan dunia.
Kesepakatan untuk menjadi satu-kesatuan dalam naungan Republik Indonesia
sejatinya mengabadikan apa yang telah dipraktikkan selama ini, Bhinneka
Tunggal Ika. Menyodorkan ideologi lain yang antikemajemukan secara otomatis
akan merobohkan bangunan keindonesiaan. Pelik, ada gerakan ideologis
meletakkan kata Indonesia, tetapi pada waktu yang sama mengandaikan satu
pandangan tertutup dan eksklusif.
Selain kepercayaan
lokal dalam bentuk animisme dan dinamisme, institusi agama dan ideologi
politik yang turut mewarnai bangsa ini makin mengayakan pandangan batin dan
fisik warga terhadap kehidupan berbangsa. Apa pun bentuk pemikiran,
kepercayaan, dan bahkan organisasi keagamaan dengan mudah bisa merembes ke
dalam kehidupan masyarakat.
Sebagaimana peribahasa
Arab yang berbunyi, likulli saqit laqit, yang berarti setiap yang jatuh pasti
ada yang memungut, gerakan-gerakan luar pun bersemai dan subur di negeri
khatulistiwa. Menariknya, gerakan transnasional tak sepenuhnya mengadopsi
langgam negeri asal, tetapi telah mengalami metamorfosis seraya menyesuaikan
dengan kebudayaan lokal.
Tantangan lain tentu
saja berasal dari dalam negeri sendiri. Aliran-aliran yang meresahkan
khalayak telah mengganggu keharmonisan. Untuk kesekian kalinya Majelis Ulama
Indonesia menyenarai hitam (blacklist)
gerakan sempalan, yang terbaru Gabungan Fajar Nusantara. Ada tiga hal penting
yang perlu dicermati dari peristiwa di atas yaitu kepastian ajaran agama,
stabilitas sosial, dan kekecewaan masyarakat modern.
Islam telah menegaskan
bahwa Muhammad adalah nabi terakhir. Jika ada aliran yang menyatakan ada nabi
baru, otoritas agama segera meminta diusut dan menuntut aparat untuk
mengambil tindakan agar tidak menimbulkan gejolak sosial. Pembiaran aliran
yang dianggap sesat ini bisa memicu kekerasan horizontal dan nyata-nyata
telah merusak keharmonisan keluarga.
Namun, alasan
kebenaran otoritas dan ketertiban sosial telah melahirkan masyarakat yang
kecewa dengan kenyataan, sebuah fenomena manusia modern yang jamak terjadi
pascakemajuan era industri. Bagaimanapun, sejak zaman awal Islam di
Nusantara, kelompok-kelompok yang menyimpang ini telah hadir sebagai lawan
arus-utama.
Segelintir penganutnya
tidak menemukan kedamaian dari agama formal yang diamalkan, malah
menganggapnya telah menyimpang, seperti pengakuan dr Rica Tri Handayani bahwa
Islam yang ada telah melanggar akidah. Tentu, pihak berwenang, baik negara
maupun agama resmi, dengan mudah menumpas gerakan sempalan ini sembari
menegaskan demi keamanan dan menabalkan dirinya telah memelihara ajaran suci.
Tapi, benarkah?
Akar Masalah
Seringkali kita
menemukan komentar bahwa pemicu tumbuhnya aliran sesat adalah faktor
pendidikan dan ekonomi. Kasus Santriloka misalnya menegaskan hipotesis ini.
Gus Aan, sang pendiri aliran yang berbasis di Mojokerto ini, mempunyai latar
belakang pendidikan rendah, demikian pula kebanyakan pengikut ajarannya
adalah orang Marhaen.
Meskipun dua faktor
ini bukan merupakan variabel mutlak, dua faktor tersebut memegang posisi
penting dalam membentuk kesadaran agama seseorang, termasuk politik, sosial,
dan kultural. Dengan pendekatan Marxian, agama sejatinya wujud dari kehendak
materialisme sebagai infrastruktur yang menyangganya.
Tak dapat dielakkan,
kesadaran mengikuti gerakan-gerakan keagamaan baru didorong oleh
kehendak-kehendak untuk menemukan ketenangan, yang secara laten mengandaikan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar.
Mengingat pengikut
gerakan sempalan ini kebanyakan orang awam, Saifullah Yusuf, mantan menteri
negara percepatan pembangunan daerah tertinggal di Era Megawati, pernah
menawarkan solusi dengan mendorong pondok pesantren untuk meningkatkan
bimbingan keagamaan dan mengefektifkan peran pemerintah dalam pengembangan
perekonomian masyarakat.
Secara tersirat
pernyataan ini bisa ditafsirkan bahwa praktik sesat itu muncul disebabkan
pengawal agama gagal memberikan pemahaman yang bisa diterima oleh khalayak
luas dan pada waktu yang sama kegagalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat dalam bidang sandang- pangan, papan, pendidikan, dan
kesehatan.
Menariknya, Gafatar
berhasil merekrut kalangan terpelajar dan orang yang berkecukupan, malah
pengikutnya rela menjual harta benda dan meninggalkan kariernya yang sudah
mapan. Dengan demikian, tindakan keras pihak berwenang tidak diperlukan
karena kesalahan itu tidak sepenuhnya ditanggung oleh kelompok yang
mengamalkan ajaran baru yang dianggap telah menyimpang.
Jika orang pintar dan
orang kaya yang menduduki jabatan elite keagamaan dan pemerintahan melihat
aliran sesat sebagai ancaman kelompok tertentu saja, sejatinya mereka
menutupi kelemahannya karena tidak mampu menjalankan amanah dan tanggung
jawab mengurus umat. Adalah zalim menghukum mereka yang lemah, sementara
mereka yang memanggul amanah tidak dihukum karena gagal menunaikan tugasnya.
Penolakan masyarakat
terhadap anggota Gafatar yang mudik, seperti terjadi di daerah Bantul
Yogyakarta, tentu wajah lain dari warga yang gagal melihat peta besar tentang
isu sosiologis di balik fenomena organisasi besutan mantan pelatih
bulutangkis, Ahmad Moshadeq, ini.
Sisi Lain
Dari kenyataan
sederhana di atas, masalah aliran sesat tidak semata-mata berhubungan dengan
ajaran normatif, tetapi juga berkait dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik. Pandangan arus-utama telah menjadi patokan untuk menilai kebenaran
seraya membungkam tafsir lain terhadap pandangan dunia (weltanschauung).
Padahal, arus-utama
tak sepenuhnya mengayomi warganya. Karena itu, pendekatan keagamaan
semata-mata hanya akan menimbulkan benturan dan penolakan dari kelompok
terkait, atau malah mereka bersembunyi untuk muncul kembali, sebagaimana
diketahui umum bahwa Gafatar merupakan kelanjutan dari Al-Qiyadah
al-Islamiyyah.
Menekan kelompok
sempalan dengan sewenang- wenang hanya akan mengurangi kewibawaan karena
kelompok semacam ini sebenarnya tidak mendapat dukungan masyarakat luas dan
lemah secara politik dan ekonomi. Sejatinya, kaum agamawan belajar dari
kegagalan mereka dipercayai oleh khalayak yang ingin menemukan kebenaran
dalam hidupnya yang tidak hanya sekadar pemenuhan kebutuhan dasar, tetapi
juga ketenangan batin.
Bagaimanapun secara
psikologis para pengikut ajaran alternatif menemukan kedekatan emosional
dengan ajaran baru karena pemimpinnya bisa duduk bersama mereka. Meskipun,
kita tidak bisa menafikan bahwa ada kelompok- kelompok sempalan yang
menyuburkan fanatisme pengikutnya sebagai jalan untuk memeras mereka. Fakta
penebusan kesalahan dengan denda adalah bukti nyata bahwa di sini motif
ekonomi bekerja.
Bagaimanapun hubungan
emosional yang akrab tentu menautkan batin patron dan klien, berbeda dengan
kebanyakan para elite keagamaan yang terperangkap pada relasi majikanhamba
sehingga menghalangi hubungan rapat dengan orang kebanyakan. Selagi para
pemimpin keagamaan menjaga jarak dan tak peduli dengan suasana batin dan
lahir khalayak, umat yang terabaikan itu akan mencari sosok pemimpin yang mau
mendengar kegelisahan mereka secara langsung.
Tanpa melakukan
kritik-diri, organisasi keagamaan arus-utama hanya menjadi pemadam api, bukan
menyediakan ruang bagi warga untuk menemukan rumah tempat mereka menikmati
kesejahteraan lahir dan batin. Lebih jauh, kaum agamawan semestinya
menerjemahkan ajaran-ajaran progresif Kitab Suci terkait dengan pembelaan
terhadap fakir miskin, baik kesejahteraan maupun pengetahuan, ke dalam
langkah nyata.
Mereka juga harus
senantiasa bersama kaum mustadmustadafin menghadapi kezaliman
pengusaha-penguasa. Tentu instrumen ajaran yang layak mendapatkan
pertimbangan adalah pemberdayaan zakat. Sayangnya, fungsi sosial dari rukun
Islam yang ketiga ini tidak berjalan secara maksimal karena tidak diurus
secara profesional.
Karena itu, tugas
seperti ini seharusnya melibatkan kelompok- kelompok lain seperti aktivis,
wakil rakyat, ekonom, dan ilmuwan sosial dengan menyelaraskan wewenang
pemerintah yang terbatas dan kemandirian institusi keagamaan. Tanpa jalan
radikal ini, peristiwa serupa akan muncul dan gerakan baru akan timbul. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar