Kaji Ulang Gelar Pasukan TNI
Wiranto ;
Mantan Menteri Pertahanan
|
KOMPAS, 25
Februari 2016
Telah banyak pemikiran
dan langkah strategis yang dilakukan menyangkut reformasi TNI, sejalan
reformasi nasional sejak 1998.
Diawali konsep reformasi
TNI yang berjudul ”TNI Abad 21”, yang lebih banyak membahas perubahan
fundamental peran dan fungsi TNI dalam konteks penyelenggaraan negara,
reformasi TNI tersebut terus berproses. Dari gencarnya pemikiran tentang
reformasi, TNI khususnya matra darat, ternyata masih ada yang lolos dari
pengamatan kita, yakni menyangkut penggelaran dan pengorganisasian matra
darat.
Sampai saat ini banyak
kalangan menganggap bahwa penggelaran pasukan darat TNI sudah sangat tepat
dan tak ada kejanggalan sehingga sangat sedikit yang menyoroti hal tersebut.
Namun, sesungguhnya, apabila kita cermati secara lebih saksama, gelar pasukan
darat TNI mengandung banyak kelemahan. Karena itu, sudah saatnya dikaji ulang
agar dapat lebih menjawab perubahan hakikat ancaman dan kebutuhan negara
menghadapi persaingan global yang dinamis.
Di awal pembentukannya
TNI dibentuk tahun
1945, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Dalam catatan
sejarah, pada saat pembentukannya, kondisi keuangan negara masih serba
kekurangan. Konsep pembentukan dan penataan TNI juga belum memiliki pola yang
cukup jelas. Orientasi saat itu adalah sesegera mungkin mengorganisasi
tentara pejuang kemerdekaan dalam unit-unityang lebih teratur, sebagaimana
tentara reguler.
Dalam kondisi seperti itu,
Pemerintah Indonesia terpaksa mengambil langkah-langkah paling logis, yakni
mengambil alih seluruh persenjataan dan perlengkapan pasukan penjajah.
Demikian pula seluruh barak, asrama, dan markas komando yang dibangun
pemerintahan penjajah Belanda dan Jepang langsung diambil alih dan dijadikan
milik pemerintah, untuk kemudian dijadikan aset TNI. Itulah mengapa pada awal
keberadaan negara Indonesia, peta kekuatan militer TNI terpusat di kota-kota
besar di Jawa.
Pada kondisi keuangan
negara yang tak kunjung menguat, pembangunan fasilitas militer yang baru
bukan jadi prioritas. Gelar pasukan darat di Pulau Jawa yang tadinya
dilakukan dengan terpaksa, bersifat sementara, menjadi suatu kondisi permanen
yang tak terelakkan. Dari tahun ke tahun dislokasi pasukan angkatan darat
yang terpusat di kota-kota besar di Jawa menjadi sesuatu kewajaran yang
menggiring kita pada pemikiran yang tak lagi rasional.
Komando daerah militer
(kodam) di Jawa dibangun sebagai kodam kelas I dengan jumlah pasukan sangat
besar, sedangkan kodam di luar Jawa hanya kelas II dengan sedikit pasukan.
Pasukan Kostrad sebagai pasukan cadangan strategis sebagian besar berlokasi
di Jawa, dilatih, dilengkapi, dan dipersiapkansetiap saat dikirim ke luar
Jawa, membantu pasukan setempat. Tanpa disadari, konsep operasi yang dianut
benar-benar mengulangi apa yang dilakukan tentara kolonial. Tentara yang
terpusat di Pulau Jawa dikirim guna menumpas pemberontakan ke daerah-daerah
yang bergolak.
Dari catatan sejarah
operasi TNI, pada 1958-1959 pasukan dari Jawa dikirimke Sumatera dan Sulawesi
melawan PRRI/Permesta. Pada 1968-1969 pasukan dari Jawa dikirim ke Kalimantan
menumpas pemberontakan PGRS/Paraku. Dari tahun 1960-an sampai sekarang masih
ada pasukan dikirim ke Irian Jaya (sekarang Papua) untuk menumpas berbagai
aksi pemberontakan. Tahun 1976 sampai 1999 mengirim pasukan ke Timor Timur.
Tahun 1990-1998, melalui Operasi Jaring Merah, pasukan dari Jawa dikerahkan
ke Aceh guna menumpas Gerakan Aceh Merdeka, dan masih banyak lagi operasi
serupa yang ternyata banyak menuai masalah.
Pertama, biaya menjadi
sangat mahal. Kedua, ada kesan dominasi pemerintah pusat (Jawa) digunakan
untuk menindas daerah (luar Jawa) dengan kekerasan. Ketiga, mental pasukan
yang dikirim tidak prima, jauh dari keluarga dalam jangka waktu yang cukup
lama. Keempat, banyak tuduhan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang
terus dipermasalahkan sampai saat ini sebagai akibat dari pola operasi
semacam itu.
Setelah sekian lama
kita terjebak pada konsep tentara penjajahan dengan titik-titik kuat
penempatan pasukan di Jawa (kuat dalam), sudah saatnya kita menyadari
kekeliruan tersebut dan merumuskan konsep pertahanan yang lebih tepat
dihadapkan kepada ancaman strategis terkini. Berdasarkan analisis lingkungan
strategis, ancaman militer dari negara lain (ancaman tradisional) berupa
invasi sangat kecil kemungkinannya. Meski demikian, kemungkinan ancaman
tersebut tidak dapat diabaikan dan harus tetap diwaspadai.
Ancaman tradisional
yang lebih mungkin adalah konflik terbatas berkaitan pelanggaran wilayah dan
atau menyangkut masalah perbatasan. Ancaman serius yang saat ini tengah
dihadapi adalah ancaman nontradisional, yang dilakukan oleh aktor non- negara
terhadap keutuhan wilayah kedaulatan negara, dan keselamatan bangsa
Indonesia. Termasuk di dalamnya, antara lain, gerakan separatis bersenjata,
terorisme internasional maupun domestik, aksi radikal, pencurian sumber daya
alam, penyelundupan, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, kejahatan
lintas negara, dan berbagai bentuk aksi ilegal lain berskala kecil maupun
besar.
Kita harus mampu
menetralisasi ancaman tersebut dengan memperkuat penjagaan garis perbatasan
wilayah nasional.Konsep pertahanan dengan titik- titik kuat di Jawa harus
mulai diubah dengan titik-titik kuat sepanjang perbatasan. Program
pembangunan infrastruktur, terutama jalan-jalan yang menghubungkan wilayah
perbatasan yang sedang digalakkan Presiden Joko Widodo perlu disinkronkan
dengan pembangunan batalyon dan kompi-kompi unit di wilayah baru tersebut
sehingga mendapatkan keuntungan ganda.
Pertama, membangun early warning system (tanggap bahaya)
di sepanjang wilayah perbatasan di seluruh Indonesia. Kedua, menjaga daerah
perbatasan dari kemungkinan ancaman tradisional maupun nontradisional.
Ketiga, adanya asrama tentara yang dilengkapi dengan sekolahan, puskesmas,
tempat ibadah, dan pasar akan mengundang kedatangan masyarakat untuk
mengembangkan permukiman sepanjang perbatasan. Keempat, terbangunnya
sentra-sentra ekonomi baru yang akan mewujudkan pemerataan kesejahteraan
masyarakat. Kelima, penguasaan daerah oleh pasukan setempat akan lebih
efektif dengan biaya relatif lebih murah dengan penguasaan dan pengenalan
daerah yang lebih prima, tanpa tergantung dari tentara pusat. Keenam,
membantu penyebaran penduduk dan dimungkinkannya pembangunan basis-basis
industri baru sehingga tidak hanya terpusat di Pulau Jawa. Ketujuh, mereduksi
konflik antaraparat negara di daerah perkotaan.
Sinkronisasi-pembiayaan
Untuk merelokasi
barak-barak militer ke seluruh wilayah nasional, sekaligus membangun
sentra-sentra ekonomi dan industri ke seluruh wilayah Republik Indonesia,
dibutuhkan perencanaan terpadu dari berbagai kementerian terkait. Hal ini
guna melipatgandakan manfaat, menjamin keberhasilan, dan menghemat
pembiayaan. Misalnya dengan kementerian bidang pendidikan, transmigrasi,
pekerjaan umum, kesehatan, pertahanan, perindustrian, perhubungan, dan
keuangan.
Agar tidak terlalu
bergantung pada APBN, Mabes TNI dapat mulai melakukan analisis kalkulasi
tukar guling antara barak-barak, markas militer di perkotaan yang memiliki
nilai yang sangat tinggi dengan pembangunan barak/asrama/markas di daerah
perbatasan yang nilai tanahnya masih murah. Perbedaan nilai tanah dapat
dikonversikan pada nilai bangunan asrama/markas baru yang representatif dan
memadai bagi prajurit. Dengan cara- cara seperti ini, mudah-mudahan dengan
sekali jalan kita akan dapat menyelesaikan berbagai persoalan di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar